Jangan-jangan, setiap Ramadan kita hanya sedikit puasa banyak riyanya.
TUHAN menyeru, “Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (Al-Baqarah, 183). Tuhan tak menyeru semua manusia agar berpuasa, ibadah yang ia sebut khusus hanya untuk-Nya (Muslim dan Abu Hurairah). Secara spesifik ia hanya mengajak orang beriman berpuasa di bulan Ramadan. Ia tak menyapa mereka yang tak beriman, yang tak percaya keberadaanNya.
Puasa adalah ibadah sangat khusus. Dibanding ibadah-ibadah lain, puasa adalah jenis ibadah yang paling private karena ia terbebas dari sikap riya. Ibadah dalam empat rukun Islam lain berhubungan dengan orang lain: salat berjamaah, haji, zakat, syahadat, jenis ibadah yang harus diumumkan. Pada puasa, hanya kita dan Tuhan yang tahu seberapa ikhlas kita menjalaninya.
Maka jika kita masih menuntut orang lain menghormati kita di bulan Ramadan, sesungguhnya kita bermasalah dalam iman yang diseru Tuhan itu. Iman kita tak kunjung dewasa dalam beragama jika masih mengharap hormat dari orang lain. Menuntut hormat itu, misalnya, menyerukan agar semua warung makan tutup dan tersinggung jika ada orang makan/minum di depan kita.
“Puasa itu untuk-Ku, Aku sendiri yang akan membalasnya.” “… agar kamu bertakwa.”
Subhanallah. Ia masih saja memikirkan kita dengan anjurannya itu, yakni agar kita bertakwa. Tuhan tak meminta kita berpuasa agar Ia menjadi makin terpuji, makin besar. Ia minta kita berpuasa untuk kepentingan kita sendiri, yakni agar iman kita makin sempurna.
Islam menyediakan konsep ikhlas yang melampui segala pengertian tentang berserah diri. Dalam beribadah seharusnya kita tak punya sedikit pun pengharapan akan pahala, alih-alih balasan yang bersifat duniawi. Misalnya, kita salat hanya karena ingin diberi rezeki yang banyak atau takut berdosa dan api neraka. Ikhlas menyingkirkan itu semua.
Ridho Allah adalah pengharapan agung dalam ibadah yang terkandung dalam konsep ikhlas. Jika masih terbetik pikiran orang lain perlu menghormati ibadah kita, kita masih egois dalam beribadah, jika bukan tergolong ke dalam orang yang riya—sifat paling buruk yang mengotori hati dan pikiran. Menuntut penghormatan dalam ibadah, juga menunjukkan bahwa iman kita begitu rapuh. Iman yang lemah.
Warung yang buka itu, dan yang tak berpuasa bebas makan, akan menjadi ukuran seberapa relaks iman kita. Sebab, iman dan takwa pada akhirnya menyangkut soal toleransi: seberapa jauh kita berdamai dengan yang berbeda. Jika kita masih menganggap makanan di warung dan orang yang menyantapnya sebagai godaan, iman kita hanya setipis benang, mudah lunglai oleh godaan yang sedikit.
Mungkin karena kita baru berpuasa menghentikan makan dan minum, belum sampai pada puasa batin untuk mencuci penyakit hati dan pikiran yang kerap mempengaruhi cara bertindak dalam hubungan sosial antar manusia—takwa paling esensial yang terkandung dalam firman Al Baqarah itu.