Makin jarang orang menulis surat pembaca. Rubrik ini bisa jadi cermin disrupsi di media massa.
SEBAGAI penjaga rubrik Surat Pembaca di sebuah
media konvensional, saya tertatih-tatih mendapatkan surat-surat yang bermutu, surat-surat yang berisi pandangan personal tentang sebuah masalah. Surat pembaca yang masuk ke email redaksi kian sedikit dari tahun ke tahun.
Surat-surat yang masuk ke email redaksi atau dikirim via surat cetak umumnya keluhan-keluhan. Urusan pulsa terpotong, soal kartu ATM tertelan mesin, soal teror kartu kredit, dll. Tak ada lagi surat-surat yang berkomentar atas sebuah peristiwa dari kacamata pembaca yang awam atau kisah personal yang menginspirasi. Padahal, membaca surat seperti itu menyenangkan. Rubrik Surat sebetulnya semacam kolom “jurnalisme warga”.
Misalnya, dulu ada pustakawan yang meminta sumbangan buku untuk ia bawa keliling ke desa-desa, menyebarkan pengetahuan kepada anak-anak kampung yang tak bisa menjangkau toko buku dan perpustakaan. Atau seorang Ibu yang berterima kasih kepada seorang wartawan yang menulis pengobatan kanker di laut Aceh setelah tsunami sehingga ia bisa menemui dokter itu dan sembuh.
Rubrik Surat di media juga bisa jadi bahan sebuah liputan investigasi yang panjang. Kami dulu membongkar akal-akalan biaya admin listrik bermula dari acap membaca keluhan pelanggan listrik yang keberatan dengan biaya admin tiap kali membayar tagihan di ATM pada halaman Surat Pembaca koran. Pertanyaanya sederhana: jika membayar telepon rumah tak dipungut biaya admin, mengapa jika membayar listrik ada biaya admin? Siapa yang memungut? Ke mana uangnya? Mengapa biaya ini tak dibahas di DPR? Pertanyaan-pertanyaan ini membawa ke sejumlah narasumber yang paham bagaimana seluk beluk permainan biaya admin yang nilainya Rp 2.000 per transaksi x 40 juta pelanggan.
Sebuah pepatah mengatakan surat pembaca di media adalah cermin dari media tersebut. Saya kira benar. Surat pembaca, bagaimana pun, adalah lembar interaksi pembaca dengan media. Di majalah rubrik Surat digolongkan ke dalam “stopper“–rubrik pengantar sebelum pembaca memasuki materi-materi yang lebih berat. Dalam sebuah survei, Surat memang diminati pembaca karena menjadi rubrik yang paling banyak dibaca setelah Laporan Utama.
Jika tak ada lagi surat dari pembaca yang tergugah oleh sebuah berita, mungkin tak ada lagi orang yang membaca berita-berita di dalamnya. Tentu saja ini kesimpulan yang tak punya landasan empiris. Ketiadaan surat pembaca mungkin bukan karena media kehilangan pembaca, tapi bisa jadi karena pembaca punya saluran lain dalam menyuarakan
pendapatnya. Media sosial, blog, atau perangkat lain yang memakai Internet kini jauh lebih praktis, masif, dan cepat dalam menyuarakan opini kepada khalayak.
Sebetulnya, saya menuliskan artikel ini karena kehilangan surat-surat yang berusaha membentuk opini publik, yang mungkin ditulis oleh para agen intelijen. Sebelum 2010, yaitu sebelum kita sibuk di media sosial, email redaksi dipenuhi oleh surat-surat semacam ini. Surat-surat tersebut dikirim dari alamat email yang berbeda, nama dan alamat domisili yang berbeda, tapi menyuarakan isu yang sama dan seragam. Bahkan ada beberapa email yang isinya sama persis hingga titik-koma.
Isunya tak lepas dari urusan-urusan pertahanan. Sewaktu Munir Said Thalib, aktivis pembela hak asasi manusia itu,
tewas dan beberapa tahun setelahnya, banyak sekali surat-surat yang membahas soal dia. Tidak terlalu membela tetapi lebih menyuarakan soal kepentingan negara bahwa bela negara jauh lebih penting dibanding urusan HAM. Atau soal
Aceh dan Papua, soal pentingnya semangat menjaga persatuan dalam bingkai NKRI.
Surat lain berupa opini atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Umumnya membela kepentingan rezim yang berkuasa
dengan berusaha menjelaskan konteks dan kepentingan di balik program-program tersebut. Kelihatannya pengirimnya paham struktur di media, karena dalam pengantarnya mereka meminta tulisan tersebut dimuat di rubrik Surat, bukan
halaman Opini atau Kolom. Mereka tahu, opini dan kolom punya kriteria lebih ketat dibanding rubrik Surat.
Kini surat-surat tersebut tak ada lagi. Saya lihat suara semacam itu pindah ke media sosial. Status-status Facebook atau Twitter atau blog berisi semacam pendapat-pendapat yang membela atau menentang opini yang berkembang dalam sebuah isu yang heboh. Bahkan sering kali isu-isu yang kontroversial disebarkan oleh sebuah akun, tapi akun tersebut
ternyata tak bisa diakses di mana pun.
