Dalam demokrasi, sensor dan baper mendapat tempat, atas nama kebebasan berpendapat.
DI Dewan Pers waktu bisa menjemukan karena jam-jam menunggu giliran diadili. Sekali waktu bulan lalu, saya dan dua teman lain dari Tempo menunggu masuk “ruang sidang” karena laporan utama tentang perseteruan di dalam KPK diadukan oleh sejumlah pensiunan polisi yang tergabung dalam Ikatan Sarjana dan Profesi Perpolisian Indonesia.
Mereka mengadukan liputan itu karena merasa beritanya memojokkan Brigadir Jenderal Aris Budiman, anggota organisasi tersebut yang kini menjabat Direktur Penyidikan KPK. Ketua dan anggota ISPII menuduh penulis berita itu tak mengklarifikasi informasi dalam artikel tersebut kepada Aris. Padahal, Aris dihubungi dan menjawab bahwa tak berminat memakai hak jawab dan hak mengklarifikasi informasi-informasi dalam artikel utama.
Sewaktu menunggu itu, muncul Bagir Manan. Ia Ketua Dewan Pers dua periode, 2010-2016, setelah tak lagi menjadi Ketua Mahkamah Agung. Begitu melihat kami, ia melambai. “Sekarang kalian berkelahi dengan siapa lagi?” tanyanya.
Tentu saja ia berkelakar. Bagir Manan dan para komisioner Dewan Pers acap bertemu dengan para redaktur Tempo di ruang-ruang “pengadilan” karena banyak orang yang mengadukan berita-berita di Tempo. “Dewan Pers harus membuat rekor penanda tangan buku tamu terbanyak,” kata saya. Bagir Manan tertawa. “Tak apa-apa,” katanya. “Ini konsekuensi demokrasi.”
Konsekuensi demokrasi. Ia mungkin benar. Demokrasi menuntut kesabaran dalam banyak hal, termasuk sabar menunggu jadwal diadili. Dan riuh. Orang bisa dan boleh mengemukakan pendapat apa saja karena asas utama demokrasi menjamin kebebasan untuknya. Maka pers harus dibebaskan tanpa sensor, tapi yang memprotes atas kerja wartawan juga harus ditampung.
Dewan Pers adalah produk reformasi karena wartawan tak pantas masuk penjara karena tulisan-tulisannya. Jika ada yang tak senang dengan tulisan seorang wartawan, Dewan Pers akan menengahi lalu menilai pengaduan itu dan merekomendasikan penyelesaiannya melalui tulisan juga. Pendapat dibalas pendapat, tulisan dibalas tulisan pula. Demikianlah, konon, peradaban bekerja.
Di Amerika pasal pemidanaan wartawan telah dihapus sejak 1786, bahkan ketika anggota kongres masih banyak yang buta huruf. Meskipun pada praktiknya, Amerika selalu punya cara mengakali konsensus yang termaktub dalam pasal-pasal hukum. Sensor selalu punya jalan membungkam kebebasan berpendapat. Dan saya ingat cerita Margaret Anderson.
Ia perempuan yang lahir tahun 1886 di Indianapolis. Pada usianya yang ke-28, ia menerbitkan The Little Review di Chicago. Semboyan majalah itu: “majalah tentang seni”. Berkala kecil ini menerbitkan ulasan-ulasan psikologi, juga cerita pendek, hingga cerita bersambung.
Berkat majalah yang dibuat Margaret itu, kita mengenal karya-karya besar Hemingway, T.S Elliot, Ezra Pound. Namun, seperti umumnya majalah sastra dan sejenisnya, Margaret kesulitan pendanaan karena jarang orang mau membeli tulisan-tulisan serius yang tak layak dibaca di hari kerja. Ia tak mendapat sponsor, tabungannya juga tak cukup banyak untuk membiayai penerbitan. Edisi perdananya menyajikan cerita sampul tentang Nietsczhe.
The Review pun bangkrut. Margaret diusir dari rumah kontrakan karena tak sanggup membayar sewa lalu ia pindah ke New York. Di sini ia bertemu Jean Heap, perempuan yang aktif sebagai perupa yang kemudian jadi pacarnya. Margaret kembali mendirikan The Review seraya membuka toko buku kecil. Dalam periode ini, James Joyce mengirimkan Ulysses, cerita panjang tentang orang-orang Irlandia di Kota Dublin.
Cerita bersambung itu segera saja terkenal. Tapi, akibatnya, Margaret dan Jean kembali menghadapi kesulitan. Bukan soal uang tapi sensor. Orang-orang Amerika yang tersentak oleh ide-ide baru yang disajikan The Review membaca majalah ini dengan cemas dan curiga. Dan mereka menemukan celah lewat Ulysses yang dianggap mengandung pornografi.
Margaret dan Jean pun dihadapkan pada pengadilan. Hakim setuju dengan para penggugat. Kedua perempuan itu, dalam hidup mereka yang miskin, didenda masing-masing $100 dan tak dibolehkan lagi menerbitkan The Little Review. Sensor telah mematikan ide atas nama tafsir kebangkitan syahwat.
Mereka pun hijrah ke Eropa dan bertemu dengan perempuan lain yang bersimpati kepada keduanya di Paris: Sylvia Beach, pemilik toko buku kecil yang kini masih ada di tepi sungai Seine, Shakespeare and Co. Secara diam-diam Beach menerbitkan Ulysses lalu dibaca seorang hakim Amerika yang berpendapat ia tak bangkit syahwat setelah membacanya. Ulysses pun diizinkan terbit kembali.
Tafsir hakim yang membaca hukum yang sama pun berubah. Pikiran-pikiran manusia berkembang dan tafsir atas pelbagai hal muncul karena perkembangan itu. Maka, di zaman yang beradab, penyelesaian soal pendapat dan ide seharusnya memang diputuskan dalam sebuah rembug. Di Indonesia, lembaga rembug yang menjadi wasit atas berita-berita itu disebut Dewan Pers.
Bagir Manan mungkin benar: kesibukan Dewan Pers mengadili banyak berita adalah sebuah pertanda demokrasi sedang tumbuh. Walaupun sensor dan baper, dalam keriuhan itu, atas nama kebebasan bersuara itu, mendapat tempat yang sama derajatnya.
Oya, putusan Dewan Pers atas pengaduan edisi “Penyusup dalam Selimut” adalah liputan itu tak melanggar kode etik.