BERHALA ALEXA

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

 Alexa mengukur sebuah media dari popularitasnya. Umpan klik (clickbaiting) menjad gaya. Jurnalisme mesti kembali kepada tugasnya sebagai penjernih duduk soal.

INTERNET tak hanya menyebabkan krisis jurnalisme, juga membuat para wartawan dan pengelola media salah jalan memanfaatkannya. Para pengelola media tepekur pada peringkat web yang dibuat Alexa, tata cara Google mengurutkan konten berdasarkan kata kunci, atau menghamba pada viralitas melalui gaya “umpan klik”.

Ada lingkaran setan yang tak putus jika kita perhatikan berita di Internet. Sumbernya adalah kegagapan para pengelolanya dalam menghadapi renggutan dunia digital saat ini. Mereka pun terjerumus pada gaya koran kuning yang sudah ditinggalkan seabad lalu.

Ketika media cetak kian kehilangan pembaca yang beralih ke Internet, para pengelolanya gelagapan menambal penghasilan untuk tetap bisa menyajikan berita. Sebab, iklan juga mengikuti perpindahan pembaca itu karena promosi datang kepada kerumunan.

Lingkaran setan kemunduran dalam jurnalisme di era Internet: keruntuhan media cetak, iklan sebagai tulang punggung, besarnya pengguna Internet.

Pengelola media pun masuk ke Internet dengan menyangka pembaca berita adalah sekumpulan orang bodoh yang tak sanggup mencerna berita-berita yang kompleks, tanpa meninjau penyebabnya. Mereka masuk ke Internet bukan karena dunia maya adalah revolusi medium penyajian berita, tapi karena memburu iklan yang berpindah ke sana.

Ini berkait-kelindan dengan kejadian-kejadian yang mengubah dunia. Ketika menara WTC dihajar dua pesawat pada 2001, dunia menyambut kampanye George Bush untuk “melawan terorisme”. Maka teror adalah musuh bersama. Apa yang Islam dan tak sejalan dengan Amerika akan digolongkan sebagai teroris. Media pun terbawa arus kampanye ini dengan dengan menyimpan keraguan akan klaim-klaim sepihak dari penguasa. Media menjadi partisan dan tak mencoba menggali lebih jauh apa yang sedang terjadi di balik peristiwa-peristiwa.

Euforia selalu punya waktu yang terbatas. Di Amerika ada kebosanan membaca berita yang partisan. Tingkat kepercayaan kepada media anjlok dan orang berhenti membaca berita-berita politik, lalu beralih kepada berita hiburan yang lebih bermanfaat bagi hidup mereka sehari-hari. Berita semacam cara membuat perut enam kotak dalam sebulan menjadi laris. Pengelola media pun berasumsi, pembaca berita Internet tak ingin berita-berita rumit. Sempat populer apa yang disebut “news that you can use”. Tentu saja mereka telah salah sangka.

Image result for erosion trust media

The Economist pernah menganalisis, bukan semata karena orang butuh mengecilkan perut sehingga berita ringan tentang kesehatan itu diminati, tapi karena tak ada lagi berita-berita investigasi yang mumpuni yang tersedia di Internet. Juga berita jujur yang bebas dari pretensi, dan semata-mata menyajikan fakta, juga analisis yang memandu mereka memahami peristiwa-peristiwa rumit dan kompleks.

Berita mengecilkan perut tentu lebih jujur ketimbang kutipan pernyataan-pernyataan George Bush tentang senjata pemusnah massal di Irak. Maka di Amerika pada masa genting itu muncul ProPublica, sebuah situs yang didirikan wartawan-wartawan investigasi yang menyediakan diri secara sukarela pada liputan korupsi dan penyelewengan kekuasaan dengan dukungan saweran publik.

Salah sangka itu berlangsung hingga hari ini dan ekornya masih dirayakan di Indonesia. Para pengelola media masuk ke Internet dengan menyajikan berita-berita ringan dengan gaya “minta diklik” untuk meraup iklan. Dalam beberapa waktu  cara ini ampuh mendapatkan kembali pendapatan yang hilang. Kita banyak menemukan judul berita “begini, begitu, ini, dan itu” atau judul berita yang mala bertanya, alih-alih memberitahu. Lebih absurd lagi, ada judul berita sengaja dibuat tak lengkap dan mengandung titik-titik. “Si Pulan Kini Betah di Penjara, Karena ….” Astagaaaaa.

—————————————-

BACA: Dunia Tanpa Huruf “F”

—————————————-

Pembaca berita terus naik dari waktu ke waktu seiring kian mudahnya orang mengakses Internet melalui telepon pintar. Di titik ini tak terjadi pertemuan antara antusiasme pembaca di Internet dengan kesediaan pengelola media memindahkan berita berbobot ke sana. Pengelola media takut harga iklan murah di Internet, dan akses kepada berita yang masih gratis, tak sepadan dengan konten berbobot yang mereka buat. Maka yang terjadi adalah liputan bagus di edisi cetak kian tak punya pembaca, konten murahan di Internet makin memualkan.

