Tragedi Sejoli dalam Novel Jostein Gaarder

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Novel Jostein Gaarder yang dewasa dan sublim: tragedi sejoli yang berpisah karena peristiwa misterius dan bertemu lagi setelah 30 tahun. Akhir yang mengejutkan.

THE Castle in the Pyrenees mungkin novel filsafat Jostein Gaarder paling romantis, dari sekian banyak novelnya yang umumnya menampilkan tokoh utama anak perempuan. Dunia Sophie, Maya, Gadis Jeruk, Perpustakaan Bibi Boken, Misteri Soliter, adalah novel-novel Gaarder yang melibatkan anak-anak perempuan sebagai tokoh utama dalam melontarkan pertanyaan filosofis tentang dunia dan manusia.

Dalam novel terakhirnya ini, Gaarder menghadirkan dua tokoh orang dewasa, yang berpisah dan bertemu lagi 30 tahun kemudian. Steinn dan Solrun bertemu kembali di hotel tua di desa Sognefjord, di lembah glatsier Norwegia Barat, hotel yang mereka tuju 30 tahun lalu sebagai sejoli sewaktu keduanya kuliah di Universitas Oslo.


The Castle in the Pynerees (Mizan, 2018). Diindonesiakan dari bahasa Inggris oleh Irwan Syahrir

Liburan mereka berantakan karena di tengah jalan keduanya merasa VW kodok yang mereka tunggangi menabrak seorang nenek tua di jalan remang tengah malam. Tapi tak ada jasad yang tersungkur, hanya ada syal merah tua yang tertinggal, juga pecahan kaca spion di jalan. Polisi tak menerima laporan orang mati, koran dan radio juga tak menyiarkan peristiwa kecelakaan.

Kejadian itu membuat hubungan mereka menjadi dingin hingga keduanya berpisah, terutama setelah perempuan itu muncul lagi di kebun ceri dekat hotel kayu itu dan mengatakan dua kalimat yang dicerna berbeda oleh pasangan kekasih ini. Solrun, yang perempuan, mendengar perempuan ini berkata, “Kau adalah aku di masa lalu, dan aku adalah kamu di masa mendatang.” Plus, “Seharusnya kalian ditilang, Nak.”

Telinga Steinn mendengar kalimat lain. Keduanya berdebat soal perbedaan pendengaran itu dan makna di balik kalimat serta misteri perempuan yang mereka yakini telah tewas karena ditabrak cukup keras.

Perdebatan itu juga sampai pada takdir, juga nasib, dan perjalanan waktu—khas pertanyaan Gaarder dalam novel-novelnya–hingga pertanyaan soal iman.

Sebelum melintasi pinggiran danau yang jalannya berkelok-kelok itu, Steinn tiba-tiba bergairah. Mereka pun bercinta setengah jam di VW kodok merah itu. Steinn tak mengajak pacarnya masuk semak-semak karena udara dingin. Gairah itu membuatnya menyetir dengan mengebut hingga mereka merasa menabrak seseorang yang memakai syal.

Coba, seandainya mereka tak bercinta, apakah mereka akan menabrak perempuan tua itu? Jika mereka tak berhenti setengah jam apakah mereka akan bertemu dengan van putih yang datang dari arah berlawanan beberapa detik setelah tabrakan itu? Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu keduanya, hingga mereka berpisah.

30 tahun kemudian, pada 2007, ketika masing-masing sudah menikah dan punya dua anak, mereka bertemu di hotel tua yang dulu mereka tuju ketika keduanya sedang berlibur. Steinn kini mengajar di Universitas Oslo sebagai ahli perubahan iklim. Solrun menjadi guru SMA di Bergen, pekerjaan yang dulu dicita-citakan Steinn.

Sejak itu mereka terhubung kembali dan percakapan mereka melalui surat elektronik mengungkap peristiwa misterius tiga dekade lalu. Novel ini digerakkan sepenuhnya oleh percakapan melalui email tersebut. Di setengah perjalanan cerita, kita tergoda menyimpulkan mengapa Solrun memutuskan Steinn. Ia laki-laki yang terlalu banyak cakap soal-soal filsafat.

