Media sosial adalah topeng kita di dunia maya, untuk menutupi tabiat kita di dunia nyata.
Dalam film The Fifth Estate, Julian Assange mengutip Oscar Wilde: “Man is least himself when he talks in his own person. Give him a mask, and he will tell you the truth.”
Maka Wikileaks menjadi besar dengan memuat banyak data sensitif yang ditutupi para pembuatnya. Para narasumber Wikileaks mengungkap, menurut Assange, kebenaran karena mereka diberi topeng, yakni situs itu, dengan identitas yang disembunyikan.
Mereka yang membocorkan data-data sensitif, telegram para diplomat hingga percakapan pribadi melalui surat-e soal invasi Irak, pemberantasan terorisme, penyiksaan para telik-sandi, tak ragu memberikan data-data tersebut kepada Julian Assange untuk dipublikasikan di situsnya. Assange berpendirian, data-data tersebut juga tak perlu diberi penutup sehingga publik bisa langsung melihat lalu menilainya.
Maka Wikileaks memuat data secara telanjang, tanpa dinarasikan, hanya pengantar singkat sebelum masuk ke kontennya. Kita membaca jutaan lembar dokumen rahasia itu seperti membaca patahan-patahan pesan pendek yang terserak. Julian Assange tak hendak menuntun kita memahaminya secara jernih. Ia percaya ketelanjangan yang murni akan bisa mengungkap kebenaran yang hakiki.
Demikianlah kemiripannya dengan media sosial. Ia menjadi topeng kita hingga ada orang yang kita kenal pendiam dan alim di dunia nyata, bisa berkata kasar seolah tak berpikir ada orang lain yang sakit hati dan tersinggung dengan maki-makiannya, di dunia maya. Ada orang yang kita kenal tak pernah marah, bisa gampang tersinggung di media sosial.
Kita tak habis pikir ada orang yang biasa saja, atau malah bangga, setelah melempar berita yang jelas-jelas rekayasa. Kita bisa leluasa melemparkan makian karena para pembaca hanya melihat umpatan itu yang diwakili nama akun, yang bisa palsu, yang bisa dibuat asal-alasan.
Mereka yang berada di baliknya jadi terlindungi dari kemungkinan sorotan negatif di dunia nyata. Maka yang alim di depan kita, di dunia real, bisa merutuk tak jelas juntrungannya di balik akun media sosialnya.
Bahkan ada banyak orang yang menjadikannya sebagai bisnis. Akun-akun pseudo meruyak dengan informasi yang seakan-akan meyakinkan, menggiring opini pembacanya kepada keyakinan mereka yang ada di baliknya. Kita pun hanyut, percaya, lalu ikut menghujat tanpa data yang valid. Seperti data-data di Wikileaks, tafsir pada penggiringan opini itu bisa benar tapi sering kali menyesatkan, karena pemahaman atas data tersebut acap ditopang oleh pretensi yang sudah tersedia dalam kepala kita.
Di zaman perang wacana ini, kita acap tak jernih melihat sesuatu, karena pada dasarnya kita percaya kepada berita yang kita suka. Maka, tak heran, berita rekayasa lebih dipercaya ketimbang kabar yang disajikan dengan verifikasi yang ketat dan independen. Sepanjang informasinya tak kita suka, kita akan menolaknya sebagai fakta.
Media sosial kian nyaman sebagai topeng dan tempat sembunyi karena ia tak menyediakan editor. Jika ingin tahu watak sebenarnya teman kita, kata seorang teman yang belum menonton film itu, tengoklah status-status mereka di media sosial. Itulah karakter asli dan tabiat sebenarnya dari orang itu. Mereka berkata jujur tentang diri mereka sendiri karena Facebook atau Twitter menjadi tempat berlindungnya, menjadi topeng dan wajah mereka dari dunia nyata.
Ada yang absurd dalam proses seperti ini. Manakah wajah asli kita jika kita sembunyikan ketika kita berperan di dunia maya? Media sosial yang menjadi topeng itu menyembunyikan kita, tapi di sana sebetulnya tampil wajah kita yang sebenarnya. Dunia bertukar-tukar dan kita sepenuhnya yang memilih peran: ingin terlihat seperti apa wajah kita di hadapan orang lain, di dunia maya dan dunia nyata.
Dunia memang hanya panggung sandiwara.
Hallo semua, inginkan sadar berkenaan Info berita sepak bola dunia manca negara?
banya liga inggris, spanyol, italy, indonesia tersedia disini.
mari kunjungi website-website kita. tentunya yang terupdate dan terkini.