METONIMIA

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Metonomia bisa berbentuk macam-macam. Perubahan makna kata akibat pemakaian dan kebiasaaan.

SAYA baru paham bahwa ada beda nuansa antara kata “rapat” dan “meeting” setelah seorang teman yang bekerja di perusahaan multinasional tertawa mendengar saya meminta maaf karena tak bisa memenuhi undangannya akibat jam acara bertepatan dengan “saya rapat”. Menurut dia, baru kali itu ada orang yang mengatakan kata yang terdengar jadul ini.

“Rapat” jadi terasa anakronistis ketika bahasa telah bercampur-baur saling serap. Teman saya itu tak menertawai kekampungan saya karena mengucapkan kata tersebut. Ia hanya merasa aneh karena sudah lama ia tak mendengar kata ini dalam percakapan-percakapan di Ibu Kota. “Rapat” bagi dia berasosiasi dengan balai desa dan kepala desa yang memakai safari plus peci, jauh dari kesan pertemuan memakai teknologi semacam Skype atau konferensi secara online.

Kata-kata sudah lama menyediakan diri dengan kemungkinan erosi makna. Sebuah kata akan terasa asing dan berasosiasi pada arti tertentu karena demikianlah ingatan publik menyimpannya. Atau karena bahasa memang bagian dari kebudayaan, alat komunikasi yang di belakangnya terdapat kultur yang rumit bahkan untuk dijelaskan dengan kata-kata.

Seorang teman Korea Selatan berubah dari masygul menjadi marah karena anak buahnya, orang Indonesia, selalu memanggilnya dengan sebutan “mister + nama keluarga”. Bagi dia, panggilan itu justru melecehkan karena diskusi jadi tak mengalir dan ia tak bisa menangkap ide anak buahnya akibat sopan-santun tersebut. Padahal ia memerlukan masukan ide untuk memecahkan soal di kantor mereka di Jakarta.

Kawan saya itu mengeluhkan sopan-santun orang Indonesia dalam kelas kepemimpinan di kuliah bisnis yang tengah membahas soal kesenjangan dalam kekuasaan (distance to power). Dengan undak-usuk dan sopan-santun dalam bertutur, orang Indonesia menempati urutan tertinggi dalam hal kesenjangan. Artinya, berhubungan dengan orang Indonesia terasa ada jarak akibat budaya. Orang Amerika Serikat juara dalam hal ini. Jika sudah melalui tahap formal, mereka tak punya kesenjangan karena anak buah dan atasan bisa saling memanggil nama depan.

Di kantor teman Korea itu, anak-anak buahnya bahkan tidak pernah memanggilnya dengan kata ganti “kamu”. Menurut dia, yang lama tinggal di Singapura dan Dubai, cara komunikasi seperti itu agak keterlaluan tak efektif karena mematikan egalitarianisme dalam percakapan. Ia heran bukan kepalang ketika pelayan kantor bertanya, “Bapak mau minum apa?” “Ha? Siapa itu Bapak? Apakah kamu berbicara dengan saya?”

Sesungguhnya apa yang dialami teman Korea itu adalah kesenjangan dalam bahasa. Orang Indonesia tak terbiasa menyebut nama atau kata ganti “kamu” kepada lawan bicara dalam percakapan, terutama bagi dua orang yang baru kenal, relasi bisnis, atau ketika tahu usianya lebih tua.

Bahkan, ketika sedang mengobrol berdua, lawan bicara akan menyebut nama ketika tak ada predikat di depannya, sebagai jalan tengah agar tak dianggap lancang dan menghindari formalitas. “Oh, Bagja mau ke mana?”—meskipun pertanyaan itu ditujukan kepada saya. Agak kurang sopan jika dia mengatakan, “Oh, kamu mau ke mana?” Pilihan pertanyaan yang agak sopan adalah, “Pak/Mas Bagja mau ke mana?” Memakai kata ganti “Anda”, meskipun sah secara etiket dan tata bahasa, terdengar sangat formal.

Juga pemakaian kalimat tak lengkap dalam percakapan. Orang Indonesia sangat biasa menghilangkan obyek dalam kalimat mereka. Maka kita cukup mengatakan “apa kabar” kepada lawan bicara saat pertama bertemu dan lawan bicara itu akan paham itu sapaan untuknya, sementara bahasa Inggris sangat jelas strukturnya dalam “how are you“. Bahkan, saat kita mengucapkan “terima kasih” atau “maaf”, struktur baku bahasa Indonesia tak mewajibkan subyek dan obyek seperti pada “thank you” atau “forgive me“.

Dengan pola struktur bahasa seperti itu, tak mengherankan jika orang Indonesia senang memakai kalimat pasif. Dalam kalimat pasif, subyek dan obyek hilang karena struktur kalimat menyandar sepenuhnya pada predikat. Di banyak media, sering kita baca “Pencuri Berhasil Ditembak dan Ditangkap”. Siapa yang menembak dan menangkap tidak jelas.

Kalimat itu juga mengandung kekacauan makna karena artinya sangat berlawanan dengan apa yang kita pahami. Karena terbiasa bertemu dengan kalimat seperti itu, kita tahu penulis judul berita tersebut ingin mengatakan “seseorang entah siapa telah berhasil menembak dan menangkap seorang pencuri”. Namun, ketika ditulis dalam kalimat pasif seperti itu, maknanya adalah “seorang pencuri telah sukses dan mencapai cita-citanya ditembak dan ditangkap”. Kata “berhasil” di sana menunjukkan dan memberi makna pencapaian.

Sebuah kata bisa mengalami erosi berkali-kali karena pemakainya mendapat kata lain yang dianggap lebih pas menyampaikan sebuah makna, seperti dalam kata “rapat” dan “meeting” itu. Erosi bisa juga terjadi karena pengaruh budaya yang berimbas pada percakapan, pengaruh sopan-santun yang berakibat pada kesalahan-kesalahan gramatika, seperti maling yang bercita-cita ditangkap dan ditembak itu.

*) Dimuat kolom Bahasa! di majalah Tempo edisi 3 Desember 2017

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)