Liquid workforce adalah istilah baru di dunia disrupsi. Kerja tangkas di tengah perubahan teknologi yang mencemaskan.
ADA sebuah cerita terkenal bagaimana orang Jepang menjaga agar ikan tetap segar.
Syahdan, pada suatu masa, para nelayan menghadapi krisis ikan segar. Mereka harus melaut sangat jauh karena perairan dangkal tak lagi jadi rumah ikan-ikan besar. Akibatnya, meski tangkapan di laut dalam itu banyak, ikan tersebut tak lagi segar ketika tiba di pasar.
Para nelayan lalu membuat mesin pendingin dalam perahu mereka. Masalahnya, ikan dingin jadi murah ketika dijual di pasar. Orang Jepang yang terlatih makan ikan sejak kecil tahu mana ikan segar mana ikan beku. Para nelayan harus putar otak lagi. Eureka! Mereka menemukan cara jitu agar ikan tetap segar sampai di pasar setelah perjalanan laut yang jauh.
Caranya adalah menjaga mereka tetap hidup dalam tangki selama perjalanan itu. Agar ikan hidup, mereka harus terus bergerak. Maka para nelayan memasukkan hiu kecil ke dalam tangki itu sehingga ikan tangkapan akan selalu waspada dan terus menjauh dari sergapan hiu yang akan memakannya. Di Jepang teknik ini disebut “ikejima“. Belakangan ada juga metode akupuntur: nelayan melukai kepala ikan dengan jarum agar mereka pingsan tanpa membuatnya mati.
Cerita ini bisa dipasang untuk apa saja. Konsultan kesehatan memakai cerita ini sebagai tamsil agar kita harus aktif jika ingin berusia panjang. Orang psikologi menggunakan kisah ini sebagai terapi menciptakan tantangan agar kita terus berpikir.
Neneng Goenadi, Country Managing Director Accenture—sebuah perusahaan konsultan bisnis—memakainya sebagai contoh bagaimana seharusnya kita menghadapi disrupsi dalam CEO Speaks di Binus Business School, Selasa malam kemarin. Ia diundang untuk bercerita tentang kepemimpinan dalam industri di tengah arus deras perubahan akibat disrupsi teknologi.

Para nelayan Jepang itu, kata Neneng, membuat inovasi dari masalah yang mereka hadapi dengan cerkas. Sebab, disrupsi itu, kemajuan teknologi itu, keniscayaan di masa ini. Terus berinovasi dan mengimbangi perubahan (dalam hal nelayan Jepang, perubahannya adalah wilayah tangkapan yang jauh), dengan cara menciptakan ide-ide baru agar tak bangkrut menjadi nelayan. Inovasi atau mati, demikian slogan era disrupsi.
Disrupsi juga melahirkan istilah baru yang disebut “liquid workforce” atau “tenaga kerja tangkas”. Frase ini dikenalkan Accenture dua tahun lalu untuk menyebut sumber daya manusia yang siap pakai menghadapi perubahan. Disrupsi membuat cara-cara lama ditinggalkan akibat tak lagi sesuai dengan keadaan. Para nelayan Jepang telah menjadi likuid profesional menghadapi perubahan-perubahan dalam bisnis mereka.
Teknologi peranti lunak membuat Nadiem Makarim membuat Go-Jek sehingga taksi Blue Bird ditinggalkan karena tak menjadi solusi dalam kemacetan Jakarta. Go-Jek juga membuat banyak gerai tutup karena kita bisa memesan apa saja melalui aplikasi ini. Sebaliknya, banyak orang jadi pengusaha tanpa harus punya toko karena transaksi terjadi secara virtual.
Pendeknya, digitalisasi telah membuat hidup kita berubah dibanding sepuluh tahun lalu. Neneng bercerita soal masa ketika otomatisasi dan robot akan menggantikan peran manusia lewat kecerdasan buatan. Dan masa itu akan segera tiba, mungkin, empat-lima tahun lagi. Bagi para pelaku industri keadaan ini menuntut mereka mengubah strategi hingga kompetensi.
