KEBAJIKAN PERIBAHASA

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Buku penting yang menghimpun peribahasa dari semua suku dan bahasa di Nusantara. Penerbitnya mengejutkan: PDI Perjuangan.

MEMBACA 655 halaman buku ini, saya jadi malu hati. Ada banyak peribahasa yang saya tak tahu, bahkan yang terumuskan dalam bahasa-ibu saya, bahasa Sunda. Jika saya yang sejak lahir berbahasa Sunda, bercakap dan berpikir dalam bahasa ini, tapi tidak mengetahui ada banyak kebajikan dalam peribahasanya, bagaimana pula dengan anak-anak saya kelak?

Anak-anak saya hanya memakai bahasa Indonesia dalam percakapan, di rumah, di sekolah, dalam pergaulan dengan teman-temannya. Mereka mungkin berpikir dalam bahasa ini karena kami, ayah dan ibunya, tak memakai bahasa lain dalam komunikasi. Sedikit-sedikit kami memakai bahasa Inggris, tapi itu hanya agar mereka tak gagap menghadapi globalisasi. Di sekolah, karena kami tinggal di Jawa Barat, mereka mempelajari bahasa Sunda, tapi, kata mereka, itu pelajaran tersulit dibanding pelajaran-pelajaran lain.

Peribahasa Nusantara

Alih-alih mempraktikkan kebajikan di balik susunan kata-kata dalam peribahasa, mereka pasti tak paham artinya sama sekali. Anak sulung saya, misalnya, suatu kali bertanya apa artinya kalimat “ngarawu ku siku” dan “nyieun pucuk ti girang”. Ngarawu ku siku artinya mengambil dengan siku, sebuah peribahasa untuk keserakahan; sementara nyieun pucuk ti girang berarti membuat tunas dari atas yang bermakna “suka membuat gara-gara untuk bertengkar”.

Pada anak saya, otak mereka bekerja berkali-kali lipat untuk memahami peribahasa-peribahasa itu. Pertama, membaca ejaan bahasa Sunda; kedua, mengartikannya dalam bahasa Indonesia; ketiga, memahami kalimatnya dalam terjemahan itu; keempat, memahami maknanya dalam terjemahan tersebut; kelima, pusing. Setiap kita memang menerjemahkan bahasa yang bukan bahasa-ibu ketika bercakap atau membacanya. Tapi menerjemahkan makna dari bahasa lain sering kali terkena distorsi.

Maka, buku Iman Budhi Santosa ini—seorang penyair yang keras-kepala dari Magetan—adalah kitab berharga mengabadikan kebajikan-kebajikan dalam banyak bahasa daerah. Ia memungut dan menghimpun ribuan peribahasa dari 47 bahasa yang dibagi ke dalam 31 tema, menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia lalu memberi secuplik penjelasan makna di baliknya. Betapa masih sedikit usaha Iman itu, yang ia lakukan selama 15 tahun, jika membandingkannya dengan 546 bahasa daerah Nusantara yang terbagi ke dalam 1.340 suku. Bisa dikatakan, kerja Iman baru permulaan, dari sebuah kerja besar mendokumentasikan peribahasa-peribahasa Nusantara.

Ini kerja penting karena bahasa daerah, yang dituturkan secara luwes di komunitas-komunitas yang lebih kecil, sering kali menangkap makna dengan istilah yang tepat dan spesifik. Misalnya, mengunggah dalam bahasa Jawa. Kata ini telah membumikan kata “to upload” dalam istilah teknologi informasi yang asing. Juga unduh sebagai padanan download. Dua kata ini membuat teknologi informasi yang canggih terasa dekat dan menjadi “milik kita”.

Bagi bukan orang Melayu, bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Ia harus dipelajari dengan susah-sungguh. Kitab kumpulan kata bahasa Indonesia disebut “Kamus Besar” tapi berapa banyak kata-kata yang ada di dalamnya kita pakai dalam berpikir, bercakap, dan menulis?

