Persahabatan Manusia dan Kucing

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Novel Hiro Arikawa tentang persahabatan kucing dan manusia. Cerita sederhana yang menyentuh.

ENAM bulan lalu, datang ke rumah kami kucing jantan belang dua, oranye dan putih. Jika dilihat dari bundaran testisnya, kelihatannya ia masih anak-anak. Ia mengeong terus menerus dan tak mau pergi setelah itu, tak seperti banyak kucing lain yang berdekam di halaman.

Mula-mula ia malu-malu masuk rumah. Seperti kepada kucing lain, anak saya merangkul dan memeluknya. Tapi tak seperti kucing lain, kucing ini tak berontak atau mencakar ketika disentuh. Ia malah sering naik ke pangkuan jika ada orang yang duduk di sofa atau menggesek-gesekkan badan ke kaki siapa saja.

The Travelling Cat Chronicles (Hiro Arikawa, 2018)

Kami sepakat mengadopsinya. Ia diizinkan tidur di rumah, makan, dan naik ke ranjang. Kami menamainya “Si Gandeng” karena selalu bersuara dalam keadaan apa pun: waktu makan, jika minta dibelai, bahkan jika saya datang tengah malam ia mengeong seraya bersiap menyambut di pintu.

Si Gandeng telah menjadi alarm yang lebih tepat dibanding weker. Tiap jam 5 pagi ia berbunyi, menggaruk pintu kamar, bahkan lari masuk ke dalam selimut mencari jempol kaki. Dia telah menjadi anggota keluarga kami yang ke-6.

Hanya sekali ia mencuri ikan dari meja makan. Setelah istri saya memarahinya, paling banter ia mengeong di kaki kami ketika makan malam. Ia tak berani lagi mengambil apa pun yang tak diberikan di piringnya. Saya tidak tahu apakah kucing mengerti bahasa manusia, sampai saya membaca buku ini: The Travelling Cat Chronicles.

Hiro Arikawa menjawab semua pertanyaan saya tentang kucing: tabiatnya, kesukaannya, cara mereka memandang manusia, dan kebiasaan-kebiasaannya. Travelling Cat adalah novel tentang persahabatan seorang pemuda dengan seekor kucing liar di Tokyo.

Related image

Di Book Depository, toko buku daring tanpa ongkos kirim, The Travelling Cat menjadi novel yang paling banyak direkomendasikan. Anasir-anasir buku ini memang menarik: diterbitkan oleh penerbit Inggris yang terkenal, Penguin; diterjemahkan Philip Gabriel yang membawa Haruki Murakami ke pentas sastra dunia; dan mendapat komentar dari pengulas The Guardian di sampulnya.

Travelling Cat adalah novel kedua Hiro yang pertama dialihbahasakan dari Jepang ke dalam Inggris dan langsung populer. Di Book Depository dan Good Read  ia mendapat rating 4,7 dari 5 oleh puluhan ribu pembaca. Nana, nama kucing yang menjadi tokoh utama novel ini, kini sama terkenalnya dengan Hachikō—anjing jantan yang setia menunggu tuannya, yang tak kunjung pulang karena meninggal, di Stasiun Shibuya pada 1920-an.

Satoru Miyawaki menemukan Nana yang tidur di kap mesin vannya suatu pagi dengan kaki patah. Lewat penceritaan Nana, kita tahu beberapa jam sebelumnya ia ditabrak sebuah mobil di sebuah persimpangan jalanan Tokyo yang padat. Kucing liar ini menemukan tempat berlindung yang nyaman di bawah mobil Satoru yang diparkir di apartemennya.

Keduanya langsung saja akrab. Satoru punya kenangan pahit dan manis bersama kucing. Sewaktu kecil ia punya Hachi, nama kucing yang merujuk pada tanda lahir angka delapan di kepalanya. Ia sangat menyangai Hachi hingga bersumpah tak akan lagi memelihara kucing ketika Hachi meninggal. Janji itu patah ketika ia bertemu Nana.

Nana berasal dari “na”, bahasa Jepang untuk angka tujuh. Satoru menamaninya begitu karena ekor Nana membentuk angka tujuh ketika duduk. Meski tak suka dengan nama itu karena dibanding-bandingkan dengan Hachi, Nana menyukai Satoru yang paham bagaimana merawat dan mencintai kucing.

