BELAJAR DARI PENGEMUDI GO-JEK

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Ketika dua pengemudi Go-Jek jadi dosen tamu dadakan di kelas strategi sekolah bisnis.

DI Binus Business School, pengetahuan bisa bersumber dari mana saja, termasuk pengemudi Go-Jek. Pada Sabtu lalu, di kelas Executing Business Strategy, dosen kami, Pak Firdaus Alamsjah, meminta mahasiswa memesan makanan melalui Go-Jek untuk menguji secara langsung layanannya. Hari itu kami sedang membahas studi kasus perusahaan yang didirikan Nadiem Makarim yang dipublikasikan Nanyang Technological University Singapura.

Sudah banyak akademikus dan penerbitan bergengsi membahas Go-Jek, terutama membedah strategi Nadiem, kelahiran 1984 lulusan MBA dari Harvard Business School, mengubah Go-Jek yang kurang populer ketika diluncurkan pada 2010 menjadi perusahaan berpredikat kuda bercula satu alias unicorn pada 2016. Ini sebutan untuk perusahaan yang nilainya (termasuk pendanaan) tembus US$ 1 miliar atau Rp 13 triliun. Tahun ini, valuasi Go-Jek Rp 53 triliun setelah disuntik modal oleh gergasi Google.

Image result for gojek tempo
Nadiem Makarim (Tempo, 2016)

Di awal pendiriannya, Nadiem mengandalkan 20 pengemudi Go-Jek dengan pemesanan melalui telepon dan SMS. Ia terinspirasi membuat layanan ini karena acap terjebak macet setiap berangkat dan pulang kerja dari kantornya di McKinsey, lembaga konsultan bisnis, di Wisma GKBI Jakarta, di kawasan Semanggi.

Call-center itu ternyata kurang diminati konsumen karena ribet. Nadiem lalu mengubahnya menjadi aplikasi tiga tahun kemudian, sebagai mana Uber yang sudah populer di Amerika. Sejak itu Go-Jek menjadi aplikasi terkenal seiring makin banyaknya orang Indonesia yang memakai telepon pintar.

Strategi ERRC diadaptasi dari Kim and Mauborgne (2015).

Maka, jadilah hari itu dua pengemudi Go-Jek menjadi dosen tamu. Mereka Pak Ibrahim dan Pak Syamsul. Pak Syamsul tiba lebih dulu karena mengirim pesanan kopi-susu Temu yang tokonya ada di Jalan Senopati, hanya dua kilometer dari Kampus Binus di Senayan. Ia tiba di kampus tujuh menit setelah kami memesannya. Pak Ibrahim tiba sepuluh menit kemudian mengantar pisang goreng Ibu Ninik di tanjung Duren, 10 kilometer dari Binus.

Pak Firdaus meminta izin kepada keduanya memakai waktu kerja mereka untuk ditanyai seputar layanan Go-Jek. “Jangan lebih dari 15 menit,” kata Pak Ibrahim, dengan mimik yang serius. “Kalau lebih dari itu saya bisa tidak mendapatkan poin.”

Pak Ibrahim lalu menjelaskan bagaimana sistem poin Go-Jek amat berpengaruh pada penghasilannya dalam sehari. Waktu 15 menit itu bisa jadi seharga 1 poin yang harus ia kumpulkan agar genap 30 sehari untuk mengejar bonus Rp 200.000. Jika dalam sehari ia tak mendapat jumlah poin itu, Pak Ibrahim hanya memperoleh penghasilan dari ongkos ojek saja, ditambah tip dari penumpang jika ada. “Ongkos mah tak seberapa, pak,” kata dia.

Dengan tangkas ia mencontohkan jika dalam sehari ia mengantarkan penumpang sebanyak 10 trip dan ongkos tiap perjalanan Rp 10.000, ia hanya membawa pulang Rp 100.000. Soalnya, Go-Jek kini sudah menurunkan tarif per kilometer dari Rp 4.000 menjadi Rp 1.500 per kilometer saja. Tarif yang berkurang plus pengemudi yang kian banyak membuat persaingan antar pengemudi Go-Jek menjadi sengit.

Maka Pak Ibrahim dan Pak Syamsul mengandalkan poin untuk membukukan penghasilan. Keduanya lebih senang mengumpulkannya lewat order makanan. Mesin algoritma Go-Jek akan memberi tahu pengemudi mana saja restoran yang paling laris dan paling dekat dengan mereka. Pak Syamsul nongkrong di dekat kopi Temu karena, kata dia, di sekitarnya banyak restoran yang sering mendapat order melalui aplikasi.

Pak Syamsul bekerja 13 jam sehari. Ia narik penumpang jam 7-11 pagi, lalu istirahat, mulai lagi jam 1-3 siang, istirahat lagi, dan mulai narik lagi jam 4 hingga pukul 10 malam. Total penghasilan dari ongkos, tip, dan bonus poin sebesar Rp 500 ribu. Dari jumlah itu, Go-Jek menarik 20 persen. Pak Syamsul sudah setahun menjadi pengemudi dan tak menyesal telah keluar bekerja sebagai kepala pengawas di sebuah restoran besar di Cikini.

