DISRUPSI DIGITAL DI MEDIA

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Disrupsi digital di media massa sudah terjadi lama. Uji coba tengah terjadi sebelum kematian media cetak.

TAJUK Rencana Kompas edisi 11 Desember 2017 membahas soal “Kepercayaan pada Media Cetak”. Penulisnya mengutip survei Nielsen Company yang menyebutkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap media cetak masih tinggi. Penulis Tajuk yang mewakili Kompas itu bergembira dengan hasil survei ini karena menjadi kabar baik bahwa media cetak kemungkinan bisa bertahan.

Kegembiraan penulis Tajuk itu seolah era digital gagal mendisrupsi bisnis media cetak sehingga ia senang media cetak tak akan menghilang. Seolah tingkat kepercayaan yang tinggi itu membuat media cetak menang dibanding media digital akibat meluasnya Internet dan telepon pintar.

Penulis Tajuk itu menghadapkan media cetak dengan media sosial yang saling meniadakan dan berkompetisi menyajikan berita. Di sisi lain ada juga media digital yang melengkapi media cetak. Saya tak paham mengapa media cetak vis a vis dengan media sosial. Sebab, media sosial seperti Facebook sejauh ini belum menyediakan konten berita. Berita yang ada di sana tetap dipasok oleh perusahaan media, seperti Kompas.

Mungkin yang dimaksud penulis Tajuk itu bukan media sosial, melainkan blog karena web menampung “berita” dari para penulis yang bukan wartawan, para “citizen journalist”. Blog memang tak menyediakan editor bagi tulisan-tulisan itu, sama seperti artikel yang ditempatkan dalam kolom status pada Facebook atau celetukan di Twitter atau rekaman berseri di Instagram. Tapi kita, sebagai pembaca, bisa menakar akurasi informasi yang ada di sana.

Maka media sosial tak bisa diperhadapkan dengan media cetak karena perbandingannya tak sepadan, seperti membandingkan apel dengan jeruk. Bahwa media sosial seperti Twitter dan Facebook menjadi jendela pertama bagi kita mengetahui sebuah informasi, ia belum disebut berita karena informasi akan sah menjadi berita jika telah melalui verifikasi dan konfimasi—dua peran media massa yang tak dimiliki media sosial.

Di zaman Twitter dan Facebook, para wartawan media online memang memantau apa yang terjadi di media sosial, tapi ketika mereka memberitakan tetap saja formatnya mematuhi kaidah-kaidah dalam pembuatan berita. Wartawan yang memantau kejadian di Facebook atau Twitter tetap harus memverifikasi informasi tersebut sehingga beritanya tak sekadar mengumpulkan celetukan tapi layak dipercaya sebagai informasi. Sydney Morning Herald dengan sangat bagus menyajikan berita berkarakter online yang mengais dari peristiwa yang ada di Twitter tentang penanganan bencana.

SMH
Berita di Sydney Morning Herald

Lalu penulis Tajuk Kompas itu juga menghadapkan media cetak dengan media digital, seolah keduanya makhluk lain jenis. Keduanya memang beda tapi ini semata urusan format. Cetak dan online itu soal platform, soal medium. Berita media cetak ada di kertas, berita online ada di Internet. Keduanya menyajikan barang yang sama yakni berita. Kualitas informasi dalam berita itu tak berkurang karena formatnya. Keduanya tetap harus memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik.

Wartawan media online tetap harus independen, akurat membuat berita, berimbang dengan memberikan suara yang sama terhadap aktor-aktor berita, dan tak punya intensi merusak fakta demi pembentukan opini publik yang diinginkannya. Berita di media cetak tak bisa disebut lebih akurat ketimbang media online—atau dalam bahasa Tajuk Kompas—media digital. Keduanya harus sama-sama akurat karena yang membuat beritanya disebut wartawan. Mempertentangkan keduanya keliru besar.

Ciri khas zaman digital adalah adopsi dan adaptasi. Philip Meyer dalam bukunya The Vanishing Newspaper memang meramalkan media cetak akan mati pada 2043. Ia memprediksi pada tahun itu kita tak lagi membaca berita pada kertas yang dicetak karena perusahaan media akan mengalihkan beritanya secara digital ke Internet yang diakses melalui tablet atau telepon pintar atau mungkin ada sarana lain yang bukan kertas.