Sebetulnya ini tema yang menarik untuk dibahas dalam skripsi mahasiswa jurnalistik bagaimana media berubah di era disrupsi dilihat dari kolom surat pembaca. Sehingga tema skripsi tak berputar di tema “analysis framing” yang diulang tiap tahun. Tiap kali ada mahasiswa yang minta wawancara untuk skripsi, temanya selalu soal ini.
Mereka datang ke redaksi dengan asumsi-asumsi sehingga yang terjadi bukan konfirmasi atau mencari pengetahuan melainkan pemaksaan hipotesis yang dikutip dari buku-buku teks. Jika sudah begitu, saya sering kali meminta mereka untuk ikut saja ke dalam rapat redaksi sehingga bisa
menyimpulkan sendiri apakah asumsi-asumsi framing
dalam sebuah berita itu benar belaka.
Soalnya, sebuah berita di majalah yang terbit mingguan tak muncul dari ruang hampa. Sebuah berita lahir dari perdebatan dan tukar pikiran para anggota redaksi dan punya proses yang panjang: rapat, liputan, rapat lagi, penulisan, penyuntingan. Sehingga jawaban atas pertanyaan, ada framing apa di balik sebuah berita, bukan sesuatu yang tunggal. Para kritikus media menjadikan kata “framing” yang netral menjadi negatif
karena mengandung pengertian para wartawan tak berpandangan luas dalam melihat sebuah masalah.
Kritik tersebut tentu saja benar belaka. Wartawan tidak punya kekuasaan memaksa narasumber berbicara, apa yang mereka
sajikan terbatas pada fakta yang mereka dapatkan sebelum tenggat. Karena itu selalu ada berita lanjutan (follow–up) yang semata-mata usaha para juru warta agar pembaca mendapat gambaran utuh dari sebuah peristiwa.
Tapi sering kali para mahasiswa ini sibuk. Mereka hanya punya waktu setengah jam untuk mengkonfirmasi seluruh asumsi itu dalam wawancara yang kaku. Sehingga alih-alih mendapat perspektif yang luas tentang cara kerja media massa, argumen dan kesimpulan yang dibangun menjadi
sekadar selayang pandang.
Maka menganalisis interaksi media dengan pembaca melalui kolom Surat menjadi menarik dan penting. Setidaknya skripsi itu jadi berguna buat para pengelola media karena analisis-analisisnya bisa jadi pijakan mengelola media ke depan. Bukankah, pasal pertama jurnalistik adalah tahu apa yang ingin pembaca tahu?
Hilangnya surat-surat yang seragam tersebut juga mencerminkan bahwa media massa konvensional tak dianggap lagi pembentuk opini publik. Otoritas yang berlangsung dua abad itu runtuh. Kini opini publik terbentuk oleh percakapan di media sosial. Mereka yang lemah iman dalam mempercayai sesuatu akan terpengaruh oleh suara kerumunan yang lebih banyak, terseret arus opini mayoritas, terbawa pendapat yang paling kuat berteriak.
Bisa juga karena media sosial mendisrupsi prosedur di media konvensional yang punya editor dan tak bisa langsung tayang.
Sementara media sosial lebih instan dan interaktif dan mudah dihapus jika di kemudian hari status atau opini itu menuai masalah.
Kini surat-surat yang masuk ke redaksi, jika dilihat dari KTP dan kartu identitas lain yang disertakan, biasanya ditulis
oleh para orang tua, generasi yang tak terlalu akrab dengan gadget. Mereka masih membaca berita di media cetak lalu bereaksi atas berita-berita yang mereka cerna itu lewat surat
kepada redaksi.
Di dunia media ada istilah “epistoholik”, yang dibuat majalah Time pada 1992 untuk menyebut orang-orang yang keranjingan menulis surat pembaca. Istilah itu untuk menyebut orang-orang seperti Anthony Parakal dari India yang hampir tiap hari mengirim surat kepada media. Di Indonesia juga ada perkumpulannya, yang inisiatifnya datang dari Bambang Haryanto.
Bagi mereka, menulis surat pembaca itu sama saja dengan menulis kolom, sebagai terapi otak agar terus berpikir sehingga tak cepat pikun. Banyak penelitian terhadap para epistoholik yang membuktikan bahwa mereka lebih sehat secara mental dan bugar secara fisik karena otaknya dilatih
setiap hari merumuskan masalah, membuat argumen, dan membangun opini melalui surat-surat.
Kini para epistoholik itu sudah jarang menulis surat pembaca lagi. Paling tidak surat mereka tak lagi dikirim ke meja redaksi. Mungkin mereka mengunggahnya sebagai status di media sosial atau ditayangkan di blog yang lebih bebas karena tak perlu meja editor.
Barangkali benar, ini zamannya senjakala media di era perubahan orang membaca berita, yang terlihat dari memudarnya rubrik Surat Pembaca…
Mencerahkan sekali postingnya.
Halo, Rin. Apa kabar?
Mau nulis surat pembaca, ah. Dulu pernah. Malah masih mahasiswa. Dimuat di Tempo tahun 1983-an, begitu. Waktu itu agak kecewa dengan Putu Wijaya karena sering libatkan selebritas dunia lain (bintang film, pelawak yang sedang naik daun, penyanyi, dll) dalam pementasan dramanya.
ayo, kirim, pak. kenapa kecewa?