Kata-kata yang memuai terjadi di hampir semua bahasa. Tapi pemuaian makna ini membuat bahasa menjadi susah dipelajari.
SEORANG teman dari Korea Selatan masygul ketika mendengar seorang Indonesia berseru, “Wah, mau hujan,” pada sebuah sore yang mendung. “Wow, bagaimana caranya?” ia pun bertanya. Ia menyangka, temannya yang orang Indonesia itu sedang menginginkan hujan atau berminat pada hujan seperti minatnya mengunyah es krim.
Dialog keduanya kemudian tidak bersangkut paut hingga satu orang Indonesia lain melerai dan menjelaskan maksud seruan itu. “Mau hujan” tidak berarti “I want to rain” seperti dalam bahasa Inggris kendati kata “mau” dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan “want” dalam kamus Indonesia-Inggris. “Mau hujan” dalam kalimat itu memiliki arti “akan hujan” yang padanannya persis sama dengan bentukan dalam bahasa Inggris “It will rain”.
Teman Korea itu jadi geleng-geleng setelah mendengar penjelasan ini. “Susah sekali belajar bahasa, ya?” Ia sudah lima tahun menetap di Jakarta tapi hanya memakai bahasa Indonesia untuk percakapan pendek dengan sopirnya, memesan kopi di restoran, atau bertanya arah jalan kepada satpam. Kalimat panjang yang memiliki arti kompleks ia hindari dan memilih memakai kalimat dalam bahasa Inggris agar tak terjadi salah paham oleh lawan bicaranya.
Bahasa Indonesia berakar pada bahasa Melayu Riau yang dituturkan oleh lebih banyak orang Jawa dan Sunda, yang sesungguhnya tak punya akar dan pertautan genetis dengan bahasa Melayu itu. Di kampung-kampung di Jawa Barat, masih banyak orang yang memandang aneh mereka yang berbicara dalam “bahasa Jakarta”, varian lain bahasa Melayu. Di kalangan kelas menengah bahkan tak jarang muncul cibiran jika bertemu orang lain yang memakai “bahasa Indonesia yang baik dan benar” dalam percakapan.
Bahasa Indonesia mungkin aneh sehingga bahasa percakapan dan bahasa tulis bisa begitu berbeda. Dalam bahasa lisan, meski dalam banyak bahasa lain di dunia juga terjadi, kalimat bahasa Indonesia sering kali tak komplet dan mengandung konteks yang hanya diketahui oleh orang Indonesia.
Ketika teman Korea ini mendengar kalimat “Dia mah orangnya suka drama”, dia menyangka kalimat itu sepadan dengan “Dia menyukai (film) drama.” Padahal, artinya lain sama sekali. Seperti sebuah poster di Jalan Gatot Subroto yang berbunyi “Bagi kamu yang suka drama” ini tak berarti imbauan untuk mereka yang menyukai film cerita.
Arti kata “drama” dalam bahasa percakapan telah memuai dan menggelembung menampung arti lain yang tak dimiliki kata lain. “Drama” dalam kalimat “dia mah orangnya suka drama” berarti orang itu suka melebih-lebihkan situasi yang biasa saja menjadi dramatis. Entah karena pengaruh sinetron yang memang acap melebih-lebihkan peristiwa biasa saja, kata “drama” diterima dalam percakapan publik dengan arti seperti itu. “Drama” sebagai kata benda yang tercantum dalam kamus, berubah menjadi kata kerja dalam percakapan.
Sama seperti kata “mantan”. Kata ini dalam percakapan seolah hanya merujuk pada “bekas pacar”. Apalagi penyanyi Raisa Andriani mengokohkan prasangka dalam kata itu dengan lagunya yang sangat populer: Mantan Terindah. Padahal kata ini melekat pada kata lain yang merujuk pada jabatan, seperti “mantan Menteri Dalam Negeri” atau “mantan camat”.
Tragedi “mantan” ini mungkin hampir sepadan dengan pemuaian kata “tegar” yang dipopulerkan oleh penyanyi Rossa dalam lagu yang juga populer dengan judul memakai kata itu. Jika menyimak syairnya, Rossa telah terseret memakai makna umum pada kata ini yang dipahami sebagai “tabah” atau “sabar”. Padahal, arti sesungguhnya kata ini adalah “kaku”, “keras”, “kering” yang merujuk pada “kaku yang kokoh dan diam seperti karang”. Maka ada ungkapan “setegar karang.” Mungkin karena dalam bahasa Jawa “tegar” itu diartikan tabah, sehingga pemahaman umum menjadi terseret pada arti itu.
Ada yang mengatakan bahwa pemuaian arti kata hal biasa dalam bahasa. Sebuah kata akan menemukan arti baru jika dipakai secara terus menerus dengan makna seperti itu. Mungkin benar. Tapi kita akan segera kehilangan kata “tegar” yang berarti “kaku dan keras” karena kata ini punya arti baru untuk menyebut “ketabahan”. Apalagi, kamus sudah menyerap pula arti baru dalam lema ini.
Kerugian lain adalah makin banyak orang asing yang kesulitan mempelajari bahasa ini karena tak ada patokan yang jelas. Orang asing di sini tak hanya orang di luar Nusantara, tapi kita semua karena orang Indonesia pun masih harus mempelajari bahasa ini dengan susah-sungguh. Buktinya, para menteri dan presiden masih kisruh membedakan “di” sebagai kata depan dan “di” sebagai imbuhan. Juga tak kunjung bisa membedakan pemakaian “mengubah” dan “merubah”.
*) Dimuat di rubrik Bahasa! majalah Tempo, 21 Juni 2017.