Mengapa perusahaan media masih mencetak berita hari ini untuk diedarkan besok? Apa yang terjadi jika Facebook membuat berita?
YA, apa yang terjadi jika media sosial dengan 2 miliar pengikut ini memproduksi berita investigasi yang dipadukan dengan video, foto, cerita di balik sebuah peristiwa, dan tayangan langsungnya? Apa yang terjadi dengan kantor-kantor berita jika Facebook menayangkan berita yang layak dipercaya?
Sejak sepeda motor tua sering mogok dan jarang dipakai ke stasiun, setiap pagi sebelum naik ke peron saya membeli Koran Tempo. Ini koran tempat saya bekerja. Berita-beritanya saya tahu semalam sebelumnya karena, meski tak secara teknis ikut mengerjakannya, tapi saya ikut memantau rapat perencanaan dan pengecekan bahannya.
Saya membeli Koran Tempo pertama-tama karena kasihan kepada penjualnya. Ia seorang tua yang kalau senyum terlihat getir. Senyumnya sejenis sungging yang tabah. Dengan tubuh kerempengnya yang hitam ia bertahan menjual koran yang tak lagi diminati para komuter. Ia salah satu dari sekian banyak orang yang terkena disrupsi teknologi yang tengah melanda hidup manusia dalam banyak segi.
Di zaman digital, dan perbaikan stasiun kereta sepanjang Jabodetabek, para penjual koran cetak bertahan meski tersisih: pembeli berkurang dan mereka mangkal di luar peron yang jauh. Pelanggan mereka adalah orang yang naik angkutan kota atau ojek karena mereka harus jalan kaki menuju peron. Di pintu masuk itulah para penjual koran mencegat mereka.
Pengendara sepeda motor atau mobil tak bisa mereka cegat karena ada pintu khusus yang terpisah jarak dengan pintu masuk pejalan kaki. Sebelum stasiun Bogor ditata rapi, para penjual koran mangkal di muka pintu kereta sehingga pembelinya semua penumpang. Penjual koran langganan saya ini bisa menjual 200 eksemplar setiap pagi di zaman itu, dan kini tinggal 20 saja.
Saya membeli koran karena kasihan kepada penjualnya, mereka yang bertahan menahan zaman yang serba digital. Saya membeli koran bukan karena ingin tahu beritanya, sebab berita-berita sudah saya baca pagi sebelum berangkat kerja setelah joging lewat aplikasi. Hari itu Koran Tempo habis. Jadi saya membeli Kompas.
Berita-berita Kompas tak ada yang baru. Berita Saracen di halaman depan seperti ketinggalan 24 jam dari informasi yang ada di Twitter. Berita lainnya juga sama. Jadi saya membaca kolom opini yang disediakan dua halaman penuh. Di sini malah ada perspektif baru, meskipun beritanya lama, tentang e-dagang Alibaba, kesantunan di media sosial, dll.
Di halaman-halaman opini kita menemukan perspektif terhadap sebuah peristiwa. Di sana tak ada informasi karena kolom di media massa justru menafsirkan informasi dan memberi panduan kepada pembaca tentang apa yang sedang terjadi. Kolom di media massa membekali kita dengan sudut pandang, memandu kita memahami makna di balik peristiwa.
Sementara pada halaman berita, kita tak mendapatkan informasi yang baru. Sebab, berita-berita meluber dari banyak saluran. Penangkapan pengelola Saracen itu tak terhitung jumlahnya karena sedang populer, dengan pelbagai sudut pandang. Benar kata Don Tapscott, penulis Macrowikinomics itu, di zaman Internet, beritalah yang akan menemukan pembaca, dengan teknologi filter, pengelompokan minat, dan optimasi mesin pencari, informasi mengalir kepada pembaca tanpa mereka cari.
Saya tak perlu menunggu berita 24 jam kemudian untuk tahu apa yang terjadi hari ini. Peristiwa detik ini langsung tersaji beberapa menit kemudian, dengan perbaruan informasi yang terus menerus. Saya tinggal mengeklik satu berita untuk tahu sebuah isu karena para pengelola berita menautkan berita sejenis dalam satu halaman, bahkan tersedia berita-berita tentang satu tokoh.
Kalau pun ingin membaca berita hari ini pada esok, saya membutuhkan panduan perspektif. Dan itu disediakan kolom. Tapi kolom-kolom di koran sering kali ketinggalan isu. Kolom hari ini adalah komentar atas berita tiga-empat hari sebelumnya; tetap terlambat sementara perspektif saya telah diperbarui oleh berita-berita yang kian komplit seiring waktu.
Jadi, mengapa masih mencetak berita kemarin untuk diedarkan hari ini? Pertanyaan ini pun segera basi jika kembali kepada pertanyaan awal: apa yang terjadi jika Facebook punya wartawan dan menyediakan semua berita yang diperlukan pembaca? Tentu bukan hal yang sulit bagi Zuckerberg merekrut wartawan-wartawan terbaik dari seluruh dunia untuk berhimpun di bawah perusahaannya lalu memproduksi berita-berita paling berkualitas untuk dikonsumsi penduduk dunia.
Jika itu terjadi, mungkin tak ada lagi nama-nama media, tak ada lagi kantor-kantor berita. Mereka akan mati karena tak bisa menandingi jumlah pembaca Facebook. Apalagi Facebook juga punya Whatsapp yang bisa menjadi penyalur berita paling efektif hari ini. Perusahaan media tak akan lagi punya audiens, sebab pembaca mereka akan beralih ke Facebook yang menyediakan platform interaktif dalam kerumunan yang besar.
Overall it’s very good, tapi ada beberapa kata yg susah di fahami oleh kids zaman now atau mgkn baby boomers. Contoh, e-dagang, dsb… terlalu banyak di opening… lebih di padetin dikit. Penggunaan kata di ending cerita harus nya sesuai tema agak di bikin sedikit menakutkan.
thank you, pak david. e-dagang itu padanan istilah e-commerce, hehe. saya lebih setuju pada pendapat bahwa disrupsi seharusnya tak dibikin menakutkan. disrupsi itu harus dihadapi karena kita tak bisa menghindar dari guncangannya. disrupsi jadi menakutkan jika kita melihatnya memakai perspektif “change management” karena CM menuntut adanya “sense of urgency”.