Ratna Sarumpaet dan Otak yang Termakan Hoax

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Struktur otak manusia gampang dimanipulasi, bahkan senang dimanipulasi, sehingga mudah ditelikung kabar bohong.

KETIKA kebohongan Ratna Sarumpaet yang mengaku diserang dua lelaki secara brutal terbongkar, saya sedang membaca bab terakhir buku Thinking, Fast and Slow. Jadi ketika Prabowo Subianto dan para pendukungnya menggelar jumpa pers mengutuk serangan fisik kepada sutradara teater itu, pada 2 Oktober 2018, saya sudah melewati bab tentang priming effects.

Efek priming adalah respons otak atas segala informasi yang masuk ke dalam memori kita dan diolah secara cepat menjadi realitas. Jika logika kita menerima dan mengakui “berbohong” adalah “kejahatan”, karena begitulah nilai-nilai yang kita terima sejak kecil, demikianlah tata sosial terbentuk sampai ada yang membuktikan sebaliknya.

Thinking, Fast and Slow (Daniel Kahneman, 2012)

Daniel Kahneman, penulis buku ini, membagi otak kita ke dalam dua sistem: berpikir cepat dan peran otak yang lebih lambat. Otak yang cepat itu mengolah impresi, informasi awal,  secara otomatis dan cepat, bahkan tanpa upaya mengontrolnya. Karena itu otak cepat sering kali tak logis. Sebaliknya, otak lambat mengolah informasi dengan lebih skeptis.

Selama mata kita melek, sistem otak cepat dan lambat bekerja sama bergairahnya. Persoalannya otak lambat acap sibuk dan secara alamiah sering cepat lelah karena kerjanya lebih kompleks. Karena itu, ia bisa menolak informasi yang dikirimkan oleh otak cepat, alih-alih mengolahnya menjadi logika. Menurut Kahneman, jika info awal yang diserap otak cepat sangat terbatas, manusia cenderung akan langsung melompat kepada kesimpulan (jumping to conclusion)—Prabowo menyebutnya “grasa–grusu”.

Ia percaya begitu saja dengan keterangan Ratna, tanpa berusaha mengeceknya lebih jauh. Misalnya, yang paling sederhana, bertanya kepada dokter yang merawat Ratna. Sebab, hanya dokter itu yang tersisa sebagai saksi dan bisa dijangkau dibanding “saksi-saksi” lain yang konon ada di Bandung (sopir taksi), atau dua warga negara asing (yang menjadi “pembicara” di seminar yang diikuti Ratna).

Belum lagi tiap manusia punya kecenderungan pada bias WYSIAT—kependekan dari What you see is all there is atau percaya hanya kepada info yang kita punya. Kita memutuskan sesuatu dan bertindak karena hanya info itu yang tersedia dan kita punya sebagai dasar membuat keputusan tersebut. Kita bias atau lupa pada pertanyaan, “apa yang tidak saya tahu?” Bias inilah yang mendorong efek priming dan grasagrasa itu.

Dalam hal Prabowo, kelihatannya, efek priming itu juga terpengaruh oleh affinity fraud (tipuan afinitas)—ketertarikan atau simpati karena kesamaan kepentingan.

Sehingga ketika ia berbicara dengan perempuan 69 tahun itu untuk mengkonfirmasi kebenaran info penganiayaan tersebut yang beredar di media sosial, ia langsung percaya. Kita bisa heran, mengapa seorang jenderal dan banyak politikus yang hadir dalam pertemuan dengan Ratna itu, percaya begitu saja pada omongannya.

Mungkin terpengaruh referensi. Ratna terkenal sebagai aktivis penentang Orde Baru, pertunjukan teaternya acap dilarang tentara. Ketika ia berbicara kepada jenderal yang dulu ia kritik, tentu ia tak datang dengan kebohongan. Tapi soal referensi bisa kita abaikan karena kita tak tahu apa yang ada di pikiran Prabowo, juga niat di belakang para politikus pendukungnya sewaktu mendengar cerita Ratna. Soal afinitas itu yang bisa diverifikasi.

