Untuk apa kita bersusah payah pulang ke kampung untuk mudik?
SAYA merenungkan pertanyaan ini dalam perjalanan mudik selama 12 jam ke kampung halaman pada H-3 Lebaran tahun ini. Ya, untuk apa kita menempuh kemacetan, mengarungi kelelahan, untuk pulang kampung di sekitar hari Lebaran?
Jawabannya, mungkin, keluarga. Bagaimana pun, sejauh-jauhnya saya pergi dari kampung ini, yang selalu ada di benak setiap waktu dan setiap saat adalah keluarga. Mereka yang bergumul dengan saya dan membentuk saya hari ini. Dengan segala pengaruhnya, anggota keluarga tak akan bisa lepas hingga maut memisahkan.
Maka, inilah jawaban atas pertanyaan itu: mudik adalah momen paling penting dalam Lebaran untuk merayakannya bersama orang-orang yang hadir dalam hidup kita selama ini. Pada mudik kita akan pulang merayakan hari kemenangan Ramadan bersama orang-orang yang berpengaruh dalam hidup kita. Itu sebabnya, kosa kata mudik hanya muncul dan melekat pada Idul Fitri.
Mudik tak sekadar berarti pulang, karena pulang—dalam urbanisasi yang mendorong orang menciptakan kosa kata mudik—bisa berarti kembali ke rumah setelah bekerja. Sesuatu yang rutin, berulang dalam keseharian. Mudik adalah kembali ke udik, kembali ke tempat kita berasal. Dan tempat asal itu tak semata kampung halaman, tapi juga kepada orang-orang yang mempengaruhi hidup kita, membentuk karakter kita, sering kali menjadi penentu masa depan kita. Dan mereka adalah keluarga.
Kita mudik untuk mengunjungi mereka, berterima kasih kepada mereka, sembari mengenang kembali bagaimana kita tumbuh bersama kenangan di dalamnya. Mudik telah menjadi semacam perjalanan spiritual untuk menghidupkan kembali memori dan menyalakan terus ingatan pada tempat asal.
Bagi saya, mudik juga menjadi semacam jeda. Jeda dari segala pernak-pernik urban yang acap membuat kita abai pada hal-hal kecil yang bermakna, pada momen yang membuat kita lupa bagaimana bersyukur. Seperti mudik kali ini, seorang tetangga—lagi-lagi—mengingatkan bahwa sepanjang Lebaran ini ada banyak orang yang tak ia kenal berseliweran di jalanan.
Dia seorang uwak yang berusia 75. Matanya masih awas menelisik wajah tiap orang di jalanan yang mengebut dengan sepeda motor dari teras rumahnya. Dalam ingatan sepanjang usianya itu, menurut dia, banyak orang baru yang tak ia kenal. Mereka adalah penduduk baru kampung ini, yang terikat dan menjadi penghuni baru karena perkawinan. Urbanisasi telah membuat jodoh tetangga saya menjadi jauh. Ada yang beristri atau suami orang Blitar, Padang, Medan, Sulawesi, bahkan Papua. Mereka bertemu di perantauan lalu mudik ke rumah istri atau suami mereka, dengan tetap sebagai orang rantau.
Mudik mereka tak seperti mudik saya. Jika mudik saya adalah mengunjungi kenangan, pada orang-orang asing ini mudik adalah menciptakan kenangan. Itu pun jika memori tentang kampung ini, orang-orangnya, kebiasaan-kebiasaannya, ramah dan tamahnya, tak terus-menerus menjadi asing. Saya tak tahu adakah orang yang beruntung bisa menyatukan kenangan akan kampungnya yang lama dengan lanskap yang memaksanya menciptakan memori baru. Kalau pun ada, mungkin bukan kenangan pada kampung halaman. Atau kenangan baru itu berbeda maktabnya dengan kenangan pada kampung halamannya sendiri, yang cocok dikunjungi untuk mengisikan makna mudik ke dalamnya.
Dan kenangan itu hadir secara menyeluruh.
Saya bertemu dengan teman-teman kecil lalu semalaman beradu cerita tentang kelakuan kami di usia tumbuh itu, dengan bahasa pergaulan kami yang dulu. Kami sepakat tak memakai bahasa pergaulan sekarang yang terpengaruh oleh status sosial masing-masing. Bahasa pergaulan itu adalah cara komunikasi yang mengandung kenangan juga di dalamnya. Kami tertawa bersama mengingat memori yang belingsatan tiap kali ada teman yang membangkitkannya.
Maka jika urbanisasi kini menjadi tren, bahasa apakah yang akan mengisi kenangan anak-anak sekarang? Pada anak saya yang tak punya kaitan memori dengan kampung ini, kenangan itu kian jauh. Di kampung ini ia tetap jadi orang asing.
Di rumah kami, mereka berpikir dan berbicara dalam bahasa Indonesia. Bahasa Sunda hanya mereka pakai saat belajar bahasa itu di sekolahnya, yang dua jam setiap pekan. Mereka jelas tak berpikir memakai bahasa itu sehingga tak paham seloka, peribahasa, dan alegori-alegori yang disediakannya untuk menyampaikan sesuatu yang acap tak tertampung oleh kata-kata. Mereka lahir sebagai orang Indonesia. Tak seperti saya.
Pertama-tama, saya adalah orang Sunda, yang mengenal Indonesia dari bahasa dan ceritanya lewat sekolah. Di kampung saya, berbahasa Indonesia malah acap dicemooh sebagai “orang kota”, sesuatu yang terpisah ikatan dari kampung ini. Sekarang, semua anak yang mudik saat Lebaran memakai bahasa Indonesia dalam percakapan. Orang-orang kampung pun lama-lama jadi terbiasa memakai percakapan dalam bahasa ini.
Bahasa Melayu bukan lagi bahasa yang asing. Ia sudah menjadi bahasa keseharian. Orang-orang tua, yang dulu menertawakan dan menganggap aneh bahasa Melayu, kini juga sudah mengerti bahasa itu dan menanggapi percakapan dengan bahasa Sunda.
Apakah bahasa kampung ini akan punah 20-30 tahun lagi? Saya tak tahu adakah pertanyaan ini terlalu klise. Sebab, pertanda ke arah sana sudah ada. Anak-anak sekarang lebih senang berbahasa Indonesia ketimbang Sunda, mereka lebih senang gue-elu dengan dagu yang mendongak ketimbang handap asor memakai “abdi”. Arus balik telah terjadi: setelah mereka menjadi rombongan urbanisasi, mereka kembali dengan gerakan ruralisasi—yang mengubah yang ndeso menjadi ngota.
Jika itu terjadi, mudik tak akan lagi bermakna sama karena kembali ke asal tak lagi ada.