Cerita seorang veteran yang berbahagia dengan memberi banyak kepada orang lain, di saat miskin.
JIKA tak percaya ada orang yang mengabdikan hidupnya untuk memberi, kita harus membaca riwayat hidup Hung Chung Hai. Sejak usia 16 ia maju ke medan perang ketika Cina dan Taiwan dilanda perang saudara. Itu pun karena menggantikan kakaknya yang tak bisa menjalani wajib militer. Baru enam bulan menikah, ia harus berpisah dari istrinya, demi kakaknya yang sakit.
Pada 1987 ia pulang ke Anhui, kampung halamannya, setelah perang usai. Kakak dan adik perempuannya sudah meninggal karena hujan bom dan kemiskinan akibat perang. Istrinya, sementara itu, tak lagi menyambutnya di rumah. Perempuan kekasih masa kecil Hung menikah lagi dengan tetangga mereka. Praktis ia pulang dengan sambutan kisah sedih yang berturut-turut.
Tapi Hung tak membiarkan usianya habis dengan meratapi kesedihan. Di dusun itu ia lihat banyak keluarga yang lebih menderita karena suami dan ayah mereka tak pulang akibat meninggal di medan perang. Hung mengumpulkan uang veteran dari pemerintah dan ia sumbangkan kepada mereka, keluarga-keluarga, yang tak lagi punya penopang hidup.
Sebagai veteran, ia mendapat gaji sekitar Rp 10 juta. Ia hanya mengambil sangat sedikit untuk kebutuhan hidupnya sendiri yang rudin. Majalah Forbes memuat biografinya yang mengharukan dan menobatkannya sebagai orang paling dermawan di Asia pada 2011. Ketika profilnya disiarkan, laki-laki itu masih 82 tahun, dan ia telah menyumbang setidaknya Rp 1,8 miliar untuk anak-anak dan janda-janda perang.
Sejak pensiun dari militer, ia pindah ke Hualien, kota di Timur Taiwan. Praktis ia hidup sendiri. Demensia dan kerapuhan menggerogoti tubuhnya yang renta. Hung hidup di atas kursi roda listrik yang harus diganti baterainya secara rutin. Tapi Hung kerap abai terhadap kebutuhannya sendiri. Kursi rodanya acap tak bisa jalan karena baterainya sudah payah dan ia tak kunjung menggantinya.
Seorang perawat yang mengunjungi rumahnya tercengang oleh pemandangan ini: handuk robek yang lama tak dicuci, kubis melempem di penanak-nasi yang sudah basi, juga selapis roti yang sudah kadaluwarsa. Hung hidup dengan Rp 200 ribu sebulan. Tapi ketika perawat itu menyarankan agar kebutuhannya dicukupi lebih dulu sebelum orang lain, ia menolak. “Saya sudah merasa hidup cukup dengan itu.” Astaga.
Dia masih merasa kurang telah menyumbangkan seluruh tunjangan pensiunnya. Ia masih kerap menangis jika melihat dan mendengar ada anak miskin yang tak bisa sekolah karena tak punya biaya. Sebelum tulang punggungnya retak karena jatuh dari sepeda pada 2006, Hung suka jalan-jalan ke pelosok mencari mereka yang membutuhkan bantuan.
Hung kena demensia, penurunan daya ingat sangat parah. Tapi ketika Forbes mengunjunginya untuk wawancara, ia bisa dengan lancar dan cakap menerangkan bagaimana pentingnya berderma dan masih banyak orang lain yang harus dibantu. Ia tak meminta pamrih untuk itu. Ketika ada seorang ibu yang mengantarkan sup ke rumahnya, Hung berkata, “Inilah sup yang paling enak yang pernah saya cicipi,” katanya.
Hung amat mensyukuri hidup. Ia tak merasa melarat kendati sangat kekurangan. Ia selalu bahagia jika tahu ada orang yang tertolong hidupnya oleh sedikit bantuannya. Ia masih menolak menyisihkan gaji untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Menurut pemerintah Taiwan, dengan tunjangan pensiun sebesar yang ia terima saat itu, Hung sebenarnya bisa menikmati hari tua dengan nyaman.
Tapi apa arti menikmati bagi Hung? Standar nikmat umum: pensiun bisa kumpul dengan cucu, menikmati sore dengan teh di samping istri yang setia, bisa bepergian ke mana suka, makan enak, dan melihat dunia yang menakjubkan. Kita tahu standar ini lahir dari pokok materialisme manusia yang selalu tak pernah tercukupi kebutuhannya.
Hung mematikan itu. Kebahagiaannya adalah saat ia memberi. Maka ia tak merasa perlu bermewah-mewah dengan uang dan kekayaan. Hung telah menciptakan ukuran kebahagiaan bagi dirinya sendiri: bahwa bahagia itu datang dari hati, bukan dari tubuh yang selalu tak pernah cukup disuapi.
Jika kita masih merasa perlu menerima, baiknya kita belajar dari Hung. Jika kita selalu mengeluh dengan segala kesempitan dan selalu merasa tak cukup dengan apa yang kita punya, baiknya kita becermin pada Hung. Dari dia kita paham: kebahagiaan bukan dari apa yang kita peroleh, tapi lahir dari apa yang kita beri buat orang lain.
Dalam segala kepayahan fisiknya, Hung bergembira. “Saya ingin hidup lebih lama lagi, saya masih ingin memberi lebih….”
Seharusnya ia 88 tahun sekarang, tapi tak ada berita bagaimana ia kini.
*) Untuk mengenang teman dan sahabat: Agi Rahmat.
Terima Kasih Mas Bagja.
Memang benar ada rasa bahagia yang tak terjabarkan saat berbagi dengan kucing / anjing liar.
Kami setiap bulan membeli puluhan kilo makanan untuk mereka bukan karena kami berlebih tetapi ingin berbagi pada sesama mahluk Tuhan .
Ingin hidup mereka bisa lebih baik.
Berbagi itu menenangkan jiwa dan membuat bahagia di hati..
Sekali lagi terima kasih tulisan indahnya.
??
seperti kata orang tua saya
“kita tidak akan lapar saat kita memberi makan orang lain”
izin share min