Dilema jurnalisme warga justru terletak pada kebebasan para “wartawannya” mencari dan menyajikan berita.
JURNALISME warga bermasalah sejak dari nama. “Warga” adalah kata yang melekat pada tempat, ia tak bisa berdiri sendiri: warga Solo, warga Jakarta, warga Bojongkenyot. Dan “jurnalisme” dipersempit hanya sekadar mengumpulkan dan menyiarkan kabar dari sebuah kejadian.
Istilah “jurnalisme warga” diIndonesiakan dari “citizen journalism”, yang lahir dari gerakan wartawan Amerika Serikat mengikutsertakan publik memberi informasi calon-calon presiden pada pemilihan 1988. Setelah itu citizen journalism berkembang menjadi partisipasi publik melaporkan peristiwa di sekitarnya dalam media nonkonvensional. Karena itu padanan yang pas untuk “citizen” barangkali “publik”—untuk mendefiniskan liputan bukan oleh wartawan.
Jurnalisme publik menjadi alternatif bagi orang banyak mendapatkan informasi sebuah insiden secara jujur dan utuh. Bagaimanapun mata dan telinga para wartawan terbatas. Mereka tak bisa mengendus semua hal dan melaporkannya. Dan media massa punya kriteria “layak berita” untuk sebuah peristiwa. Maka jurnalisme publik perlu disambut karena meluaskan dan memberagamkan informasi.
Invasi Amerika Serikat ke Irak, konflik Suriah, reformasi Mesir, tsunami Aceh, hingga demonstrasi besar di Turki dan korban-korban kabut asap, tersiar sebermula karena laporan-laporan para pendemo dan korban bencana langsung dari tempat kejadian. Informasi itu tersebar melalui jejaring media sosial: Facebook, Twitter, blog. Di mana para wartawan? Mereka masih rapat di ruang redaksi.
Internet membuat jurnalisme publik menemukan waktu tepat berkembang pesat. Informasi tersiar cepat tanpa melalui proses keredaksian media konvensional yang rigid. Don Tapscoot dan Antony William dalam Macrowikinomics mencontohkan Huffington Post sebagai media online yang berhasil mengorganisasikan jurnalisme publik.
Di sinilah justru soalnya. Huffington Post pada akhirnya mempraktikkan apa yang media konvensional lakukan. Jurnalisme tetap saja jurnalisme yang menuntut verifikasi dan konfirmasi, karena kebenaran tak dimonopoli satu pihak. Jurnalisme menyediakan kemungkinan kebenaran lain dari sebuah informasi. Para wartawan mesti sadar bahwa kamera, foto, dan jumlah halaman koran tak bisa merengkuh objek berita secara menyeluruh. Ia berbingkai karena itu informasi terbatas.
Pada akhirnya Huffington Post menjadi media pengumpul berita (aggregator) yang mengais berita dari media konvensional yang telah memverifikasi informasi-informasi yang ditulisnya. Ada anekdot di Amerika bahwa jika para blogger mengambil berita situs resmi mereka disebut pencuri hak cipta, tapi ketika Huffington mengambil berita itu ia disebut agregator.
Laporan-laporan saksi mata dari tempat kejadian sebuah peristiwa hanyalah laporan sepihak jika tak membuka ruang bagi semua aktor dalam peristiwa itu berbicara. Ia akan menjadi laporan jurnalistik jika kerja verifikasi dan konfirmasi telah terjadi, seperti liputan-liputan Huffington Post. Di Indonesia, jurnalisme publik dipahami sebagai hanya penyebaran informasi, yang celakanya sepihak dan medianya jadi sarana memfitnah di balik nama palsu.
Karena mengandung kata jurnalisme, media-publik tetap harus bertanggung jawab. Para penulisnya harus memberi tahu pembaca bagaimana mereka mendapatkan informasi sehingga faktanya bisa ditakar. Atau pengelola medianya, seperti redaksi Huffington Post, yang memberlakukan verifikasi ketat terhadap kontributor dan fakta yang ditulisnya.
Maka jurnalisme publik hanya berbeda pada status kewartawanannya belaka: yang satu profesi, lainnya mungkin hanya hobi. Kaidah, prosedur, dan etika pengumpulan serta penyiaran informasinya tetap sama: yang cek dan cek fakta serta konfirmasi kepada aktor-aktor dalam berita sebagai ruang perlombaan menampilkan kebenaran.
Pada dasarnya tak ada kebenaran mutlak. Kebenaran memiliki versi masing-masing. Wartawan akan menguji tiap versi itu lalu memberikan panduan mana kebenaran yang paling ditopang oleh fakta dan data. Itu pun tetap saja tak cukup. Media adalah media, wartawan tetap saja sebagai perantara dari tiap versi-versi itu. Media selamanya tak akan bisa mengungkap kebenaran, ia hanya bisa mendekati, dengan prosedur-prosedur yang tak merugikan publik dan para pelaku dalam peristiwa yang mereka tulis.
Maka jurnalisme publik yang kian menemukan bentuknya di zaman Internet ini, layak diterima sebagai alternatif mendekati kebenaran-kebenaran itu. Ia menjadi dilema, sebagai pers yang tak bertanggung jawab, jika malah dipakai untuk mengaburkan kebenaran yang seharusnya diketahui orang banyak itu. Jurnalisme publik menjanjikan karena jurnalisme kian menuju “media tak berumah” atau “homeless media”: para wartawan tak perlu punya nama media karena media sosial telah merebut audiens mereka dalam jumlah ribuan kali lipat.
*) Perluasan dari artikel di kolom Opini Koran Tempo yang dimuat ulang situs Tempo.co edisi 23 November 2013.