Sisi gelap Internet yang mencemaskan: orang hanya percaya kepada berita yang mereka suka. Tak ada lagi cerdik-cendikia.
BERITA Siska Nur Azizah dan Siska Millenia terpapar paham radikal berbasis dogma agama melalui Telegram kian mengukuhkan thesis Tom Nichols: di zaman Internet tak ada lagi otoritas yang mengendalikan pengetahuan. The Death of Expertise menganalisis dengan telak isu lama yang berkembang liar di zaman media sosial: setiap orang terjangkit efek Dunning-Kruger dan bias konfirmasi pada segala hal.
Internet tak lagi menjadi sarana demokrasi informasi, justru jadi malapetaka karena membutakan orang hingga mereka tak lagi meragukan segala berita. Di Internet mereka kritis bukan pada fakta melainkan karena keyakinannya, yang lain bingung dan tersesat dalam belantara informasi faktual dan berita rekayasa. Semua centang perenang ini diamplifikasi para pengidap efek Dunning-Kruger, mereka yang merasa benar oleh pengetahuan yang keliru.
Siska hanya satu contoh. Komunitas bumi datar dan gerakan antivaksin adalah gejala lain meruyaknya kepercayaan pada informasi berdasarkan keyakinan, bukan bukti-bukti empiris. Nichols mengutip pernyataan seorang pembuat hoax yang menyebarkan informasi cokelat bisa membuat langsing. “Sasaran utamanya adalah para jurnalis yang malas verifikasi sehingga mereka mengutip berita itu mentah-mentah dan menyebarkannya,” katanya (halaman 162).

Setelah berita cokelat itu menyebar, pengguna media sosial terbelah antara yang percaya, ragu-ragu, dan menolaknya. Mereka pun bertengkar untuk sebuah informasi yang tak jelas, hingga mengabaikan informasi ilmiah tentang benar-tidaknya cokelat membuat langsing dari sebuah lembaga kredibel. Takhayul telah mengalahkan suara para ahli.
Nichols banyak mengutip hasil-hasil penelitian dan referensi kejadian yang membelah publik Amerika padahal tak jelas dasarnya. Buku ini memang banyak mengambil contoh di negeri Paman Sam, terutama setelah Donald J. Trump terpilih menjadi presiden.
Trump contoh bagus bagaimana efek Dunning-Kruger dan bias konfirmasi menjangkiti semua orang tanpa pandang bulu: ia menuduh media menyebarkan hoax dan fake news jika informasinya tak menguntungkan kebijakannya. Pendeknya, semua hal yang merugikan Trump akan ia sebut hoax dan palsu.
Pembahasan Nichols jadi terasa dekat karena ia mengurai sebuah gejala umum bagaimana manusia mengunyah informasi yang meruyak di dunia maya. Seperti Siska, kita tersesat di Google karena pembuatnya memakai mesin algoritma yang mengurutkan informasi berdasarkan kata kunci dan popularitas web. Siska mendapatkan berita yang mendukung ISIS dari web afiliasinya karena organisasi ini paham bagaimana memakai Internet untuk propaganda.
Dalam timbunan informasi, pada akhirnya orang akan seperti Trump: hanya percaya kepada berita yang mereka suka. Mereka yang meragukan sebuah informasi bukan karena seharusnya mereka melakukannya, tapi karena tak suka pada informasinya. Dasarnya bisa macam-macam: pilihan politik, fanatisme agama, identitas, atau keberpihakan. Dalam hal ini, tulis Nichols, orang liberal maupun konservatif sama saja.
Otoritas keilmuan pun runtuh karena masyarakat berubah dalam mencerna informasi, tapi di sisi lain lembaga pendidikan juga kian tak dipercaya. Ada gejala umum kampus dan akademi gagal menanamkan ilmu logika dan semangat ilmiah dalam meragukan pelbagai hal. Otoritas pengetahuan dan keilmuan pun runtuh, di luar soal para ahli juga kerap bikin kesalahan ilmiah, karena orang lari ke Internet yang tak membedakan informasi sumir dan kredibel.
Demokrasi dan melimpahnya informasi malah jadi malapetaka bagi umat manusia. Buku ini membuat panduan klasik dari Mohammad Hatta dalam buku Jalan ke Arah Ilmu Pengetahuan jadi terasa usang. Menurut Hatta, ada tiga jalan mencapai ilmu: cerita orang tua, pengalaman sendiri, dan keterangan orang lain. Di zaman Internet, ketika semua orang bisa memproduksi informasi, keterangan orang lain malah bisa menjerumuskan kita ke lembah salah sangka.
Dampak salah sangka itu munculnya stereotip pada banyak hal. Pengetahuan yang keliru akibat informasi yang serba tanggung dan serba sedikit membuat kita tak lagi adil menilai sesuatu. “Stereotip itu bukan prediksi tapi konklusi,” tulis Nichols. “Karena itu kita menyebutnya prasangka.”
Sejarah terlah mencatat, prasangka selalu menjadi akar dari penindasan. Mula-mula adalah generalisasi: nila yang merusak susu sebelanga. Stereotip adalah belanga yang memunculkan syak wasangka itu. Prasangka kemudian melahirkan kecurigaan, kecurigaan mendorong diskriminasi, dan diskriminasi melahirkan penindasan. Pikiran
Untuk mencegahnya, Nichols menyarankan kita tetap rendah hati menerima informasi seraya skeptis dan curiga agar kita terdorong terus menguji sebelum mempercayainya. Otoritas keilmuan, di kampus, media massa, dan lembaga lain, harus tampil menyuarakan yang benar agar publik punya acuan mempercayai sepotong informasi.
Sesungguhnya, Nichols membahas sebuah gejala lama, gejala yang setua revolusi otak manusia. Profesor di U.S Naval War College di Harvard Extension School ini memformulasikannya dengan dukungan data penelitian, survei, dan analisis untuk menopang gejala-gejala dalam pikiran manusia itu. Kian menarik karena tinjauan ini memadukannya dengan tabiat kita yang berubah akibat kehadiran Internet.
Sumber foto: Dreamstime.com
One thought on “Runtuhnya otoritas pengetahuan”