Para pengiklan tentu melihat seberapa populer sebuah situs atau sebuah artikel di Internet. Mereka menuntut jumlah itu sebelum tertarik memasok iklannya. Walau pun hal ini hanya meneruskan kecenderungan di versi cetak, menilai popularitas dari jumlah klik mendorong pengelola media mengubah pola pikir jurnalistik secara radikal. Maka mereka berlomba membuat berita-berita yang “lapar klik” (clikbaiting) agar mendapat iklan yang lumayan.

Contoh berita gaya umpan-klik. Berita cuplikan Instagram. Pembalap MotoGP itu menguji kekuatan helm buatan Indonesia dengan membantingnya. Jadi, tak ada keadaan genting seperti tergambar dalam judul berita ini.

Cara ini sukses dalam beberapa tahun belakangan. BuzzFeed, Upworth, adalah media-media yang memelopori penyajian berita dengan judul panjang untuk menerbitkan rasa penasaran pembaca agar mengeklik tautan berita itu. Di Indonesia tak perlu disebut satu-satu karena semua perusahaan media melakukannya. Agar mendapat page-view (durasi bertahan di sebuah tautan) pembaca dibuat sibuk menutup iklan pop-up yang tiba-tiba muncul menutup berita. Mengganggu mereka yang penasaran adalah cara ampuh mendapatkan penghasilan.

Internet pun menjadi khaos. Dunia maya penuh sesak oleh berita-berita tak bermutu dan serampangan, seolah wartawan yang membuatnya tak mendapatkan pelatihan ilmu jurnalistik dasar sebelum turun ke lapangan. Kata kunci menjadi senjata menggiring pembaca dari Google. Menurut APJII, ada 110.000 berita per hari yang diproduksi oleh 370 perusahaan media.

Tak ada yang mengejutkan. Setelah menjadi pemain terbaik Piala Presiden, jumlah pengikut di Instagramnya naik. Biasa saja. Tak ada kaitan dengan hidup Marko Simic

Tujuh tahun lalu saya menyindir teman-teman pengelola web bahwa mereka terlambat mengadopsi cara penyajian berita ala Lampu Merah atau Lampu Hijau atau Pos Metro. Pada 10-20 tahun lalu, para wartawan menertawakan koran-koran kuning itu dalam hal membuat berita sensasional. Mereka mengejek wartawan-wartawan media itu yang menulis berita biasa menjadi seolah luar biasa, dengan bumbu yang seolah-olah ada, karena mereka juga meliput peristiwa yang sama. Di media-media di luar tabloid itu, artikel yang menjadi berita utama di halaman depan Lampu Merah tersingkir ke berita singkat di halaman dalam. Kita membaca headline Lampu Merah karena ingin tertawa dengan cara mereka menulis sebuah peristiwa dengan gaya sensasional.

Related image
Ampun, Tuhan!

Kini media-media yang dulu menertawakan Lampu Merah, meniru cara koran itu menyajikan berita di Internet. Sensasional dahulu, isi belakangan, karena yang penting berita itu diklik sebanyak mungkin untuk mendapatkan iklan. Toh, media-media luar juga ternyata melakukan teknik serupa untuk mendapatkan sebanyak mungkin klik. Soal kekecewaan pembaca, atau apa urusannya berita itu dengan kita, ini nomor sekian. Kita tahu kini, clickbaiting tak hanya membuat krisis jurnalisme kian dalam, tapi juga pengkhianatan terhadap asas-asasnya.

Image result for ahok nantang tuhan hujan hidayatbagdja
Busyet!

Kriteria berita tak lagi “relevan” dan “penting” untuk publik, tapi “ramah Google”, dan kira-kira akan dibicarakan orang ramai. Berita-berita tak hanya membuat umpan-klik, tapi juga umpan-risak (bully-baiting).

Berita umumnya bersandar sepenuhnya pada nama tokoh yang sedang populer karena pembaca yang penasaran mengetikkan nama mereka di kanal-kanal mesin pencari, bukan pada “apa” yang ada di baliknya. Maka apa yang terjadi di Instagram, tentang pertengkaran sepasang pacar, istri yang melabrak selingkuhan suaminya, atau perselisihan dua pesohor, disajikan begitu saja di halaman-halaman berita, dan menjadi headline.

Jurnalisme ludah dan judul sedikit menipu. Tak ada bukti yang diajukan, hanya pernyataan pengacara bahwa Ahok “akan mengajukan bukti”.

