Berapa banyak uang pajak terhambur untuk membiayai ketidakpatuhan kita?
Di depan terminal Bogor, di seberang Hotel Fave, kini berjaga seorang petugas Dishub. Ia membuka rantai besi tiap kali ada bus yang keluar terminal menuju jalan tol Jagowari, lalu menutupnya untuk menghadang pengendara sepeda motor yang hendak memutar arah.
Rantai itu terpacak di tiang besi yang berimpitan dengan tiang rambu larangan berputar. Jika tak ada petugas itu, dan sebelum dipasang rantai besi itu, para pengendara sepeda motor tak peduli dengan rambu besar ini. Mereka terlalu malas berputar di pintu masuk jalan tol dan bertemu perempatan lampu jalan yang macet.
Pemasangan rambu larangan berputar itu bukan tanpa tujuan. Jika sepeda motor atau mobil diizinkan berputar di sini, mereka akan bertemu bus yang keluar terminal dan arus kendaraan dari arah tol dan Tajur, plus penyeberang jalan yang malas naik jembatan. Belum lagi bus ke Leuwiliang yang ngetem di pintu keluar terminal ini. Jika kendaraan diizinkan berputar di sini, jalan akan kacau.
Maka polisi dan petugas Dishub hanya mengizinkan jalan itu untuk bus dari terminal. Dan usaha menjaga ketertiba itu ada ongkosnya. Negara perlu menggaji seorang petugas berjaga di sana selama delapan jam agar pengendara tak memutar arah di sini. Praktis rambu larangan itu tak berguna sama sekali.
Jika gaji petugas itu sebulan Rp 5 juta + ongkos membuat rantai besi itu Rp 2 juta, sebesar itu pulalah ongkos ketidakpatuhan orang Bogor di Jalan Padjadjaran. Bagaimana dengan pengkolan-pengkolan lain? Angka itu bisa dikalikan berapa saja sesuai jumlah perempatan di kota Bogor atau kota-kota lain yang punya problem sama.
Di Jakarta, ongkos ketidakpatuhan mungkin lebih besar. PT TransJakarta menempatkan dua petugas di pintu-pintu masuk busway + portal untuk menghadang pengendara sepeda motor. Jalur bus khusus ini bahkan harus dipisahkan separator tinggi agar tak diloncati mereka. Dulu, sebelum 2015, ketika pemisah beton hanya setinggi mata kaki, pengendara leluasa masuk jalur terlarang ini dan keluar lagi begitu melihat polisi berjaga.
Jika melihat data lelang elektronik di Jakarta, membuat separator beton itu perlu biaya Rp 48 miliar tahun 2016 untuk 230 kilometer. Belum ongkos pemeliharaan setiap tahun. Sementara biaya membuat satu portal Rp 35 juta tahun 2010. Pada 2016, jumlah portal yang dipasang itu sebanyak 120 buah. Artinya negara perlu Rp 4,2 miliar untuk memaksa pemakai jalan tak masuk jalur khusus bus Transjakarta ini.
Rupanya, kita belum terbiasa, atau menolak terbiasa, mematuhi aturan dan hukum yang diwakili oleh tanda, garis, dan marka. Barangkali karena sejak awal kita salah pikir memperlakukan jalan raya atau salah jalan memaknai fungsi jalan raya. Atau tak siap berkomitmen mematuhi aturan bersama.
Sejak lama sekali, jalanan dibangun untuk kendaraan. Maka ketika mobil dan sepeda mesin melintas, pemerintah menghalau pejalan kaki agar tak mengganggu mereka. Caranya membuat jembatan penyeberangan yang tinggi, alih-alih membuat zebra cross di titik-titik yang ramai. Di Indonesia, pejalan kaki menempati kasta terendah para pengguna jalan umum.
Satu jembatan penyeberangan setidaknya memerlukan anggaran Rp 3,9 miliar jika kita mengacu pada harga di Depok. Bandingkan dengan anggaran membuat garis penyeberangan yang hanya Rp 250.000 per meter persegi. Jika lebar jalan di Jakarta maksimal 100 meter, satu penyeberangan hanya perlu ongkos Rp 25 juta. Tapi jalanan memang bukan untuk pejalan kaki. Gubernur Anies Baswedan malah menambah mewah jembatan penyeberangan dengan menyediakan biaya yang wah mencapai Rp 19 miliar per jembatan.
Maka klop sudah kekacauan di jalan yang disebabkan ketidakpatuhan dan kesalahan kita berpikir. Pemerintah menganggap jalan bukan untuk pejalan kaki, sementara pengendara mobil dan sepeda motor tak percaya kesaktian garis dan marka. Hasilnya adalah ongkos ketidakpatuhan yang luar biasa besar.
Dengan segala centang perenang itu pun, pemerintah tetap menyokong agar orang punya mobil dengan kebijakan penjualan mobil murah. Jika jalan terus diaspal dan dilicinkan, negara lupa membuat trotoar yang nyaman. Jika izin-izin menyediakan dan membeli kendaraan dimudahkan, negara absen membangun transportasi publik yang aman dan nyaman, juga terkoneksi ke segala titik.