Jadi berita tak akan mati sepanjang manusia masih jadi makhluk sosial. Yang menghilang dan berganti adalah formatnya. Sekarang media-media besar di seluruh dunia sedang mencari format digital yang pas agar digemari pembaca dan tetap menempatkan jurnalisme sebagai alat menyajikan kabar yang berguna buat hidup manusia. Saat ini memang media masih ada di era euforia Internet.

Internet telah merebut pangsa pasar pembaca berita karena format cetak jadi anakronistis ketika semua orang tak bisa berpaling dari gadget. Kita tak bisa menunggu berita hari ini pada esok karena Internet memungkinkan peristiwa bisa dilaporkan secara langsung saat kejadian. Maka pembaca berita pun pindah ke Internet. Para pengelola media melihat ceruk ini karena iklan cetak juga tak bisa diharapkan akibat pemilik iklan juga beralih ke Internet.

Dua kepentingan itu pun bertemu di medium bernama dunia maya, hingga datang Google yang mendisrupsi bagaimana wartawan membuat berita. Dengan Google Trend dan SEO, wartawan dituntut membuat berita dengan mendekatkan pada kebutuhan pembaca yang tengah mencari sebuah informasi melalui sebuah kata di mesin pencari. Sebab, tanpa keyword yang tepat, sebuah berita yang bagus akan kesepian di rimba maya karena tak ada yang membaca.

Dari situasi itu muncul istilah berita click-baiting. Judul-judul berita online dibuat sesuai kata kunci agar berita tersebut berada di puncak mesin pencari sehingga berpeluang paling besar diklik oleh pembaca. Bagi media online, klik itu sangat penting karena akan menentukan page view dan page view akan dijual ke pengiklan sebagai tulang punggung media online hidup dan mendapatkan penghasilan untuk membiayai ongkos produksi mereka membuat berita.

Wartawan media online membuat judul berita sedemikian rupa agar menarik pembaca mengekliknya.

Di Indonesia, menurut data APJII, ada 370 media yang memproduksi 110.000 berita per hari di Internet. Semuanya berlomba ingin diklik oleh pemakai Internet yang berjumlah 132,7 juta, sebanyak 25 persen di antaranya rutin membaca berita rata-rata 4-12 berita sehari. Perlombaan paling banyak diklik itu membuat media online jadi terasa murahan dan meninggalkan kualitas jurnalistik. Sebab keberhasilan dan jangkauan sebuah berita bisa dilihat secara langsung melalui jumlah pembaca lewat mesin penghitung klik.

Dari situ bisa terlihat, pangkal soalnya bukan pada akurasi atau formatnya yang berbeda, tapi karena berita masih digratiskan. Dengan gratis, media bersandar sepenuhnya pada penghasilan iklan, dan iklan ditentukan oleh seberapa banyak klik yang masuk. Jadi lingkaran setan, memang, sehingga hak kita mendapat berita yang benar jadi ternoda akibat banjirnya informasi yang membuat kita tersesat dalam belantara berita. Mana berita yang layak dipercaya jika setiap media memproduksi berita yang sama dengan sudut pandang berbeda-beda?

Ramalan Philip Meyer mungkin jauh lebih cepat terjadi. Tak perlu menunggu 2043, semua media akan beralih ke digital dan tak akan ada lagi kita temukan berita yang dicetak. Disrupsi digital sudah lama melanda industri media. Dalam American Journalism Review yang mengantarkan edisi kedua bukunya pada 2008, Meyer menawarkan jalan lain untuk melanggengkan berita, yakni format jual eceran, seperti iTunes menjual musik per lagu.

Belakangan iTunes meniru Spotify yang memberlakukan langganan lagu. Dalam bisnis berita, format-format itu masih harus diuji. Blendle di Belanda lumayan sukses meniru Spotify dalam jurnalisme. Intinya, disrupsi bukan sesuatu yang menakutkan, seperti khawatirkan Tajuk Kompas itu. Disrupsi justru menantang karena persaingan bersandar sepenuhnya pada inovasi. Dalam era disrupsi, slogannya adalah “inovasi sampai mati”.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

3 thoughts on “DISRUPSI DIGITAL DI MEDIA”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)