Bahkan untuk berita yang serius sekalipun, berita disajikan hanya sepotong-sepotong. Isu dipecah ke dalam banyak berita atau halaman sehingga pembaca kehilangan konteks untuk apa berita itu ditulis atau menyerap informasi di balik kejadian-kejadian itu. Kalaupun satu berita ditulis secara utuh, pembuatnya memecah artikelnya berhalaman-halaman. Klik menjadi sesembahan baru di dunia berita online karena jumlahnya akan mempengaruhi peringkat media itu di Alexa atau Google.

Berita tak lagi setia pada sembilan elemen jurnalisme dari Bill Kovach dan Tom Rosenthiel. Dalam buku mereka, pada elemen nomor dua tertulis: loyalitas pertama para wartawan adalah kepada masyarakat. Di era Internet, wartawan sepenuhnya loyal kepada klik. Berita dibuat tidak untuk memenuhi hak orang banyak mendapat informasi, tapi berharap mendapat komentar orang bodoh yang hanya membaca berita dari judulnya belaka. Sebab makin dikomentari, akan makin populer berita itu. Populer sama artinya mendapat iklan banyak.

Berita-berita dibuat tidak untuk memandu kita mengetahui kebenaran di balik sebuah peristiwa. Karena basisnya sensasi, berita di Internet pertama-tama memikat pembaca dengan judul bombastis. Akibat dari cara ini, jurnalistik bukan lagi kiblat dan pelopor dalam memperbaiki bahasa Indonesia. Ia malah jadi bagian dari polusi bahasa di tengah disrupsi budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang datang dan bergerak dengan sangat cepat.

Tentu saja, pikiran semacam ini akan segera dihardik oleh pengelola media yang dikejar target penghasilan dan berada di bawah ancaman kebangkrutan. Padahal, dalam disrupsi, kaidah utama adalah inovasi, bukan membebek pada kemajuan teknologi. Artinya, Internet hanyalah alat, jurnalisme harus tetap berada pada garisnya yang mulia, yakni menyediakan informasi untuk publik, memandu mata kita pada kebenaran. Maka, jika ingin membuat berita populer, pertaruhannya adalah bagaimana menyajikannya secara menarik: dengan infografik, dengan video, dengan narasi yang memikat, bukan mengakalinya dengan cara menipu atau mengelabui rasa penasaran pembaca.

Di Internet, konten seharusnya tetap yang utama karena pembacanya juga tetap sama, yakni manusia yang punya otak dan pikiran, yang tak lagi mau membeli berita yang dicetak. Mereka hanya mau membaca berita di Internet. Maka bobot kualitas mestinya tetap sama, di cetak maupun di Internet.

Iklan kurang sopan yang berharap jari kita keliru mengeklik tombol “close”.

Meski tak ada risetnya, saya agak yakin kegaduhan-kegaduhan di media sosial akibat auta (hoax) dan berita bohong, salah satunya disebabkan oleh tak ada beda antara berita yang diproduksi perusahaan media dengan narasi yang dibuat oleh entah siapa. Publik percaya apa yang ada di Internet karena keduanya mirip. Maka, jika pengelola media masih menghamba pada Alexa dan Google, jurnalisme tak hanya menghadapi krisis tapi menjadi penyebab utama kehancuran sebuah tata masyarakat.

Kian nyesek jika kita baca panduan dari UCNews, pengumpul berita dan blog yang menjadi bagian dari raksasa online Alibaba Grup. Para pengelolanya menganjurkan dengan sangat telanjang agar membuat berita-berita umpan klik untuk menggaet pembaca.

Jurnalisme harus kembali pada tugasnya sebagai pembawa informasi yang akurat dan menghibur secara cerkas (witty). Wartawan harus kembali mengasah dua senjata dalam kerja mereka: curious dan skeptic. Hanya dengan senjata itu, wartawan akan menggali informasi yang penting dan berguna buat kita. Sensasi tak berguna untuk siapa-siapa. Toh, BuzzFeed atau Upworth pada akhir tahun lalu dilaporkan merugi karena orang tak lagi mau membaca berita dengan bumbu-bumbu. Pada akhirnya kita hanya ingin mendapat informasi yang seusai faktanya saja.

Beberapa media terlihat menyadari akan kritik terhadap mutu jurnalisme yang merosot di era Internet ini. Mereka mencoba menyajikan berita-berita berbobot di luar web umum yang menjadi pintu depan produk-produk jurnalistiknya. Tempo.co membuat investigasi.tempo.co yang menyajikan tulisan-tulisan panjang dengan pengerjaan yang mendalam. Mereka juga membuat laman cekfakta.tempo.co untuk menangkal auta dan berita palsu. Atau Detik.com yang membuat x.detik.com. Beberapa perusahaan media lain juga melakukan hal serupa.

Usaha-usaha itu tentu menyenangkan karena jurnalisme bermutu seharusnya produk tanpa syarat dalam arus deras informasi saat ini. Dan demikian pula semestinya media massa bersaing mendapatkan pembaca dan para pengiklan.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

6 thoughts on “BERHALA ALEXA”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)