Ada yang merumuskan seorang penulis yang baik setidaknya menguasai 30-60 ribu kata jika ingin tulisannya hidup. Bandingkan dengan Presiden George Bush yang konon hanya menguasai 8.000 kata dalam bahasa Inggris. Lalu kita berapa? Saya sendiri belum menghitungnya berapa kata penguasaan saya terhadap bahasa Indonesia. Bahkan berapa banyak kata Sunda yang saya ingat dan paham artinya.

Membaca buku Peribahasa Nusantara ini terasa betul kita bukan apa-apa di hadapannya. Ada banyak hal yang kita tak tahu, yang sebenarnya sudah dirumuskan oleh banyak orang di Nusantara sejak lama. Mereka merumuskan kebajikan-kebajikan hidup untuk berhubungan dengan sesama manusia, dengan alam, dengan tradisi dalam susunan kalimat baku yang cerkas—pendek tapi berisi, mengena, segar dan dalam-makna. Barangkali orang zaman modern tak akan bisa menandingi kecerdasan para orang tua merumuskan kebajikan dalam kalimat.

Padahal, peribahasa-peribahasa itu yang mempengaruhi cara pikir dan tindakan kita. Apa yang akan terjadi dengan masa depan bumi, tergantung bagaimana kita memakai bahasa untuk merumuskan konsep dasar berhubungan dengannya. Kata memang acap tak cukup untuk berkata, tapi dengannya ia menjadi alat berbicara dengan orang lain.

Di kampung saya, dua peribahasa yang dikutip di awal tulisan ini, dengan ringan dan fasih dituturkan oleh tetangga-tetangga saya. Betapa menyenangkan mendengarkan mereka bercakap memakai metafora. Peribahasa telah mereduksi cara ucap kalimat langsung sehingga obrolan menjadi penuh makna yang sublim. Dalam percakapan penuh metafora seperti itu, rasanya permusuhan tak mungkin bisa meletik.

Alih-alih menegur “jadi orang jangan serakah”, orang-orang tua akan mengingatkan “tong ngarawu ku siku.” Kita yang mendengarnya tak akan merasa ditegur tapi tercenung karena memikirkan artinya yang dalam. Siku tak memiliki jari. Mengambil sesuatu dengan siku adalah pekerjaan orang bodoh yang sia-sia. Tapi orang serakah akan melakukannya secara terus-menerus. Maka, alih-alih berhasil mengambil sesuatu itu, mengambil dengan siku bisa jadi merusak barang lain karena susah dan memaksakan.

Buku ini juga seolah menegaskan bahwa sejarah tak ke mana-mana. Peribahasa yang telah berada-abad masih terasa relevan di zaman ini. Misalnya ada peribahasa Sasak yang berbunyi “kentok liwatin sungu”, telinga melewati tanduk, metafora untuk orang miskin yang berlagak kaya tapi malu diketahui kemiskinannya. Banyak orang seperti ini di sekitar kita, bukan?

Yang agak mengejutkan, sekaligus menyenangkan, buku ini diterbitkan PDI Perjuangan, sebuah partai politik, yang kita kira seperti umumnya partai-partai yang tak percaya kepada buku sebagai alat menciptakan peradaban. Menurut Hasto Kristiyanto, sekretaris jenderal partai itu, ia berinisiatif menerbitkan buku ini setelah bertemu Iman Budhi Santosa yang menyimpan naskah ini selama 15 tahun dan tak ada penerbit yang mau mencetaknya. Saya kira, partai lain harus meniru PDIP dalam soal kepedulian kepada buku, sebelum kita bosan untuk percaya partai politik punya manfaat bagi hidup manusia.

Buku ini menghibur saya karena ada dokumen yang bisa saya tunjukkan kepada anak-anak saya tentang kekayaan bahasa dan kebajikan-kebajikan yang ada di dalamnya. Sebab ini bukan soal primordialisme. Memahami banyak bahasa dan peribahasa akan membuat kita lebih bijak.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)