Lari sebagai Meditasi

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Lari menjadi semacam meditasi: olah raga yang menyediakan ruang untuk merenung dan melatih pikiran.

YANG paling menyenangkan saat lari pagi, atau lari di waktu yang lain, adalah ketika tiba saatnya berada di persimpangan: berhenti atau terus. Ada pertentangan dalam pikiran yang tarik menarik di antara dua kutub itu. Keduanya menyimpan konsekuensi.

Jika berhenti, lemak dan sejenisnya akan menang dan bersorak karena mereka tak terus disiksa dan dibakar menjadi keringat. Jika terus, belum tentu lemak itu juga terbakar. Tapi, yang pasti, tubuh akan kelelahan. Pada saya, biasanya, persimpangan itu muncul pada 15 menit setelah start.

Memikirkan dua pilihan itu acap kali makan waktu 15 menit bahkan lebih. Sebab setelah melewati “persimpangan” itu, tubuh jadi ringan dan selalu ingin menempuh jarak terjauh dari yang bisa kita capai. Saya selalu percaya bahwa rasa malas dan dorongan berhenti pada 15 menit pertama saat berlari, berasal dari racun dalam tubuh kita. Mereka jadi setan yang mengirim sinyal menyerah ke dalam pikiran kita.

Mereka bisa berasal dari mana saja: racun dalam makanan dan minuman yang kita mangsa 12 jam sebelumnya, udara kotor yang kita hirup di jalanan berpolusi, atau pikiran buruk dari kerungsingan-kerungsingan yang datang dari mana-mana. Mereka adalah racun yang coba memberontak ketika kita hendak mengenyahkannya.

Maka, satu-satunya jalan adalah melawan mereka sekuat tenaga. Jika kita menang otot mungkin yang rontok. Pada 24 jam setelahnya, sendi kita akan ngilu. Dunia olah raga menyebutnya DOM’s, keterkejutan otot yang mekar karena kontraksi yang tak biasa. Jika DOM’s itu dilawan dengan gerak yang sama secara terus menerus, ia akan mengubah kelelahan menjadi otot yang lebih kenyal.

Sama seperti ketika menambah jarak atau durasi dalam lari. Otot akan kelelahan setelahnya karena mendapat perlakuan tak biasa. Untuk menumbuhkannya lagi hanya perlu dibiasakan, lalu ditambah pelan-pelan. Saya selalu ingat apa yang dilakukan Cassius Clay saat ia kecil. Ia ingin jadi anak yang kuat untuk bisa bertinju.

Di Amerika, ketika akar rasialisme belum enyah benar, naik ring pada 1960-an adalah prestise bagi anak kulit hitam. Maka ia berlatih mengangkat anak sapi setiap pagi. Setiap pagi pula ia menambah durasi mengangkatnya. Tanpa ia sadari jumlah angkatannya bertambah, padahal bobot anak sapi itu juga bertambah tiap hari. Maka ketika anak sapi itu sudah besar, Cassius tetap bisa mengangkatnya.

Ototnya bertambah kuat setiap kali ia menambah jumlah mengangkat anak sapi itu. Ketika bobot anak sapi tersebut bertambah dua kali lipat, kekuatan ototnya juga meningkat dua kali lipat. Tubuh Cassius menjadi lentur dan pukulan menjadi bertenaga. Ia kemudian jadi petinju paling terkenal di Amerika, terutama setelah ia mengubah namanya menjadi Muhammad Ali.

Memenangi “persimpangan” dalam pikiran saat lari adalah kesenangan yang tak bisa dijabarkan, semacam ekstase yang hanya bisa dinikmati tanpa bisa dirumuskan. Otot kita memang lelah tapi ia akan semakin kuat tiap kali kita menggapai pencapaian-pencapaian baru, durasi atau jarak dan bobot yang baru. Sebab otot akan lebih liat dan lentur setelahnya.

Saya tak ingat kapan mulai suka lari. Mungkin sejak kelas 5 SD, sewaktu diajak teman-teman lari setelah subuh pada Sabtu atau Minggu ke Maneungteung, bukit tempat pemancar radio yang 10 kilometer jaraknya dari kampung. Ini tempat nongkrong anak-anak muda yang membawa pacar sekadar melihat kampung dari ketinggian.

Umumnya mereka jalan kaki karena sepeda motor belum musim waktu itu. Banyak juga keluarga-keluarga yang membawa anak-anak, juga tikar dan rantang berisi makanan. Mereka piknik di hari libur sekolah.

Jalan menanjak yang beraspal itu adalah arena menguji tungkai dan paru-paru, juga mental. Mencapai puncak tanpa kelelahan dan pingsan adalah medali setiap anak yang bisa menempuhnya. Semangat persaingan bercokol dalam pikiran dan kegembiraan.

Sekarang lari jadi semacam rutinitas dengan motif yang berbeda: sayang pada oksigen yang melimpah. Bagi yang tinggal di Bogor, kerugian terbesar adalah bangun siang lalu kehilangan kesempatan menghirup oksigen yang melimpah itu di bawah suhu 23 derajat. Sebab saya pernah tinggal di Jakarta dan berlari bersama asap knalpot yang menderu-deru pada pukul 5. Sungguh tak menyenangkan. Rasanya tak ada jam-jam udara bersih, bahkan di Senayan pada pukul 4 sore dan 6 pagi.

Lari jadi terasa genting. Tak ada “persimpangan” yang tiba karena laju kaki bisa tiba-tiba dihentikan oleh sepeda motor yang berbelok tanpa lampu sen, juga mobil yang merasa terhalangi dengan klakson yang tiba-tiba ada di dekat telinga.

Dalam keriuhan seperti itu, lari bukan prosesi untuk merenung dan mengolah raga, juga pikiran dalam “persimpangan-persimpangan yang menyenangkan”. Dalam keramaian seperti itu, lari bukan lagi sebagai meditasi.

Sebab pada lari sebagai meditasi, hanya ada aku, ruang, dan waktu…

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)