Dari Pak Syamsul dan Pak Ibrahim kami juga tahu bagaimana mesin algoritma Go-Jek bekerja. Mesin Go-Jek akan mengarahkan pesanan terdekat kepada para pengemudi baru sehingga mereka banjir order dan bisa membukukan poin dalam waktu cepat. Cara ini membuat para pengemudi “ketagihan” narik atau istilah populer di kalangan pengemudi: Gacor, gampang cari orderan. Hingga tiba waktunya pesanan mulai berkurang karena dibuka untuk pengemudi lain.

Itulah kenapa banyak cerita pengemudi yang mengeluh penghasilannya berkurang setelah agak lama bergabung dengan Go-Jek. Persaingan menjadi ketat karena kendati jumlah pesanan bertambah, pengemudi yang melihatnya di aplikasi menjadi bertambah juga. Rebutan penumpang dan tekanan mengumpulkan poin untuk membukukan bonus menjadi tak terelakkan. “Tapi itu juga tergantung kita, pak,” kata Pak Syamsul. “Kalau rajin mah poin dapat terus.”

Maka, kata Pak Ibrahim, menjadi pengemudi Go-Jek harus punya siasat juga. Ia, misalnya, lebih senang antar-jemput makanan karena mesin algoritma memberi tahu mana saja restoran yang terlaris dan terdekat dengannya dan jarak tempuhnya tak terlalu jauh. Mesin algoritma juga biasanya mengarahkan konsumen membeli makanan dari restoran yang terdekat, lalu terlaris atau terpopuler di kawasan tempat memesannya.

Waktu menjadi faktor yang menentukan apakah para pengemudi Go-Jek bisa mengumpulkan poin atau tidak. Poin adalah target, KPI, manajer, pengawas, sekaligus bos para pengemudi ojek aplikasi.

Cara lain mendapatkan poin adalah menawarkan isi ulang Go-Pay. Jika penumpang atau pemesan setuju, mereka mendapat poin tambahan. Go-Jek memang telah berkembang menjadi aplikasi teknologi keuangan sekaligus melalui Go-Pay. Konsumen didorong untuk memakai layanan ini dengan fungsi yang kian beragam, lewat penurunan tarif dibandingkan dengan jika bayar tunai. Tak hanya untuk urusan bayar ojek, Go-Pay juga menyediakan layanan isi ulang pulsa hingga bayar listrik atau BPJS. Kata Pak Syamsul, di kota selain Jakarta malah sudah ada pengemudi Go-Jek yang mencicil rumah lewat potongan langsung melalui Go-Pay.

Go-Jek sudah ada di 50 kota di Indonesia. Dari hanya tiga layanan: transportasi, logistik, dan belanja, Go-Jek kini sudah merambah ke 18 layanan dengan 15 juta pengguna per pekan dan melibatkan 900.000 pengemudi. Menurut Kompas.id, ada 100 juta transaksi setiap bulan melalui aplikasi ini antara konsumen dengan pengemudi, pengemudi dengan 125.000 toko. Go-Jek agaknya makin tergiur mengembangkan transaksi digital melalui Go-Pay untuk strategi mendatang.

Lembaga Demografi Universitas Indonesia menghitung tahun lalu dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia melalui aplikasi Go-Jek sebanyak Rp 8,2 triliun per tahun terhadap ekonomi nasional. Para mitra penyedia barang yang ada di Go-Jek juga mendapat tambahan penghasilan Rp 1,7 triliun per tahun.

Yang belum dihitung UI adalah berapa banyak usaha tanpa toko fisik yang tumbuh akibat Go-Jek. Ini penting jika kita ingin menghidupkan ekonomi berbasis digital seperti di Cina, yang membuat Amerika rikuh dan cemas, seperti tergambar dalam laporan terbaru majalah The Economist. Juga efek Go-Jek terhadap produktivitas orang Indonesia. Apakah pendapatan per kapita orang Indonesia naik akibat kerjanya menjadi produktif karena mobilisasinya lebih efektif setelah ditolong Go-Jek?

Cerita Pak Ibrahim dan Pak Syamsul selama 15 menit di kelas telah menjadi bahan pengetahuan tambahan di luar pembahasan strategi bisnis berdasarkan teori-teori hebat semacam bisnis model Osterwalder dan Pigneur (2010), atau strategi bisnis Blue Ocean dari Kim dan Mauborgne (2015), eksekusi melalui Balance Scorecard yang digagas Kaplan dan Norton (1992).

Pak Ibrahim (kelima dari kiri), Pak Syamsul (memakai jaket Go-Jek) dan Pak Firdaus Alamsjah di kelas Executing Business Startegy Binus Business School, 7 April 2018.

Pak Ibrahim tangkas menjawab setiap pertanyaan, bahkan ia menjawabnya dalam bahasa Inggris—bahasa pengantar belajar di BBS. Ketika teman kami, Taye, dari Korea Selatan terbata-bata bertanya dalam bahasa Indonesia, Pak Ibrahim langsung menjawabnya dalam bahasa Inggris. Sebelum bergabung dengan Go-Jek ia bekerja di sebuah perusahaan multinasional batu-bara.

“Anak saya juga di Binus. S-1 masih semester 3,” katanya. “Anak saya dua, kakaknya sudah bekerja. Pintar-pintar semua, tidak seperti bapaknya. Saya keras dalam pendidikan kepada anak-anak. Kalau mau main ada waktunya, yang penting belajar.”

Sungkem….

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

4 thoughts on “BELAJAR DARI PENGEMUDI GO-JEK”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)