SUMBER ANONIM DALAM BERITA

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Washington Post membuka identitas sumber anonim karena terbongkar menyebar kabar bohong. Menguji prosedur jurnalistik.

SUMBER tak bernama itu mengaku punya hubungan rahasia hingga hamil dengan kandidat senator Partai Republik dari Alabama, Roy Moore. Politikus 70 tahun ini sedang ramai diberitakan dan dihujat banyak orang di Amerika Serikat karena terungkap pelbagai skandal seksnya.

Perempuan 41 tahun, yang mengaku bernama Jaime Phillips itu, ternyata bekerja untuk sebuah organisasi yang bertujuan mempermalukan kerja-kerja investigasi media liberal di Amerika.

Nona Phillips mengontak reporter The Post setelah koran besar yang terkenal karena investigasi korupsi Presiden Nixon pada 1960-an itu menerbitkan tulisan panjang hubungan seksual Roy Moore dengan sejumlah perempuan. Di Amerika, pelecehan seksual oleh orang terkenal seperti bola salju, yang menggelinding kian membesar dan menyapu ke mana-mana.

Jaime Phillips mengaku hamil di luar nikah bersama Moore pada usia 15 tahun atau tahun 1992. Sebagaimana umumnya kerja wartawan, reporter The Post lalu mengecek latar belakang dan profil perempuan yang mengaku hanya sementara tinggal di Alabama—padahal nomor telepon yang terdaftar atas namanya memang nomor negara bagian itu. Banyak cerita yang bertabrakan satu sama lain, sehingga The Post memutuskan mengirim dua reporter menguntit Nona Philip, yang mengaku bernama Lindsay James.

Dua reporter itu terkejut bahwa Phillips ternyata bekerja untuk Project Veritas, sebuah organisasi yang didirikan James O’Keefe untuk melawan ideologi media-media besar yang mempromosikan liberalisme. Ia merekrut reporter untuk menyamar menjadi narasumber lalu mengarang cerita palsu untuk dimuat di koran. Setelah beritanya tayang, organisasi ini akan mengungkap bahwa cerita-cerita itu palsu sehingga kredibilitas media itu hancur di mata publik.

Jaime Phillips diduga salah satu narasumber yang menyamar itu. Ia mengaku korban Roy Moore karena politikus ini sedang terkenal menjadi berita di semua media. Dalam penguntitan The Post, Jaime terlihat masuk ke kantor Project Veritas dan mobilnya terparkir di sana berjam-jam. Bergabungnya Jaime ke organisasi itu juga terkonfirmasi oleh pengumumannya di Internet bahwa ia akan bergabung dengan sebuah organisasi konservatif di New York untuk menahan kampanye media liberal seperti The Post.

Dari kejadian ini kita bisa tahu betapa ketat sistem pengecekan fakta Washington Post. Mereka memiliki sumber daya cukup untuk membuat riset dan memeriksa latar belakang dan motif narasumber memberikan informasi kepada mereka. Reporter The Post telah mempraktikkan kredo para jurnalis: skeptic dan curious. Dua senjata ini telah menyelamatkan koran itu dari kehancuran reputasi akibat cerita bohong narasumber yang hendak menjebak reporter mereka.

Para wartawan umumnya bergairah kepada narasumber rahasia yang memiliki cerita dan data soal penyelewengan yang disembunyikan. Gairah yang bisa menjebak jika tak diimbangi dengan dua senjata tadi. Terlalu bergairah kepada bahan, dalam liputan apa pun—yang berat atau yang ringan—tak akan berfaedah pada kerja jurnalistik. Washington Post contoh terbaik membuktikan wartawan harus menghindari “mudah terharu” pada banyak hal.

Dalam skala yang berbeda, saya pernah mengalami usaha penipuan oleh narasumber. Syahdan, sekali waktu di tahun 2007, datang serombongan orang yang mengaku aktivis sebuah organisasi ke kantor kami. Mereka membawa tiga lembar kertas berisi rangkuman cerita kejahatan sekelompok orang lain memalsukan air galon. Menurut cerita mereka, sekelompok orang itu menukar air galon merk-merk terkenal di tengah jalan dengan air kotor.

Sederhananya, telah terjadi perampokan air sehingga orang Jakarta terancam mengonsumsi air kotor karena menyaru dengan air bersih yang telah lolos uji lab. Orang-orang dari organisasi ini juga membawa foto dan video yang merekam perampokan itu. Tak hanya satu titik penukaran air, namun beberapa titik di Jakarta dan, kata mereka, telah berlangsung bertahun-tahun.

