Wajah Baru Kapitalisme

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Kapitalisme berubah di era disrupsi teknologi. Transaksi ekonomi tak lagi soal pertukaran uang, tapi data.

TEKNOLOGI peranti lunak tak hanya menghajar sendi-sendi pokok bisnis konvensional, tapi mengubah sistem ekonomi secara keseluruhan. Seorang usahawan tak harus punya modal besar untuk merintis bisnis baru yang bisa menumbangkan para inkumben besar. “Bisnis kini sedang bergeser dari uang ke data,” tulis Viktor Mayer-Schönberger dan Thomas Ramge dalam Reinventing Capitalism in the Age of Big Data ini.

Reinventing Capitalism in the Age of Big Data (2018)

Maka yang diperlukan adalah bagaimana menguasai data konsumen, polah mereka saat bertransaksi, pengulangan-pengulangan saat bertukar informasi. Para inovator dan ahli ekonomi menyebutnya “big data” yang diproduksi oleh teknologi peranti lunak. Peranti yang lunak itu kini tengah mengubah wajah kapitalisme.

Di era big data, bank bukan lagi tulang punggung bisnis. Viktor dan Thomas menghitung pada 2020, jumlah bank akan berkurang 26 persen akibat transaksi yang berpindah secara digital di akun virtual. Di Swiss sejak 2005, tulis mereka, satu dari 10 bank tutup tiap tahun. Sebab para inovator yang merintis usaha itu juga tak datang ke bank untuk mendapat modal.

Para investor (angel investor) dengan suka cita menunggu inovasi-inovasi baru mereka dan menggelontorkan kapitalnya ke sana. Di Amerika, pusat modal telah bergeser dari Wall Street ke Silicon Valey. Dalam kurun 30 tahun hingga 2016, setidaknya 3.000 perusahaan yang terdaftar di Wall Street bangkrut.

Jargon kapitalisme yang mendorong orang bersaing untuk menjadi pemenang dan pemakan kue terbesar juga runtuh. Pieter Thiel, pemimpin Pay Pal Mafia—kelompok inovator usaha rintisan paling sukses di Amerika Serikat—membuat mantra baru bahwa bisnis yang berhasil adalah bisnis yang memainkan jurus monopoli.

Artinya, jika kita ingin berhasil memasarkan sebuah produk atau memediasi produsen dengan konsumen, cara terbaik jangan menantang bisnis yang sudah ada. Teori ekonomi menyebutnya “strategi samudera biru”, blue ocean strategy yang dikenalkan W. Chan Kim and Renée Mauborgne, dua profesor di sekolah bisnis INSEAD di Prancis, pada 2015.

Keduanya menekankan pada inovasi strategi yang tak membebek pada strategi yang sudah ada. Mereka menyarankan agar para inovator selalu menemukan cara baru berlayar ke samudera biru, meninggalkan samudera merah akibat persaingan ketat yang berdarah-darah antar para pemain bisnis di dalamnya. Artinya tak ada persaingan, semua bisnis adalah jenis usaha baru.

Maka bayangkan, tulis Thomas, ketika jumlah usaha naik akibat teknologi peranti lunak kian modern dan akses koneksi kian mudah, semestinya permintaan atas modal juga naik. Tapi di era big data, sangat sedikit perusahaan yang mengajukan modal ke bank. “Ketika modal yang tersedia banyak sementara tak ada yang memerlukannya, pengembalian investasi akan terjun bebas,” tulis mereka (halaman 143).

Tentu saja, Viktor dan Thomas tak melulu menyoroti fakta yang sudah terjadi. Dengan bahasa yang mudah dicerna keduanya menganalisis memetakan bisnis di masa depan, dengan gaya yang provokatif—mungkin pengaruh Thomas, wartawan bisnis The Economist.

Prediksi dan ramalannya tak jauh beda dengan para pemikir lain dari sekolah-sekolah bisnis ternama. Viktor, profesor di University of Oxford, Inggris, menyebut soal kecerdasan buatan yang akan mengendalikan ekonomi, bahkan hidup manusia, di masa mendatang.

Berbeda dengan ahli lain, Viktor dan Thomas cenderung lebih positif melihat perkembangan ini. Buat mereka mesin, peranti lunak, robot kelak menggantikan kerja manusia, sehingga kita punya banyak waktu memikirkan hal lain yang lebih produktif. Ekonomi akan bergerak lebih cepat dan efektif. Mesin dan manusia akan saling komplementer dalam pusaran itu.

Di masa mendatang mesin akan memaksa dan mendorong manusia lebih tangkas dalam menyesuaikan perkembangan teknologi yang kian cepat. Sebab bisnis baru yang mendisrupsi bisnis lama kelak menjadi inkumben yang terganggu oleh bisnis lebih baru lagi. Tanpa ketangkasan menghadapinya, kita akan tergilas bersamanya.

Sesungguhnya apa yang baru dalam sistem ekonomi ini tak benar-benar baru. Watak kapitalisme tetap sama, yakni serakah. “Serakah itu baik,” kata Gordon Gekko dalam film Wall Street (1987).

Milton Friedman dan Friedrich Hayek, para penganjur liberalisme dan kapitalisme, setuju bahwa pasar yang bebas, dalam arti makin surutnya peran pemerintah, akan mendorong keserakahan yang baik. Basis kapitalisme, kata mereka, adalah keserakahan yang baik itu.

Penguasaan data yang menggantikan uang dalam kapitalisme hari ini juga bertujuan sama, yakni menguasai hidup manusia—dengan lebih efektif.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

One thought on “Wajah Baru Kapitalisme”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)