Related image
Jostein Gaarder

Ia tipikal laki-laki menyebalkan yang selalu ingin didengar omongannya, yang tak bisa diinterupsi saat melontarkan ide-ide gila dan konyolnya. Sementara Solrun dengan sabar menulis cerita dengan deskripsi yang berguna bagi pembaca mengikuti alur novel ini. Dari email dia kita bisa merasakan dingin dan sunyi lembah-lembah es Norwegia, pohon-pohon oak yang ngungun, dan jalan-jalan Skandinavia yang mulus tapi sepi.

Setelah percakapan dan perdebatan lewat puluhan email, keduanya sepakat untuk bertemu setelah saling bersetuju dengan versi cerita misterius 30 tahun lalu. Mereka yang sebenarnya masih saling mencintai itu ingin menyelesaikan debat mereka soal hantu dan hidup sesudah mati.

Steinn yang ateis tak percaya hantu dan hal-hal gaib, terutama kehidupan setelah mati. Karena itu ia tak percaya pada kemunculan roh perempuan tua pemakai syal yang baru saja ditabraknya itu. Bagi Steinn, dunia adalah surga dengan segala kenikmatannya. Ketika manusia mati, ikut mati pula ruhnya. Selesai. Wasallam. Tapi penjelasannya soal materi dan arwah tak bisa meyakinkan Solrun.

Sebaliknya, Solrun juga tak bisa meyakinkan Steinn tentang kepercayaan Kristen, ruh, materi, alam lain, dan kebangkitan Yesus di hari ketiga. Ia gagal menjelaskan keyakinannya tentang dunia yang fana, ada hidup setelahnya, kematian hanya perantara dua dunia itu. “Maaf, Steinn, sejak peristiwa itu aku meninggalkan sekte kita, aku memilih beriman secara Kristen,” kata Solrun. “Sekte kita kini hanya punya satu pengikut, yaitu kamu.”

Solrun meninggalkan keyakinan Steinn yang terlalu mempercayai logika dan  sains bisa menjelaskan segala hal ihwal. Solrun mundur beberapa inci ke belakang untuk melihat sudut pandang lain dalam logika Steinn. Ia melihat sesuatu yang tak bisa dilihat atau diterima Steinn, yaitu iman. Tapi di titik inilah keduanya tak bertemu, di titik itulah keduanya mengeras, lalu berpisah.

Sampai di sini, novel ini seperti akan berakhir antiklimaks. Gaarder tahu itu. Maka bab terakhir menyuguhkan cerita yang mengejutkan: hadirnya suami Solrun yang mengungkap semua misteri dan pertanyaan yang tak berjawab sepanjang 300 halaman novel ini. Dalam surat panjangnya yang menyentuh kepada Steinn, suami Solrun mengungkap fakta yang gagal ditangkap oleh keduanya. Gaarder berhasil mempertahankan romantisme yang menurun sejak pertengahan novel akibat debat-debat filsafat yang kering, dengan kemunculan Niels Petter yang terabaikan sejak halaman pertama.

The Castle of the Pyrenees, 1959
The Castle in the Pyrenees, 1959, oleh René Magritte (Sumber: Rene Magritte Artwork)

Agaknya, novel ini rada semacam otobiografi Gaarder, selain unik karena berbeda dengan novel-novel filsafatnya terdahulu. Setelah sukses menerbitkan Dunia Sophie pada 1991, ia pindah ke Bergen dari Oslo bersama istri dan dua anaknya. Di sana ia menjadi penulis penuh.

Seperti diakuinya kepada Financial Times, hotel tua yang menjadi tujuan berlibur Steinn dan Solrun itu adalah tempatnya menulis dan berlibur. Gaarder menjadi penulis novel sejak ia bertemu istrinya di Oslo pada usia 19. Banyak hal-hal yang mirip dengan cerita novel terakhirnya ini sehingga The Castle in the Pyrenees—judul lukisan perupa Belgia René François Ghislain Magritte tahun 1959 yang tergantung di hotel kayu itu—bergairah dan bertenaga.

Sumber gambar utama: Castle in the Pyrenees dari BlazeNecros

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

2 thoughts on “Tragedi Sejoli dalam Novel Jostein Gaarder”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)