Dalam jurnalisme, misalnya, berita yang dicetak tak lagi diminati karena tiap orang lebih senang membaca berita lewat telepon seluler. Para wartawan kini tak hanya harus mahir mencari berita yang diinginkan pembaca, tapi juga menyajikannya secara lebih menarik di web atau aplikasi—dengan video, gambar, infografik—tanpa mengorbankan bobot informasi. Para wartawan tak hanya harus belajar dasar-dasar jurnalistik tapi juga paham bagaimana cara coding, bahasa pemrograman di web. Mengubah koran atau majalah cetak ke digital memaksa wartawan menguasai kompetensi baru.
Pendeknya, disrupsi menuntut tenaga kerja yang tangkas karena di masa mendatang, mesin akan menggantikan peran manusia. Big data akan menjadi panglima dalam apa pun model bisnis, peranti lunak menjadi tumpuan sebuah usaha berevolusi menjadi industri yang sesuai zaman.
Pertanyaannya, di mana manusia ketika masa itu tiba?
Menurut Neneng, manusia akan terbantu oleh mesin. Manusia tak akan saling berhadapan dan menghilangkan karena kita akan terdorong menciptakan ladang baru yang tak bisa dikerjakan mesin, yakni berpikir. Di masa disrupsi, manusia dan robot akan saling mengisi peran. “Kita akan punya waktu untuk lebih banyak berpikir,” katanya. “Karena pekerjaan teknis sudah diselesaikan oleh mesin.”

Menurut penelitian Accenture, di Amerika 60 persen penduduknya bekerja sebagai freelancer, tak terikat pada perusahaan, dan berbisnis sendiri memakai kecanggihan teknologi. Di Indonesia juga sudah terasa. Warung tanpa gerai menjamur, orang bekerja dari rumah memak=ai dan berhubungan dengan pembeli lewat Internet. Para kreator muncul dan menjual karya mereka secara langsung kepada konsumennya.
Sejarah pun sudah membuktikannya, ketika revolusi industri menggantikan era pertanian. Jika sebelumnya orang mencangkul sawah dengan 5-10 orang, begitu traktor muncul petani tak memerlukan buruh lagi karena ia bisa mengolah sawah sendirian. Ke mana sembilan orang lainnya? Menjadi sopir traktor juga!
Mesin telah mereduksi 49 persen pekerjaan manual sejak revolusi industri. Dan dengan mesin, industri lebih untung 26 persen. Mesin telah membuat pekerjaan manusia lebih efisien. Karena lebih untung, ekonomi pun bergerak sehingga para buruh yang tadinya hanya mencangkul menjadi punya sawah dan bisa membeli traktor karena hasil panennya terjual di pasar yang kian banyak.
Selalu menyenangkan mendengar suara optimistis seperti ini. Sama seperti ketika membaca Hans Rosling dalam Factfulness. Dokter Swedia ini menyajikan data dengan begitu meyakinkan bahwa dunia menjadi lebih baik hari ini dibanding 200 tahun lalu berkat kemajuan-kemajuan teknologi dan informasi. Teknologi membuat masa depan manusia gilang gemilang, meskipun kalau membaca Thomas Friedman, kecepatan teknologi membuat manusia abai pada dirinya sendiri.
Jika kita baca Thank You for Being Late (akan diulas dalam artikel berikutnya), Friedman—penulis kolom teknologi di The New York Times—bersyukur bahwa temannya tak tepat waktu ketika mereka membuat janji. Dalam menunggu teman yang telat karena macet itu, ia bisa merenungkan sejarah dan revolusi teknologi dalam sepuluh tahun terakhir dalam 700 halaman bukunya itu. Coba, kalau semua serba mesin dan hal-ihwal terjadi tepat pada waktunya, ia mungkin tak akan menulis buku sepanjang itu. Pada akhirnya, dalam kemajuan dan kecepatan teknologi, manusia kembali kepada fitrahnya: tempat salah dan dosa. Telat adalah hal manusiawi, yang mungkin akan jadi aneh ketika semua serba otomatis. Kelak.
