Factfulness: Salah Sangka Melihat Dunia

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Factfulness ditulis Hans Rosling untuk mengajak kita melihat dunia dengan lebih optimistis. Melawan insting negatif dalam pikiran manusia.

BILL Gates mengumumkan melalui blognya pada April lalu bahwa ia memberikan hadiah kepada mahasiswa yang baru lulus kuliah: unduh gratis buku Factfulness. Orang terkaya di bumi ini menyediakan tautan agar kita bisa mengakses file digital buku karya Hans Rosling di blog tersebut.

Hingga pekan lalu sudah 5 juta pembaca yang mengunduh buku dokter yang ahli statistika dari Swedia itu. “Ini buku paling penting dari semua buku yang pernah saya baca,” kata Gates, pendiri Microsoft yang membaca 50 buku dalam setahun.

Gates pantas menganjurkan para mahasiswa membaca Factfulness. Lewat buku ini Hans mengajak dan mengajari kita melihat dunia secara lebih adil, melalui data. Tak hanya mengguyah salah sangka yang umum menghinggapi benak orang seluruh dunia, penjelasan Hans akan kesalahan insting manusia begitu meyakinkan.

Image result for factfulness
Factfulness, Hans Rosling (2018)


Ada sepuluh insting manusia yang acap keliru melihat fakta. Tiap insting dasar itu dibahas Hans dalam satu bab. Sehingga dari 279 halaman buku ini, hanya ada tiga bab tambahan, yakni bab penutup dan catatan anak dan menantunya yang membantu ayah mereka menyelesaikan bab terakhir buku ini. Hans meninggal tahun lalu di usia 68 akibat kanker pankreas.

Cara Hans menyusun buku ini amat memikat. Ia membuka tiap bab dengan sebuah cerita berdasarkan pengalamannya berkeliling dunia sebagai dokter, menolong orang-orang sakit di negara-negara berkembang, Afrika dan Asia. Cerita pengantar itu ia tutup dengan sebuah pertanyaan dengan jawaban pilihan ganda.

Image result for hans rosling
Hans Rosling (Time.com)

Pertanyaan itu sesungguhnya survei yang ia buat sebelum menulis buku ini. Kita, pembaca, secara tidak langsung akan memilih salah satu jawaban seraya membaca hasil survei Hans yang kerap mengejutkan. Rupanya, pertanyaan sederhana itu acap salah dijawab oleh orang seluruh dunia.

Misalnya, ada pertanyaan, apakah dunia lebih baik dibanding 200 tahun lalu? Hans menyodorkan jawabannya lewat sebuah grafik. Orang Turki paling banyak menjawab lebih buruk, disusul Amerika, dan seterusnya. Yang mengejutkan, separuh responden orang Rusia menjawab sebaliknya. Dengan telaten dan sabar, melalui komparasi angka-angka, Hans menunjukkan bahwa orang Rusialah yang benar.

Dunia lebih baik ternyata. Angka kematian bayi menurun jauh dibanding tahun 1800-an. Anak putus sekolah tinggal sedikit. Partisipasi perempuan dalam politik naik. Bahkan layanan kesehatan menyentuh hingga pelosok karena itu banyak penderita sipilis yang sembuh. Kemiskinan ekstrem turun dari 95 persen menjadi 9 persen pada 2017.

Image result for poverty reduce factfulness
Jumlah orang miskin turun drastis dalam 200 tahun terakhir (Rosling, 2018)

Hans menyebut salah jawaban itu karena pengaruh “insting negatif”. Manusia rupanya punya insting buruk pada sekeliling. Insting ini kemudian melahirkan persepsi yang membuat banyak manusia kurang bersyukur dengan keadaan.

Ada sembilan insting lain yang membuat kebanyakan manusia merasa dunia jadi lebih buruk: merasa berbeda, insting garis lurus, ketakutan, distorsi ukuran, generalisasi, pandangan terhadap takdir, perspektif tunggal, insting mencemooh, dan insting merasa terdesak. Dengan cerkas Hans menunjukkan pikiran-pikiran negatif ini keliru, dengan fakta, data, dan analisis yang meyakinkan.

