Dalam rangka ikut merayakan harbolnas, hari belanja online nasional, tiap 12 Desember. Tahun ini nilai transaksinya tembus Rp 4 triliun.
SEBUAH transaksi, kata sebuah teori, terjadi ditentukan oleh 80 persen emosi dan 20 persen logika. Pada konsumen tertentu, peran logika malah tidak ada sama sekali. Mereka membeli karena tertarik pada sebuah benda, tak peduli benda itu kelak berguna atau tidak. Mereka memborong karena keinginan, bukan kebutuhan. Pada mereka, lahirlah keserakahan.
Tabiat pembeli secara alamiah tak jauh dari proporsi itu. Emosi lebih mengendalikan seorang konsumen memutuskan akan membeli barang atau tidak. Sangat sedikit mereka yang membeli karena faktor logika semata. Dari proporsi ini, lahirlah ilmu pemasaran. Atau orang pemasaran tahu tabiat pembeli ternyata kurang terlalu memperhatikan akal sehat. Fungsi marketing, karena itu, lebih banyak menyosor pojok emosional kita.
Dulu, iklan Camel menampilkan para dokter menghisap rokok sehingga merokok dianggap tak bikin sakit dan bagian dari alat menaikkan prestise (karena dokter dianggap profesi keren). Hari ini, merokok dianggap berbahaya, karena itu iklan rokok tak boleh mempertontonkan orang sedang menghisapnya, karena iklan gambar akan mempengaruhi kognisi manusia lebih cepat dari kata-kata. Maka iklan rokok dibuat sedemikian rupa—diasosiasikan dengan hidup sehat, keren, kesuksesan, kebebasan, dst—agar orang tetap merokok
Sepuluh-dua puluh tahun ke depan, mungkin iklan rokok akan kembali memampangkan orang menyedot asap, karena merokok di zaman itu dianggap tak berbahaya. Rokok bukan lagi tembakau atau cengkeh, tapi diganti rempah-rempah yang dianggap menyehatkan. Siapa yang tahu?
Inovasi dan disrupsi selalu mendobrak hal-hal yang dianggap tabu. Dan marketing mengesahkannya sebagai sesuatu yang berlaku umum. Kini orang takut makan lemak dan karbohidrat karena bikin perut jadi gendut. Padahal orang-orang tua kita makan nasi banyak sekali. Bahkan ada istilah peyoratif jika kita makan banyak disebut makan “jatah kuli”, tapi para kuli jarang yang berperut buncit. Rupanya, bukan nasi yang salah atau karbo yang bikin gendut, tapi kita yang kurang gerak: sehabis makan lemak dan karbo yang banyak kita tidur dan berjam-jam duduk di kursi dalam ruangan berpendingin yang nyaman.
Toh, kini banyak orang yang menawarkan metode-metode diet, dengan peralatan, dan buku panduan dan konseling yang mahal. Toko olah raga memproduksi banyak pakaian pendukung olah raga yang nyaman dan trendi agar kita tetap terlihat ganteng dan cantik saat berkeringat, seperti mas-mas dan mbak-mbak yang cakep di baliho atau video-video iklan itu.
Ivan Illich mengecam pengendalian “sehat” dan “sakit” oleh rumah sakit dan dokter pada 1975 lewat buku “Limits to Medicine”. Manusia modern, kata pastor kelahiran Austria yang hidup miskin di Amerika Latin itu, tak lagi bebas menentukan tubuhnya sendiri karena sehat dan sakit ditentukan oleh vonis dokter dan perusahaan farmasi.
Kecaman itu kini diteruskan Joseph Stiglitz yang menggugat hak paten obat-obatan karena menimbulkan ketimpangan pada masyarakat yang mampu dan tak mampu. Orang yang bisa membeli obat, demikian kata Stiglitz, akan membeli obat yang mahal dengan kualitas yang bagus sementara mereka yang miskin hanya mendapat obat generik karena hak paten memproteksi orang lain memproduksi obat berkualitas itu.
Pada akhirnya, kedua ilmuwan itu menyoal tentang pemasaran, yang bekerja mempengaruhi cara kita melihat barang produksi. Iklan membuat kita menjadi ingin, meskipun awalnya tak butuh. Pemasaran membuat kita jadi butuh, meskipun tadinya tak ingin.
Ada satu contoh yang mungkin menarik:
Seribu orang lalu-lalang di depan sebuah toko. Hanya 100 yang kemudian masuk melihat-lihat pajangan barang. Dari jumlah itu hanya 10 orang yang tertarik dan membeli. Berarti hanya satu persen, dari seribu peluang, orang yang awalnya melihat menjadi pembeli toko itu. Membeli adalah tujuan akhir pemilik toko tersebut memajang barang-barangnya; juga tujuan utama ia membuka toko.
Bagaimana menaikkan jumlah pembeli dan melebarkan lebih banyak peluang? Ilmuwan matematika mungkin menyarankan agar menambah kombinasi dan permutasi dari jumlah barang yang dipajang. Variasi barang akan membuat peluang menjadi semakin banyak dan terbuka lebar. Orang pemasaran akan menambah jurus ampuh satu lagi: iklan dan kata diskon + hari belanja.
Dengan iklan, peluang 990 orang yang lalu-lalang tahu ada apa di toko itu jauh lebih banyak ketimbang hanya memajang daftar barang di kaca etalase. Iklan memungkinkan orang lebih banyak tahu. Mungkin saja dari 990 itu tak menambah jumlah yang membeli, tapi jumlah pengunjung mungkin bertambah sehingga menambah peluang orang menjadi pembeli. Jika tak kenal maka tak sayang ada dalam etiket pergaulan, tak kenal maka tak beli barangkali lebih cocok dipakai dalam dunia pemasaran.
Dengan diskon kita berpikir kita bisa menghemat meskipun harganya dinaikkan sebelum dipotong. Dengan “hari belanja” kita merasa terlibat dalam sebuah perayaan. Iklan, diskon, hari khusus, membuat ingin jadi butuh.
Sebab, tak ada logika dalam transaksi. Yang ada hanya emosional. Secara alamiah, keinginan manusia selalu mengalahkan kebutuhannya. Maka kita dianjurkan hemat dengan cara memilah yang diinginkan agar terpilih yang dibutuhkan. Kita pun selalu berada dan berhadapan di antara dua pilihan ini: membeli karena butuh atau menjadi butuh karena ingin.
Selamat berbelanja ?