Image result for the travelling cat chronicles
Hiro Arikawa

Kemesraan itu berakhir lima tahun kemudian. Satoru tiba-tiba mengatakan mereka harus berpisah. Ia berjanji mencarikan induk semang yang baik, yang bisa ia percaya, yang ia kenal, untuk merawat Nana. Kita dan Nana akan bertanya-tanya tentang motif di balik keputusan Satoru-san ini. Hiro-san tak terlalu jelas mengungkap alasan utama anak muda yang yatim-piatu sejak SD ini hendak menyerahkan kucing yang disayanginya kepada orang lain.

Sejak percakapan itu konflik dimulai, juga perjalanan panjang Satoru dan Nana menemukan orang yang tepat menjadi rumah baru kucing liar ini. Satoru mengontak teman-teman masa kecilnya agar mau merawat Nana dengan sepenuh cinta. Namun, tiga teman yang tinggal di lain-lain provinsi itu menolak dan tak bisa menjadi induk semang Nana dengan pelbagai alasan.

Kosuke, teman terbaik Satoru di SD, tak mendapat restu istrinya merawat Nana. Dulu, sebenarnya, Hachi adalah kucing Kosuke. Tapi karena ayahnya benci ada hewan di rumah, Hachi dirawat Satoru. Kosuke harus diam-diam mengunjungi rumah Satoru untuk bertemu Hachi. Kisah-kisah kilas balik tentang hubungan Satoru dan teman-temannya seperti ini mewarnai seluruh perjalanannya mengarungi sekujur Jepang bersama Nana. Dari Fukuoka di selatan hingga Hokkaido di utara.

Dalam perjalanan panjang itu pula kita akan tahu bagaimana orang Jepang memperlakukan kucing, bagaimana kultur mereka memandang hewan ini, juga hukum positif mengatur hewan peliharaan. Maka bagi penyuka kucing, novel ini menghibur karena Nana menjadi tokoh utamanya, sementara bagi yang tak suka kucing novel ini berfaedah karena menyimpan pengetahuan tentang cara pandang kucing terhadap manusia.

Bagi saya, Travelling Cat menyenangkan karena keduanya. Dulu saya tak peduli pada kucing, sampai melihat anak-anak saya begitu sayang pada hewan ini. Jika di jalan ketemu anak kucing, anak yang bungsu selalu memintanya agar kucing itu dibawa ke rumah dan dirawat. Ia selalu merengek punya kucing yang diizinkan tidur satu selimut.

Saya terhibur oleh cara Hiro-san bercerita. Tak ada pretensi, tak coba menggurui, atau sombong karena paham bagaimana merawat kucing. Ceritanya mengalir dengan plot yang sederhana dengan percakapan yang tak mentereng, dalam arti tak dibuat-buat agar mengesankan. Pembicaraan tentang kucing antara Satoru dan kawan-kawannya, juga konflik yang menyertainya terasa wajar dan alamiah.

Apalagi, di bab-bab terakhir, Hiro pelan-pelan mengungkap alasan utama Satoru berpisah dengan Nana, tanpa adegan dramatis yang berlebihan. Kesederhanaan cerita ini, saya kira, yang membuat kita fokus pada kejadian-kejadian di dalamnya yang ternyata mengharukan.

Keriangan Satoru, canda dan tawa bersama teman dan Nana, menyimpan kisah sedih yang mendalam. Seluruh pertahanan saya luruh ketika tahu apa yang menimpa Satoru, hingga penumpang sebelah di Garuda yang membawa kami ke Jayapura melirik ketika saya menelungkupkan buku itu ke wajah.

Si Gandeng

Pada akhirnya, meski bercerita tentang kucing, novel ini menjelaskan arti persahabatan dan kesetiaan. Satoru amat menyayangi Nana dengan tulus. Sebaliknya, Nana menjaga Satoru dan menghiburnya ketika ia sedih. Percakapan dalam bahasa berbeda menjadi tak penting ketika keduanya sudah saling memahami.

Jika rating maksimal sebuah buku bagus hanya lima, Travelling Cat layak mendapatkan enam. Agaknya Si Gandeng juga menyukai gambar sampul novel ini.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

One thought on “Persahabatan Manusia dan Kucing”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)