Agar tak terjebak pada generalisasi dan salah membaca angka, pertama-tama Hans membuat empat kategori manusia di seluruh bumi ke dalam empat kelompok pengeluaran. Level 1 adalah mereka yang hidup di bawah US$ 2 sehari, Level 2 di bawah US$ 8, Level 3 menghabiskan uang hingga US$32, dan Level 4 mereka yang hidup dengan biaya hidup di atas US$ 32.

Untuk mengetahui apakah persepsi kita benar terhadap banyak hal, Hans membandingkan kelompok tersebut pada levelnya. Untuk menjawab apakah kematian anak naik di seluruh dunia, ia mengambil data kematian anak pada tiap level dari lembaga-lembaga resmi. Hasilnya, kita akan melihat komparasi data yang lebih realistis. Ancaman baru hari ini yang membunuh manusia bukan penyakit menular, melainkan terorisme.

Perbandingan yang deskriptif dari penjelasan Hans bisa kita temukan dalam Dollar Streets, proyek yang dikerjakan anaknya, Anna Rosling Rönnlund, memotret orang dari seluruh dunia berdasarkan penghasilan dan pengeluaran rumah tangga mereka. Kita tak bisa menilai Ethiopia lebih miskin dari Indonesia hanya karena kita lihat anak-anak di sana tak memakai sepatu ke sekolah. Agar lebih adil, para fotografer itu datang ke Ethiopia memotret mereka lalu ke Indonesia membandingkan rumah tangga dengan pengeluaran yang sama.

Salah sangka kita terhadap keadaan terjadi karena kita memakai insting buruk tersebut, dan melepaskan level untuk membandingkan datanya. Hans sangat percaya penghasilan rumah tangga amat mempengaruhi tindakan-tindakan manusia, termasuk dalam aktivitas seksual.

Bagi Hans, salah melihat fakta itu akan membahayakan kita dalam melihat problem dan mencarikan solusinya. Menurut Hans, perspektif lahir akibat pasokan data yang kita terima. Jika data itu keliru, atau cara kita melihatnya salah, persepsi kita juga akan salah.

Dunia barat, misalnya, menganggap perempuan di negara mayoritas muslim terkungkung, padahal yang terkungkung itu mereka yang punya penghasilan US$ 2 per hari. Perempuan muslim di lain negara dengan pengeluaran yang setara juga sama belaka. Maka persepsi “agama Islam mengekang perempuan” mesti dilihat dulu fakta dan datanya. Data yang salah akan membuat kita juga salah sangka terhadapnya.

Atau pengelompokan negara maju dan berkembang. Buat Hans, pengotakan ini diskriminatif karena akan mendorong orang punya persepsi yang berbeda melihat keduanya. Indonesia disebut negara berkembang, padahal cara berpikir orang yang menghabiskan US$32 sama saja dengan mereka yang hidup di negara maju dengan angka pengeluaran yang sama.

Image result for factfulness
16 hal yang berubah ke arah yang lebih baik menurut Rosling (2018).

Hans menolak disebut orang yang optimistis. Ia hanya ingin mendudukkan perkara dengan lebih adil, melalui data. Ia tak percaya angka dan statistik. Karena angka dan grafik bisa dipakai dengan cara berbeda untuk menghasilkan kesimpulan berbeda. Hans percaya pada data, setelah dibuat standar dan ukurannya, yang lebih adil dan tanpa pretensi. Empat ukuran yang ia buta itu akan berlaku umum di seluruh dunia. Apa pun datanya, apa pun grafiknya, dunia akan terlihat lebih berwarna.

Untuk memerangi insting negatif berkembang dalam pikiran kita, Hans punya dua pesan penting: rendah hati pada informasi dan selalu tertarik mempertanyakan data. Pantas Bill Gates menyarankan kita membaca buku penting ini.

_____________________________

Facfulness: Ten Reasons We’re Wrong about the World—and Why Things are Better than You Think
Hans Rosling
Spectre, 2018

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

2 thoughts on “Factfulness: Salah Sangka Melihat Dunia”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)