Bahkan Nabi Adam sekalipun, menurut kitab suci, bukan pribumi karena ia datang dari surga setelah berbuat dosa.
NAMA-nama dibuat manusia untuk memudahkan percakapan, mengukuhkan pertalian, atau menegaskan permusuhan. Kita tidak tahu untuk tujuan yang mana Anies Baswedan menyebut “pribumi” bagi mereka yang melawan kolonialisme dalam pidato seusai dilantik jadi Gubernur Jakarta.
Mungkin ketiga-tiganya untuk objek pendengar yang berbeda-beda. “Pribumi” adalah sebuah nama yang dipakai pemerintah kolonial untuk mengejek penduduk Nusantara. Kata ini melahirkan lawannya yakni “nonpribumi”. Dalam politik pecah belah kemudian, pemerintah kolonial memakai “pri” dan “nonpri” ini untuk membedakan penduduk Indonesia berdasarkan suku dan orang pendatang-keturunan.
Sebagaimana umumnya bahasa politik untuk segregasi, nama-nama tak pernah memuat pengertian yang tegas dan jelas. Ia dibiarkan mengambang karena tujuannya untuk menumbuhkan saling curiga orang yang ada dalam kategori itu.
Maka Presiden Habibie membuat instruksi pada 1998 yang melarang pemakaian kata ini. Sebutan “pribumi” telah memecah Indonesia yang berakhir dalam kerusuhan rasial paling mengerikan dalam sejarah Republik pada 1997. Orang marah kepada mereka yang dikategorikan “nonpribumi” yang merujuk pada sebagian kecil pengusaha Tionghoa yang mendapat privilese kebijakan Soeharto. Dengan melihat ambruknya Indonesia ketika itu, politik pecah-belah telah berhasil justru ketika Indonesia memasuki zaman modern.
Manusia membuat nama agar ia punya ciri yang berbeda. Tapi kita selalu punya cara mereduksi dan mengaburkannya melalui bahasa. Maka kendati bahasa Indonesia memiliki subjek yang jelas, kita acap mengaburkannya untuk banyak tujuan: sebagai bagian dari sopan santun, pertalian, atau ketaksaan berbahasa.
Dalam percakapan kita terbiasa mendengar pemakaian subjek yang keliru. “Kita sudah instruksikan Pemda membuat larangan…” kata seorang menteri. “Kita” di sana seharusnya dia sendiri. Tapi ia memakai “kita” untuk menalikan subjek dengan orang lain agar, mungkin, terdengar lebih sopan. Dalam surat-surat kita acap membaca kalimat terakhir dituliskan: “hormat kami” meski penulis suratnya bukan sekelompok orang mengatasnamakan satu RT.
Ada yang inklusif dalam pemakaian subjek dan objek seperti itu kendati keliru. Eufemisme kemudian memainkan peranan lebih dalam tentang pemakaian sebuah kata. “Aku” acap dianggap pongah dibanding “saya”, yang dianggap lebih sopan karena berasal dari “sahaya”, sebutan untuk orang di lapisan terbawah yang jauh dari kedudukan para raja. Di Jawa Barat, “kamu” dianggap terlalu lancang, maka orang menggantinya dengan “kita”. “Kita mau ke mana?” “Ah, kita mah curiga melulu.”
Ada tujuan politik dalam setiap kata, sebagaimana selalu ada makna di baliknya yang tak tertampung kamus. Dalam kamus “pribumi” disebut “penduduk asli dari tempat yang bersangkutan”. Tapi untuk apa kata ini diciptakan karena tak ada penduduk asli di bumi ini? Bahkan Nabi Adam sekalipun, menurut kitab suci, adalah makhluk yang diusir dari surga karena berbuat dosa.
Jawabannya adalah politik. Sebuah kata akan berkembang mengikuti pemahaman para pembuat, pemakai, dan penuturnya. Kata “pribumi” diciptakan pemerintah kolonial untuk menyebut objek, mereka yang dijajah, sekaligus menegaskan permusuhan. Maka hanya pemerintah kolonial yang memakai kata ini untuk melumpuhkan kekuatan rakyat jajahan karena mulai bangkit melawan kesewenang-wenangan mereka.
Karena itu para pemuda bersepakat pada 27-28 Oktober 1928 membacakan sebuah maklumat Keindonesiaan melalui Sumpah Pemuda. Kata-katanya tegas: kami putra dan putri Indonesia…. Mereka menyebut “kami” karena ikrar itu ditujukan untuk menyatukan kelompok-kelompok pemuda waktu itu, sekaligus menegaskan keberadaan mereka di hadapan pemerintah Belanda. Mereka tak menyebut diri “kami pribumi Indonesia…”, seperti julukan yang diberikan pemerintah kolonial.
Maka jika Anies Baswedan masih memakai kata ini dalam pidatonya, betapa pun kata itu ia artikan untuk menyebut “kita” yang “bukan pemerintah kolonial”, agaknya ada yang keliru dalam pemahamannya tentang sejarah. Kata itu tak pantas diucapkan dalam pidato resmi karena menyimpan sejarah panjang tentang diskriminasi.
Dugaan ini mungkin terlalu keji bagi dia karena Anies seorang cendekiawan—setidaknya ia pernah jadi Rektor Universitas Paramadina—yang pasti tahu bagaimana adab berpidato dan paham cara kerja kata dan bahasa.
*) Teks asli dimuat di Rubrik Bahasa! majalah Tempo edisi 29 Oktober 2017.