Secara magnitude atau skala peristiwa, ini kasus menarik karena menyangkut urusan banyak orang, tak sekadar kerugian pada pebisnis air. Kami pun menyatakan tertarik menelusuri lebih jauh pencurian air itu. Maka sejumlah pertemuan dirancang dengan narasumber-narasumber yang mengetahui kejadian tersebut. Tanpa memberi tahu orang-orang di organisasi itu, para reporter dikirim mengecek titik-titik pencurian seperti terekam dalam video.

Dari pengecekan itu ternyata tak semua titik menjadi tempat berhenti truk galon air. Juga tak ada tukar-menukar galon. Mungkin karena waktunya tak pas, kata si narasumber. Mereka meminta kami mengecek pada hari dan jam yang mereka tentukan. Keanehan makin memuncak ketika, setelah beberapa kali bertemu, mereka meminta uang sebagai imbalan memasok data. Menurut mereka, imbalan biasa mereka terima ketika memasok data ke media lain, seraya menyebut judul-judul liputan “investigasi” yang menghebohkan.

Setelah menimbang pengecekan awal dan permintaan mereka, kami memutuskan tak melanjutkan penelusuran itu. Selain memberi uang kepada narasumber untuk ditukar data adalah perbuatan terlarang karena sama saja menyuap untuk mendapat informasi, fakta dalam dokumen dan rekaman itu meragukan.

Belakangan baru kami tahu bahwa “perampokan” air itu dibuat para narasumber ini. “Pelaku” perampokan tak lain teman mereka sendiri yang direkam sebagai bukti untuk meyakinkan wartawan. Tak mengherankan dalam banyak liputan investigasi yang datanya mereka pasok, kejadian-kejadian dalam tayangan itu tak disebutkan waktu dan tempatnya, dengan alasan perlindungan terhadap narasumber yang dirahasiakan.

Kaidah ini memang acap disalahgunakan oleh para wartawan. Dengan alasan melindungi narasumber rahasia, para wartawan akan mempertahankan anonimitas narasumber rahasia, bahkan jika berita itu ada yang menggugat hingga masuk pengadilan. Maka dalam prosedur jurnalistik ada kaidah lain bahwa wartawan harus membuka jati diri narasumber rahasia mereka jika belakangan terbukti ceritanya bohong. Washington Post bahkan melakukannya sebelum ceritanya tayang.

Di kalangan wartawan pemula bahkan sumber anonim mereka pakai untuk mengesankan misteri, seolah-olah beritanya genting jika memakai sumber tak bernama. Padahal tugas pertama seorang wartawan adalah membujuk narasumber berterus terang tentang identitas mereka untuk menakar kredibilitas informasinya. Perjanjian anonimitas terjadi jika informasinya memang sangat rahasia dan ada urusan keselamatan narasumber jika identitasnya terbuka.

Jadi predikat narasumber anonim tidak datang dan atas inisiatif wartawan. Sepanjang narasumber tidak meminta identitasnya disembunyikan, wartawan tak perlu berbaik budi menawarkan status kerahasiaan. Dan ketika kedua pihak setuju menerakan narasumber anonim, segala risiko berada di tangan wartawann itu, termasuk jika kelak terbukti cerita itu palsu belaka.

Menarik juga bahwa ada lembaga semacam Project Veritas yang secara sengaja dibuat untuk menipu para wartawan dan mempermalukan kerja-kerja jurnalistik mereka. Dengan merekrut orang dan memiliki kantor, Project Veritas sangat serius membuat skenario menjebak para jur warta yang serampangan dan percaya begitu saja omongan narasumber.

Belum tercatat apakah kerja Project Veritas telah berhasil. Akan menarik jika mereka mengumumkan bahwa sebuah media telah gegabah mengutip narasumber palsu yang mereka sediakan, dengan meyakinkan. Tentu pengakuan itu akan memalukan media itu, sekaligus tamparan kepada wartawan yang menulisnya bahwa ada prosedur keliru yang luput diverifikasi.

Apa pun tujuannya, Project Veritas menjadi semacam disrupsi bagi kerja jurnalistik. Paling tidak para wartawan akan terdorong bekerja lebih solid, meskipun tanpa lembaga semacam itu pun seharusnya wartawan bekerja sesuai prosedur yang ketat. Di Indonesia, pengawas resmi terhadap kerja-kerja media disebut Dewan Pers, meskipun mereka menguji sebuah berita jika ada pengaduan dari narasumber yang merasa dirugikan.

Dengan kekuasaannya yang begitu besar membentuk opini publik, wartawan mungkin terperosok pada apa yang disebut trial by the press. Prosedur dan kode etik dibuat untuk menghindarkan dari kesalahan tersebut. Lewat sistem pengecekan fakta yang ketat seperti yang diterapkan Washington Post, pelanggaran etik oleh wartawan akan terhindarkan sedini mungkin.

Selalu penasaran dan terus meragukan informasi adalah senjata ampuh para wartawan dalam kerja-kerja jurnalistik.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)