Ternyata,berbahasa Indonesia itu susah. Padahal, katanya, bahasa Indonesia paling mudah dipelajari.
BERBAHASA Indonesia itu susah, setidaknya jika membaca buku ini. Ivan Lanin, seorang Wikipediawan Indonesia dan munsyi di media sosial, menampar kita dengan menunjukkan kesalahan-kesalahan umum memakai bahasa persatuan ini.
Artinya, kita banyak keliru memakai bahasa untuk percakapan dan berkomunikasi. Ia mengungkap, kadang-kadang berusaha jenaka, kebiasaan-kebiasaan kita memakai bahasa asing, sehingga bahasa gado-gado menjadi hal jamak, padahal kamus sudah menyerap dan menyediakan padanan kata yang kita pakai itu secara lebih lokal.
Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris? (Ivan Lanin, 2018)
Masalahnya, apa yang lokal dan asing kini sudah lebur. Alif Danya Munsyi, atau terkenal dengan nama Remy Silado, sudah menguar bahwa “9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing”. Kata-kata lokal dalam bahasa Indonesia sebagian besar juga datang dari bahasa Sanskerta (India). Sementara bahasa Indonesia berakar dari bahasa Melayu Riau.
Maka bahasa Indonesia, agak berbeda dengan keyakinan Ivan, sesungguhnya bukan “bahasa ibu” kebanyakan kita. Saya baru agak sering memakai bahasa Indonesia dalam percakapan setelah SMA dan kuliah. Sebelumnya, saya berpikir dan berbicara dalam bahasa Sunda—bahasa ibu-bapak saya sejak lahir.
Tak heran jika bahasa Indonesia adalah bahasa yang susah dipraktikkan, dalam arti bahasa yang harus dipelajari secara sungguh-sungguh. Apalagi, seperti kita baca dalam buku ini, banyak kata serapan yang berasal dari bahasa Belanda, Arab, Portugis, yang sekarang jamak kita pakai. Kesulitan berbahasa itu juga berkat aturan-aturan yang berubah sejak 1960-an.
Sebelum 1980, bahasa Indonesia cenderung berkiblat kepada bahasa Belanda, baru kemudian mengacu ke bahasa Inggris. Maka kita bingung kata yang benar itu “diagnosa” atau “diagnosis”, “analisa” atau “analisis”, “praktek” atau “praktik”. Para pejabat bahkan masih menulis dan mengucapkan “merubah”, karena kisruh dengan “merobah” dan “perubahan”.
Tenang! Kesulitan-kesulitan itu segera kita tahu berkat uraian Ivan yang menunjukkan sejarah kata-kata tersebut, cara memakainya, dan usul-usul kata yang sudah jadi umum tapi belum diserap kamus. Hanya saja, Ivan kurang mengembangkan tulisan-tulisan dari blog ivan.lanin.org ini agar pembahasannya tuntas.
Ivan kurang masuk ke dalam sejarah pembentukan kata, perubahan-perubahannya, dan pedoman serapan serta padanan yang mungkin tersedia dalam bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Kesalahan-kesalahan kita berbahasa, barangkali, karena kita kurang mengenal sejarah dan pola pembentukan kata itu.
Ivan terlalu bersemangat menolak pembentukan kata asing yang terserap ke dalam bahasa percakapan. Ia lebih suka mencari padanan kata-kata tersebut dalam bahasa “lokal”—seperti “santai” yang dikenalkan wartawan Tempo Bur Rasuanto pada 1971 dari bahasa Komering untuk padanan “relax”. Ivan, misalnya, mencemaskan tak populernya “sangkil” dan “mangkus” sebagai padanan “efisien” dan “efektif” yang berasal dari bahasa Inggris.
Jika mengikuti Ivan, kita akan menulis seperti ini: “Persatuan Pengembang Lahan Yasan Indonesia sedang membangun konsep griya tawang dengan bustan dan adimarga yang luas”. Jika kurang paham, mari periksa “terjemahannya”: “Persatuan Pengembang Real Estate Indonesia sedang membangun kompleks perumahan dengan taman dan bulevar yang luas.” Pada kalimat “terjemahan”, kecuali “real estate” semua kata-kata tersebut sudah diserap ke dalam kamus bahasa Indonesia.
Bahasa adalah alat komunikasi yang maknanya disepakati secara bersama-sama oleh para penuturnya. Kita sepakat menamai ruang luas di atas bumi itu “langit”, sama halnya orang yang berbahasa Indo-Jerman, yaitu Inggris, sepakat menamainya “sky”. Maka diksi dan maknanya sangat tergantung pada kesepakatan-kesepakatan itu. Kamus mengukuhkannya.
Meskipun dalam kasus bahasa Indonesia kamus acap juga mengembangkan sebuah kata tak pada tempatnya. Misalnya, kata “tegar” yang berarti “kaku, kokoh, rigid”, berubah menjadi “tabah” karena pengaruh pemakaian bahasa percakapan oleh orang Jawa. Kata-kata memuai sesuai keinginan penuturnya.
“Canggih” yang awalnya berarti “cerewet” kini menjadi padanan untuk “sophisticated”. Jika kamus menyerap kesepakatan baru itu, kita akan kehilangan makna-makna lama sebuah kata. Nanti akan aneh jika kita bilang, “Kamu canggih banget.” Alih-alih kalimat itu sebagai nasihat, penerimanya akan memaknainya sebagai pujian. Padahal, maksudnya, “Tolong, dong, hargai pendapat orang lain.”
Tragedi pemuaian kata agak tragis pada kata “seronok”. Jika makna aslinya berarti “pas dan pantas”, di Indonesia kata ini diartikan justru “tak pas dan tak pantas”. Konon, kata ini dipakai pertama kali oleh wartawan pada awal 1980 untuk menggambarkan pakaian penyanyi dangdut. Sejak itu, pakaian terbuka dan vulgar diasosiasikan dengan “seronok”.
Kejadian-kejadian tragis dalam pemuaian kata itu menunjukkan orang Nusantara adalah komunitas yang sejak awal rileks dan lentur menyerap akulturasi bahasa ini. Nenek moyang kita selalu terbuka pada bahasa baru lalu memakainya dengan lentur dalam percakapan. 9 dari 10 kata dalam bahasa Indonesia adalah asing ialah buktinya. Saya kira, kekayaan bahasa Indonesia ada di sana.
Terlalu kaku terhadap kata-kata dari luar malah akan mempersempit ruang geraknya. Biarlah kata-kata asing ikut memperkaya khazanah bahasa kita.
Maka usaha Ivan memperkenalkan, membahas, dan menganalisis kata dan istilah asing agar terasa lebih lokal amat menggembirakan. Ivan dan para munsyi yang tak bosan mengingatkan pemakaian bahasa yang sesuai kaidah akan melanggengkan bahasa ini dan membantu para wartawan sebagai agen kata-kata memakai alat komunikasi ini secara efektif dan efisien, eh, cespleng dan sangkil.
Author: Bagja Hidayat
Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.
View all posts by Bagja Hidayat
Baik. Apakah benar berbahasa Indonesia itu sulit?