MENTERI SUSI DAN BAHASA BIROKRASI

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Bahasa menjadi pangkal soal kerja-kerja besar. Menteri Susi Pudjiastuti membuktikan bahasa yang terang berfaedah pada anggaran.

MENTERI Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memulai kerja dari pangkal soalnya: bahasa. Selama dua tahun sejak 2015, ia bisa menghemat Rp 8,28 triliun hanya dengan–salah satunya–menghapus kebijakan yang ditulis dengan kata yang tak jelas. Ia mencoret program yang disodorkan anak buahnya jika mengandung kata semacam “pembangunan”, “ekstensifikasi”, “pemberdayaan”, “peningkatan”, dan “pengelolaan”. Soalnya, kata-kata bersayap itu, menurut menteri jebolan kelas II sekolah menengah atas ini, “Bikin saya pusing.”

Sesungguhnya bukan hanya Susi yang pusing. Semua orang akan dibuat pusing oleh kata-kata dan gaya bahasa birokrat kita yang sering melenceng dari makna sebenarnya. Susi ingin setiap kebijakan yang menuntut anggaran itu memakai kata-kata yang jelas dan mudah dimengerti, seperti “buat”, “bayar”, dan “beli”. “Biar saya mengerti, maklum cuma dropout SMA,” katanya.

Image result for menteri susi bahasa birokrasi bagja hidayat
Twit Menteri Susi Pudjiastuti pada 2015 ketika menerbitkan aturan yang melarang anak buahnya membuat program memakai kata-kata tak jelas.

Susi tengah menertawai cara kita berbahasa dengan menohok. Ia sesungguhnya paham bagaimana cara kerja bahasa membentuk perspektif dan perilaku penuturnya. Secara resmi ia membuat surat edaran agar anak buahnya menghindari pemakaian kata-kata tak jelas itu. Anggaran yang bisa dihemat sebanyak itu menjadi bukti empiris bahwa bahasa yang efektif berkorelasi secara langsung dengan penghematan anggaran.

Soalnya, setelah Susi mengecek ke lapangan, yang disebut program “ekstensifikasi nelayan” adalah pengecatan perahu. Pengecatan perahu dalam jumlah banyak tentu saja proyek, dan proyek adalah uang. Uang lebih dekat pada korupsi karena godaan menilapnya selalu datang dari segala penjuru, dengan cara mengakali aturan dan memanfaatkan kesiweran mata auditor. Bagi Susi, jika programnya pengadaan perahu, ia ingin itu ditulis dalam buku program sebagai “pembelian perahu untuk sekian ribu nelayan”. Jelas, lebih pas, konkret.

Susi juga tengah mempertanyakan kemampuan berbahasa mereka yang berpendidikan tinggi yang gemar memakai kata dan bahasa yang tak mudah dimengerti oleh semua orang. Ia tengah menertawai kaum cerdik-cendekia kita yang acap memakai bahasa ruwet dan mendakik-dakik untuk menunjukkan kepintaran. Padahal, semakin ruwet seseorang memakai bahasa, sesungguhnya semakin sulit gagasannya diterima orang lain. Jika gagasannya sulit diterima orang lain, untuk apa ia punya gagasan, bukan?

Mereka yang pintarnya benar justru akan sesederhana mungkin menyampaikan gagasan yang ruwet. Kejeniusan seseorang justru ditentukan seberapa sederhana ia menyampaikan ide yang kompleks. Einstein terbukti jenius karena teori fisika kuantum yang ruwet dan kompleks itu ia sederhanakan hanya dengan E = mc^2—rumus yang makin ditentang makin terbukti kebenarannya.

Di kalangan wartawan—profesi yang bergelut dengan kata—ada pepatah agar menulis sesingkat mungkin, menyampaikan gagasan hanya dengan satu kata. Pepatah itu tak akan tercapai jika para wartawan tak menguasai bahasa. Hanya dengan penguasaan bahasa, gagasan bisa tersampaikan dengan benar dan tepat. Dalam birokrasi kita yang tegar, kata-kata bersayap adalah eufemisme, sopan-santun untuk menyembunyikan niat sebenarnya.

Kita butuh birokrat seperti Susi, yang paham bagaimana memakai anasir utama dalam komunikasi, yakni bahasa. Ketika Susi melaporkan hasil penyetipan program tak jelas kepada Presiden, Joko Widodo setuju dan meminta menteri lain menirunya. “Tak hanya disosialisasikan, tapi kementerian lain disusialisasikan,” kata Presiden. Istilah yang tak kalah cerkasnya.

Kerja politik adalah kerja bahasa karena ia memerlukan manajemen yang efektif. Birokrasi, yang di Indonesia begitu menentukan karena tak bisa dielakkan dari hidup banyak orang, adalah gergasi yang lamban menentukan soal-soal. Jika masih dibebani kata-kata yang tak jelas maksudnya, ia akan kian sulit bergerak. Atau ia sulit bergerak karena tak terampil memakai bahasa sebagai peranti komunikasi. Kemungkinan lain: ia sengaja tak terampil memakai bahasa karena menyembunyikan niat jahat.

Jangan-jangan korupsi mewabah itu karena ketidakcakapan kita memakai bahasa. Jangan-jangan birokrasi kita melempem pangkal masalahnya karena bahasa yang mereka pakai adalah bahasa formal yang gagah tapi tak efektif, yang seolah-olah berwibawa padahal kosong makna. Tapi mungkin berlebihan juga berharap birokrasi bisa efektif.

Karena itu, ada seorang filsuf Tiongkok yang akan membereskan nama-nama di hari pertama jika ia berkuasa. Tentu ia bercanda, tapi itu gurau yang menohok karena penting. Kejelasan bahasa itu perlu dan utama sebelum kerja-kerja besar dalam politik. Sebab, realitas tak terbentuk dari jargon. Realitas tak terbentuk oleh slogan yang biasanya disusun memakai kata-kata menggelembung.

Realitas terbentuk oleh komunikasi antarmanusia. Menteri Susi membuktikan bekerja efektif dan efisien dimulai dengan memperhatikan bahasa.

*) Dimuat di Rubrik Bahasa! majalah Tempo edisi 5 Februari 2018.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)