Ratna adalah juru kampanye tim pemenangan Prabowo sebagai calon presiden. Kepentingan mereka sama, yakni mengalahkan calon presiden inkumben, Joko Widodo. Penganiayaan terhadap Ratna tentu bisa “digoreng” untuk menggoyang Jokowi. Dua realitas yang sebetulnya terpisah menjadi bisa bersinggungan jika dibuatkan penghubung yang masuk akal.

Segera setelah berita “penganiayaan” itu tersiar, setidaknya ada demo 15 orang di depan Polda Metro Jaya menuntut polisi menangkap pelaku penganiayaan itu. Juga ajakan demonstrasi dari para tokoh pendukung Prabowo dan selebaran yang tak jadi diedarkan tentang solidaritas demokrasi. Penganiayaan terhadap Ratna diamplifikasi sebagai serangan terhadap kebebasan berpendapat, karena Ratna aktif mengkritik pemerintahan Jokowi.

Demo itu tak jadi digelar meski selebarannya sudah dicetak. Penyelidikan polisi dan media mengungkap banyak kejanggalan atas pengakuan Ratna yang disebarkan tim Prabowo itu. Misalnya, sinyal telepon Ratna pada hari penganiayaan di Bandung terpantau berada di Jakarta. Yang paling telak adalah tak ada penerbangan malam dari Bandung ke Jakarta.

Setelah dua hari membuat Indonesia gempar, akhirnya Ratna Sarumpaet mengaku telah berbohong dengan mengarang cerita dianiaya. Sebenarnya foto wajah rusak yang beredar di media sosial itu adalah ulah dokter bedah yang mengeluarkan lemak di pipinya dalam sebuah operasi plastik.

Efek priming dan ilusi afinitas dekat dengan apa yang disebut bias konfirmasi. Ini tipuan kognitif dalam otak yang mendorong kita tak percaya kepada sebuah informasi karena tak menyukainya. Contoh terbaik bias konfirmasi adalah ketika mantan Menteri Informasi Tifatul Sembiring menyebar foto mayat bergelimpangan yang disebutnya jenazah muslim Rohingya di Myanmar karena diusir kelompok agama lain yang mayoritas.

Image result for cuitan tifatul sembiring rohingya
Cuitan Tifatul Sembiring di Twitter

Tifatul terkena bias konfirmasi karena begitu saja percaya dengan keterangan foto tersebut, yang dibuat oleh entah siapa di Internet, karena mendukung pernyataannya bahwa umat Muslim acap dianiaya. Foto itu mengkonfirmasi keyakinannya bahwa orang Islam sering tertindas. Padahal, foto itu adalah korban pertikaian antar suku di Thailand beberapa tahun sebelum konflik Myanmar.

Di buku lain, The Death of Expertise, Tom Nichols menjelaskan bahwa bias konfirmasi dan afinitas dipengaruhi oleh preferensi, keyakinan, kepercayaan, iman, bahkan pilihan politik. Kasus di sekitar kebohongan Ratna Sarumpaet menunjukkan dengan gamblang soal itu. Di Twitter, pendukung Jokowi tak percaya Ratna dipukuli dan mengecek kebenarannya dengan melacak cuitan Ratna di sekitar hari penganiayaan. Sebaliknya Prabowo dan para pendukungnya langsung percaya tanpa mengecek pengakuan itu. Coba kita simak sahut-sahutan di akun ini:

Saling ejek pendukung calon presiden.
Logika Jusuf Kalla.

Efek priming, ilusi afinitas, dan bias konfirmasi, bisa menjangkiti siapa saja karena otak kita memang cenderung mudah dimanipulasi. Daniel Kahneman, dalam buku yang laris ini, membedah penelitiannya sejak 1970-an untuk membuktikan tesisnya soal cara kerja otak yang cepat dan lambat itu. Ia psikolog, tapi meraih Nobel Ekonomi pada 2002 karena membuat teori keputusan investasi melalui cara pikir manusia, yang cenderung percaya info selintas, bukan angka-angka statistik berbasis penelitian.

Karena sifat otak manusia yang mudah dimanipulasi itu, kita mudah termakan kabar bohong. Kita akan percaya pada berita itu sepanjang informasinya kita suka. Kesukaan itu bisa datang dari mana-mana, seperti disebut Tom Nichols: agama, pilihan politik, dll. Sebaliknya, kita tak segera percaya jika informasi yang datang itu tak kita suka karena, misalnya, tak sesuai dengan iman dan nilai-nilai yang kita anut.

