INDEPENDENSI WARTAWAN DALAM FILM THE POST

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Film The Post menggambarkan bagaimana seharusnya wartawan berteman dengan narasumber.

FASET paling menarik dari film The Post adalah tentang persahabatan wartawan dengan narasumber. Bagaimana menjaga dan memperlakukannya agar pers tetap bisa independen?

Ada satu adegan ketika Pemimpin Redaksi The Washington Post Ben Bradlee (diperankan Tom Hanks) mengaku bahwa ia bersama Jacky Kennedy beberapa jam setelah Presiden J.F Kennedy (menjabat 1961-1963) tewas ditembak.

Jacky, kata Ben, masih memakai blazer pink itu, dengan darah dari tubuh suaminya yang sekarat. Mereka berpelukan dan berbicara saling menguatkan. Ben tak pernah mempublikasikan kejadian penting ini di mana pun. Dan ia baru sadar, persahabatan mereka telah mengelabuinya sebagai wartawan sehingga ia tak pernah melihat hal-hal penting dan menarik untuk ditulis. Bagi Ben, Jacky dan Kennedy adalah sahabatnya, bukan Presiden dan Ibu Negara Amerika.

Akibatnya, jika ia curious dan skeptis pada banyak hal sehingga soal-soal kecil selalu ia tangkap untuk dijadikan berita, pada Jacky dan Kennedy dua hal itu tanggal. Ben terjebak dalam persahabatan dengan narasumber. Ia mengaku sikapnya itu keliru hingga ia tak sadar Kennedy, meski tak setuju perang Vietnam, toh membiarkan perang yang menghabiskan uang pajak dan merenggut anak-anak muda  Amerika, karena sebenarnya tentara mereka kalah di palagan itu.

Related image
Publikasi The Washington Post tentang alasan Amerika Serikat meneruskan perang Vietnam, 18 Juni 1971. (Sumber: Pop History)

Pada Katharine Graham (diperankan Meryl Streep), pemilik The Post, jebakan persahabatan itu membuatnya melarang anggota redaksi tak mempublikasikan dokumen perang Vietnam karena akan mencelakakan sahabatnya sendiri, Menteri Pertahanan McNamara. Namara melihat sendiri tentara Amerika terdesak di Vietnam tapi ia menutupinya karena Presiden Richard Nixon (menjabat 1969-1974) terlalu malu menarik pasukan.

Ben Bradlee menolak dengan keras intervensi Katherine. Ia bisa dengan jernih melihat permintaan Katharine itu membahayakan kebebasan pers dan reputasi The Post. Ia lupa keadaan yang sama menimpanya dalam persahabatan dengan Kennedy. Katharine dan Ben punya cacat yang sama dalam hubungannya dengan narasumber dan pengaruhnya terhadap fungsi pers serta hak publik mendapat informasi.

Apa yang terjadi pada Ben dan Kay lazim terjadi atau menimpa banyak wartawan, di mana pun. Mereka dekat dengan narasumber, karena harus, tapi lupa dengan posisi masing-masing. Saking dekatnya, Ben melihat hubungan mereka bukan lagi wartawan dengan narasumber. Kennedy, sebagai presiden, mungkin menikmati hubungan itu karena kebijakan-kebijakan buruknya tak tampil di halaman depan koran. Ia telah menjadi humas yang baik dengan menyediakan persahabatan dengan wartawan sehingga para juru warta itu tak bisa melihat informasi penting dan relevan dari sahabatnya itu.

Bill Kovach dan Tom Rosenthiel punya istilah “meniduri gajah” untuk bias semacam ini. Menurut mereka, tak masalah seorang reporter meniduri gajah sepanjang ia tak menulis sirkusnya. “You can [make love to] an elephant if you want to, but if you do you can’t cover the circus,” kata Tom, pemimpin redaksi The New York Times pada 1977-1988.

Ben juga menolak mengganti reporter yang akan meliput pernikahan anak Nixon karena presiden Amerika ke-37 dari Partai Republik itu tak suka dengan kritik yang ditulis reporter tersebut. Katharine meminta Ben menuruti keinginan itu demi menjaga hubungan baik dengan Gedung Putih. Ben menolak karena ia punya jarak dengan Gedung Putih era Nixon.