Negara memilih mengeluarkan ongkos dan biaya ketidakpatuhan, ketimbang menyediakan dan mendorong orang banyak taat aturan. Kita juga setuju saja uang pajak dipakai untuk biaya-biaya tak perlu itu, dengan cara tidak patuh pada marka saat berkendara.
Ketidakpatuhan ini juga menjalar ke mana-mana.
Di kompleks perumahan, jalanan yang mulus dirusak oleh “polisi tidur” untuk mencegah orang mengebut dan memacu kendaraan di atas batas kecepatan yang seharusnya. Jika ongkos membangun satu polisi tidur terbuat dari semen seadanya Rp 100 ribu, sebesar itu pulalah ongkos ketidakpatuhan pada aturan di kompleks perumahan itu. Apabila di kompleks itu ada 100 rumah, ongkos tersebut menjadi Rp 1.000 per kepala untuk mencegah orang mengebut. Itu pun belum tentu efektif.
Seorang teman bercerita ketika di kompleksnya para orang tua cemas ada yang celaka akibat anak-anak remaja suka mengebut. Maka ada usul agar di tiap tikungan dan jalan lurus dibuat gejlukan, yang anehnya disebut “polisi tidur”. Teman saya ini menolak ide itu. Menurut dia, bukan dengan merusak jalan jika ingin mencegah kecelakaan, tapi mengingatkan yang ngebut-ngebut itu.
Di kompleks perumahannya sudah ada kesepakatan yang dituangkan pada rambu agar semua kendaraan berjalan tak lebih dari 20 km/jam. Daripada menambah biaya membuat gejlukan, kata dia, lebih baik semua orang taat pada kesepakatan itu. Jika anak-anak yang mengebut, ia bersaran, para orang tua yang wajib mengingatkannya. Tapi pikiran seperti ini, katanya, malah dipandang aneh. Ia dianggap tak setuju usaha menciptakan ketertiban di perumahannya.
Memang rada aneh cara berpikir kita ini. Yang menyokong ketertiban lewat sistem dan tata aturan malah dianggap melanggar ketertiban. “Kalau begitu biarkan saja jalan-jalan rusak agar tak ada orang mengebut, kan?” katanya. “Tapi ketika jalan rusak bapak-bapak itu juga protes agar jalan diperbaiki. Setelah diperbaiki malah dirusak lagi dengan gejlukan.”
Mungkin kita belum sampai pada kesadaran kolektif soal perlunya taat pada kesepakatan-kesepakatan bersama—prasyarat sebuah peradaban yang bisa menghilangkan biaya-biaya ketidakpatuhan. Kita acap berpikir terbalik untuk banyak hal dan, celakanya, memakai sudut pandang instan.
“Polisi tidur”, petugas yang berjaga di bawah rambu, adalah cara-cara berpikir karbitan yang akan terus langgeng karena tak mengajarkan soal kepatuhan kepada sistem. Kita selalu menganggap hal termudah dari sesuatu yang kompleks, hanya karena kita malas ruwet. Dan kemalasan itu menuntut biaya.
Membuat “polisi tidur” itu ada aturannya, ada ukuran dan dimensi standarnya. Karena itu ada harganya. Di Solo, ongkos membangun polisi tidur yang resmi senilai Rp 8,3 juta. Jika satu kompleks perumahan dipasang 10 polisi tidur standar, setidaknya dibutuhkan Rp 83 juta agar manusia yang memakai jalan itu berkendara secara pelan-pelan untuk mencegah kecelakaan. Belum lagi ongkos tukang yang memasangnya.
Ongkos kecemasan dan ketidakpatuhan jadi begitu besar.
Di Jepang, orang patuh pada rambu-rambu, marka, dan tanda. Sehingga di jalan-jalan jarang terlihat ada polisi. Pelanggar ada, tapi sedikit sekali. Saya ingat sewaktu menyeberang di sebuah perempatan di Tokyo, sepasang anak muda tersipu malu karena melenggang di zebra cross padahal lampu menyeberang belum hijau.
Saya ingat bagaimana orang-orang di jalan di Kyoto dekat kantor gubernur mengeremuni seorang pengendara mobil yang ditilang karena parkir sebentar di bawah rambu P-coret. Di sana, saking jarang ada pelanggaran, orang ditilang jadi tontonan langka dan harus didokumentasikan. Dan jadi aib.
Di Jepang, pajak terhambur secara efektif, bukan untuk mengongkosi ketidakpatuhan penduduknya, tapi mengatur hak-hak bersama agar tak ada yang diistimewakan di aset-aset milik publik seperti jalan. Orang Jepang setuju tertib (mereka mau saja diatur agar memisahkan sampah hingga sembilan jenis dan plastiknya mesti dibeli pula). Kita mungkin memang setuju tidak tertib dan memilih menghamburkan uang untuk membiayainya.