Pada orang pertama, pengolahan informasi hanya berhenti di otak cepat. Preferensi mematikan kerja otak lambat yang seharusnya mengolah info itu lebih jauh. Pada orang kedua, sistem otak lambat berfungsi lebih baik karena sejak awal ia tak percaya kabar tersebut. Bias konfirmasi kemudian memainkan peran atas pengolahan informasi yang hasilnya bisa mengukuhkan atau mengubah tingkat keyakinannya.

Dengan prinsip itu pula psikolog Joseph Goebbels yang menjadi Menteri Propaganda Nazi, dulu punya mantra bahwa “kebohongan yang diulang-ulang akan menjadi kebenaran.” Kita tahu kabar itu bohong, tapi pengetahuan dan keyakinan itu runtuh karena otak cepat dan lambat terus distimulasi oleh informasi yang tidak benar tersebut.

Untuk membuktikan teori efek priming, Kahneman melakukan percobaan kepada mahasiswanya dengan meminta mereka memadankan EAT dan WASH dengan SO_P. Pada EAT, para mahasiswa mengisikan huruf U untuk melengkapi kata itu, sedangkan pada WASH, mereka mengisinya dengan huruf A. Demikianlah logika manusia bekerja: EAT pasti berpadanan dengan SOUP, sementara WASH terasosiasi pada SOAP. Informasi ini bisa berubah jika otak kita terus menerus dibombardir dengan informasi bahwa makan itu pakai sabun, dan mencuci memakai kuah sop.

Pelajaran dari membaca buku Kahneman, juga Nichols, adalah kita bisa lebih paham bagaimana otak manusia bekerja. Jika kita ingin memfungsikan otak sesuai peran alamiahnya, kita perlu memelihara sikap kuriositas dan skeptis—selalu penasaran seraya terus ragu-ragu dan curiga pada setiap informasi. Apalagi di zaman Internet dan media sosial, dan kelak kecerdasan buatan, ketika kabar palsu gampang diproduksi dengan meyakinkan dan disebarkan secepat kilatan cahaya.

Tidak gampang percaya bisa merangsang otak lambat kita bekerja lebih keras. Selalu ragu dan curiga mendorong kita untuk senantiasa menguji secara terus menerus informasi yang kita terima, bahkan sikap dan iman kita terhadap sesuatu, meskipun terlalu curious dan skeptis bisa bikin kita jadi orang yang menjengkelkan.

Kuncinya adalah tidak berlebih-lebihan. Fanatisme, pada apa pun, membuat pikiran jadi cupet karena otak lambat tak difungsikan dengan semestinya. Otak manusia memang didesain gampang termanipulasi, maka memahami dan mengerti cara kerjanya, membuat kita akan waspada agar tak celaka.

Selesai membaca Thinking, Fast and Slow, otak saya kenyang. Ini jenis buku yang tidak bisa dibaca cepat. Setiap kata, setiap frase, mengandung informasi yang kait-mengait. Kahneman adalah penyihir kata-kata. Ia bisa memaksa kita langsung mempraktikkan apa yang ia tulis: memadu-padankan otak cepat dan lambat selama menyerap segala informasi yang ada dalam bukunya ini.

Mudah-mudahan penilaian atas buku ini bukan jumping to conclusion, apalagi terpapar bias konfirmasi…

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

7 thoughts on “Ratna Sarumpaet dan Otak yang Termakan Hoax”

  1. Mas Bagja, tidak gampang percaya itu sifat genetis ga ya….. Atau skill yg bisa dibentuk serta dilatih?….

    No fanatisme saya sepakat…. Tp kd gimana ya saya kok kyk ga bs nutupin kalo sukaaaa bnget sama sesuatu walau trus mencoba balance karena inget bhw yg dianggap paling bagus sekalipun ada kekurangan, yg dipandang paling jelek sekalipun ada manfaatnya.

    1. IMHO, bisa dilatih dengan meluaskan wawasan dan pandangan. Para wartawan tiap detik dilatih untuk skeptis dan curious, karena itu modal dasarnya. Lama-lama terbiasa. Suka sih boleh saja, tapi yang terlatih skeptis akan menyisakan ruang tidak suka.

  2. Pingback: KISAH PEMIJAT BUTA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)