Maka independensi wartawan menjadi asas pertama dan utama dalam kode etik jurnalistik. Anda tak dilarang berteman dengan politikus, pengusaha, pejabat negara, asal bisa tetap menjadi wartawan. Artinya Anda bisa tetap menulis mereka dalam keadaan apa pun. Dan itu pasti sulit. Pada banyak wartawan yang memilih teguh pada independensi ini, persahabatan dengan narasumber acap terkoyak, terutama jika narasumber itu tak paham fungsi-fungsi pers. Yang ideal, tentu, wartawan bisa bersahabat dengan narasumber seraya tetap kritis kepadanya.

Untuk menjembataninya perlu kultur kantor berita yang egaliter. Anggota newsroom harus bisa saling kontrol. Seorang wartawan yang bersahabat dengan narasumber mesti sadar ia punya bias tertentu kepadanya. Kesadaran itu harus mendorongnya memberikan informasi kepada koleganya untuk meliput dan menelisiknya. Ia hanya berperan sebagai pemberi informasi dan tak punya suara dalam memutuskan liputan tentang sahabatnya itu.

Image result for washington post vietnam study
Tom Hanks memerankan Ben Bradlee dalam film The Post karya Stephen Spielberg ketika rapat redaksi. (Sumber: Rolling Stone)

Saling kontrol ini penting agar kantor berita tetap independen. Rapat-rapat redaksi harus hidup dan memberi peluang sama besar kepada anggotanya untuk bersuara. Di newsroom Washington Post, kekuasaan Ben Bradlee begitu besar dan kuat. Barangkali karena kekuasaan itu, ia tak bisa dikontrol oleh kolega-koleganya sendiri hingga tak terpikir olehnya kejadian penting yang ia alami bersama Kennedy. Ben tak melaporkan kejadian itu ke rapat redaksi sehingga tak ada orang lain yang mengetahui bahwa peristiwa itu penting diketahui publik.

Image result for washington post vietnam study
Redaksi The Post merayakan kemenangan menerbitkan Pentagon Papers, 1 Juli 1971. (Sumber: Pop History)

Saling lapor perolehan informasi ini bisa jadi cara untuk saling kontrol anggota sidang redaksi. Tanpa kontrol itu pers akan melenceng dari fungsi seharusnya karena mereka bias dalam menyajikan fakta. Seperti halnya kekuasaan yang cenderung korup, pers mudah terpeleset pada tafsir atas peristiwa secara keliru. Dampaknya adalah pers tak menyajikan fakta, alih-alih memandu kita pada “kebenaran” di balik peristiwa-peristiwa.

Dampak berikutnya adalah dilema. Kegamangan yang menimpa Bradlee dan Katharine terjadi karena tak ada kontrol horizontal dalam newsroom. Ben terlalu kuat sebagai pemimpin redaksi, Katharine terlalu gagah sebagai pemilik. Mereka terjebak pada pilihan mempertahankan bisnis, melindungi narasumber yang keliru karena ikatan persahabatan, atau mengutamakan kepentingan publik, di tengah persaingan ketat antarkoran menjadi yang pertama tahu akan informasi yang tersembunyi. Mereka juga terancam masuk penjara karena melanggar aturan negara membocorkan informasi rahasia.

Redaksi Tempo setelah nonton The Post di CGV Grand Indonesia, 27 Februari 2018.

Dalam jurnalistik, apa yang menimpa The Post kemudian melahirkan apa yang disebut “fire wall”, garis api yang secara tegas memisahkan urusan bisnis dengan keredaksian. Tapi dari film ini kita juga tahu bias wartawan tak melulu datang dari soal bisnis. Hubungan wartawan dengan narasumber malah acap menjadi sensor bagi media, yang celakanya, tak disadari oleh para wartawan sendiri, seperti yang terjadi pada Ben Bradlee.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

One thought on “INDEPENDENSI WARTAWAN DALAM FILM THE POST”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)