Barangkali di sini soalnya. Mesin dan otomatisasi mungkin akan membuat segala sesuatu jadi lebih mudah, tapi membuat hidup kita menjadi hampa. Kita memang bisa hidup sendiri di mana pun sepanjang bisa terkoneksi Internet. Jika sakit kita bisa Googling obat apa yang cocok. Tak perlu cemas tersesat karena ada peta di telepon seluler. Jika lapar kita tinggal telepon warung bakso dan pesan lewat Go-Food. Semua itu terjadi tanpa kita bersintuhan langsung dengan manusia lain.
Ketika menuliskan paragraf di atas saya ingat cerita anak-anak saya sewaktu liburan sekolah dua tahun lalu. Mereka mengunjungi nenek dan kakeknya di kampung selama sepekan. Mereka tercengang oleh begitu guyubnya orang sekampung ketika mendirikan rumah seorang tetangga. Mereka bergotong royong mendirikan rumah tanpa dibayar dengan penutup pesta makan bersama.
Di “kampungnya”, yaitu di rumah kami di Bogor, anak saya terbiasa melihat bagaimana rumah dibangun hanya oleh 3-4 orang, para tukang yang dibayar, yang bekerja dalam diam, dengan mesin penggiling semen dan gergaji listrik. Sementara di kampung neneknya, orang bekerja dengan tangan telanjang dalam keriuhan, dalam tawa dan kelakar, saling bertukar cerita tentang pengalaman.
Facebook, Twitter, Instagram, membuat kita berinteraksi akrab dengan orang yang kenal maupun tak kita kenal. Pertemanan jadi mudah dan hidup tak jadi sepi karena dunia maya menyediakan banyak orang yang siap saling berkirim kabar. Tapi ramai itu pula yang sekaligus menjadi sunyi.
Keramaian virtual membuat kita jeri seperti digambarkan The Death of Expertise oleh Tom Nichols. Kemudahan mengakses informasi justru membuat manusia terasing dan gagal menyaring informasi yang kredibel. Media sosial membuat orang gampang tersesat oleh informasi yang belum tentu benar dan terjangkit sindrom Dunning-Kruger, bias konfirmasi pada segala fakta. Internet membuat orang Amerika memilih presiden seperti Donald Trump.
Barangkali ini suara lain, seperti Dan Lyons yang cemas menyaksikan euforia industri start-up di Amerika dalam Disrupted. Ia tak memungkiri disrupsi telah menciptakan sistem ekonomi baru, tapi ekonomi virtual itu menyebabkan sebuah gelembung yang tak diketahui kapan akan pecah.
Saya kira dua suara itu layak didengar. Seperti Steven Pinker yang cemas membayangkan manusia akan tereliminasi oleh ciptaannya sendiri, yakni robot dengan kecerdasan buatan yang mekanis, dalam buku Enlightenment Now. Toh, Bill Gates tak setuju dengan kekhawatiran ini. Ia menyebut Pinker terlalu cepat mengambil kesimpulan. Menurut pembuat peranti lunak Microsoft ini, manusia tak sedang menempuh sejarah yang berbahaya dalam menciptakan kecanggihan teknologi. “Kita belum sampai di sana,” kata dia. “Pada titik tertentu kita akan sampai pada soal siapa mengendalikan siapa.”

Dua suara ini selalu penting. Tarik menarik keduanya yang membuat sejarah manusia selalu berada dalam keseimbangan. Kita beruntung menyaksikan dan terlibat dalam sebuah peralihan yang genting ini, yang menuntut kerja cerkas dan beradaptasi dengan perubahan, seperti nelayan Jepang ketika menghadapi krisis ikan segar itu.
Keterangan gambar:
Disruptor vs Inkumben: Pengemudi aplikasi ojek Grab mengobrol dengan penjual koran cetak di Jalan Palmerah, Jakarta Selatan, 14 Juli 2018.