Film biopic Queen ini terlalu banyak merangkum hal ihwal. Bahkan tak ada penjelasan soal proses penciptaan lagu Bohemian Rhapsody.
BAGI orang cerewet dan lemah iman, menonton Bohemian Rhapsody seperti menghadapi makanan satu meja penuh yang nikmat dan lezat tapi hanya prototipe. Penonton cerewet ini tahu makanan itu enak tapi ia tak bisa melahapnya, hanya bisa icip-icip.
Apalagi, penonton yang cerewet itu sedikit paham bagaimana menikmati masakan, cara mengunyah untuk tiap-tiap jenis makanan, mengerti sedikit bagaimana seharusnya sebuah cerita. Menurut pengetahuannya yang entah datang dari mana, cerita yang menarik itu jika ringkas dan jelas—tak masalah panjang atau pendek—tapi ringkas menjelaskan, jelas meringkaskan pokok pikiran. Cerita yang ringkas dan jelas hanya terjadi jika ditopang oleh angle yang kuat.
Menurut penonton yang cerewet ini, unsur-unsur itu kurang tersaji dalam film biografi band rock Inggris terbesar tahun 1970-an ini: Queen. Dia tak bisa menangkap fokus film sepanjang 2,1 jam ini, kecuali rangkuman perjalanan Queen, terutama vokalisnya, Freddie Mercury, menjadi orang terkenal hingga kolaps dihajar virus AIDS dan meninggal tahun 1991.
Sebelum membeli karcis, penonton cerewet ini berharap akan menikmati cerita proses lahirnya lagu Bohemian Rhapsody yang dahsyat itu. Bagaimana Freddie memasukkan kata-kata aneh ke dalam lirik lagu panjang yang operatik ini? Dari mana idenya? Mengapa dinamai Bohemian? Apakah kejadian politik tahun 1970-an turut mempengaruhi penciptaan lagu ini?
Freddie (nama aslinya Farroukh Bulsara karena orang tuanya imigran India keturunan Persia) tak pernah mengungkap makna di balik lirik Bohemian, bahkan kepada Brian May, gitaris Queen. Tapi analisis-analisis terhadap lagu ini banyak sekali. Kata Mamma Mia yang acap muncul dalam lirik lagunya bukan mengacu kepada ibunya, melainkan Mary Austin, kekasih abadi Freddie.
Bahwa di sekelilingnya ada banyak cerita lain tentang faset-faset perjalanan Queen, penonton cerewet itu akan mafhum belaka sepanjang ceritanya masih saling berhubungan. Cerita-cerita lain menopang pokok itu sehingga kita melihat sebuah pohon Queen yang rimbun, banyak dahan, dengan akar yang kuat.
Bohemian Rhapsody merangkum banyak hal penting dalam perjalanan Queen karena itu setiap faset hanya ditampilkan sekilas dan selayang pandang. Seperti dirasakan penonton cerewet itu, Bohemian Rhapsody seperti puzzle yang coba disusun sutradaranya, tapi penonton tahu setiap puzzle juga mengandung cerita yang seru.
Bukan karena penonton sudah tahu secara lengkap biografi Queen, tapi pengetahuan itu berasal dari cerita yang dibangun sutradara itu sendiri dalam film ini. Sutradara itu hanya memancing tapi tak menyelesaikan pancingannya sampai tuntas.
Misalnya, Freddie bilang lagu “Love of My Life” ditujukan untuk Mary, tapi kita tak melihat reaksi Mary sepanjang film atas lagu ini. Apakah ia tahu lagu itu untuknya? Jika tidak, atau sutradaranya merasa tak perlu memberitahu Mary tahu, untuk apa ada percakapan soal lagu itu. Secara faktual, Mary mungkin tak tahu, tapi waktu yang berharga itu mestinya dipakai untuk menjelaskan hal lain.
Bohemian Rhapsody hanya diceritakan pada bagaimana Queen berselisih dengan produser yang telah membiayai proses rekaman termahal sepanjang sejarah itu, bukan soal kelahiran lagunya di studio terpencil di Wales Selatan. Apakah inspirasi lagu itu didapat Freddie begitu saja tanpa kejadian-kejadian penting di sekitarnya?
Cerita-cerita pengkhianatan orang-orang terdekat Freddie Mercury juga tak tergarap dengan detail sebagai bahan bakar yang segar di balik konflik pecahnya Queen. Deskripsi pengkhianatan hanya tergambar dari pertengkaran Freddie dengan asisten yang jadi pacar cowoknya di teras yang dingin, saat hujan.
Serba sedikit, konfliknya tak terlalu pelik. Faset-faset perjalanan Queen dan riwayat Freddie ingin dirangkum dalam sebuah cerita besar sehingga jatuh pada kumpulan puzzle. Menonton Bohemian seperti membaca kolom yang hanya berisi statement, bukan rangkaian pendapat yang utuh, informasi solid yang ditopang data, argumen, dan narasi yang lincah dan segar.
Problem para penulis cerita adalah menghadapi sekian banyak cabang kisah. Mau tak mau ia harus memilih konflik, memilih klimaks, menemukan satu pokok yang bisa menjadi benang merah atas keseluruhan cerita itu. Kata Budi Darma, biasanya para pencerita memulai proses kreatifnya dari tengah, dari temuan klimaks itu, lalu mencari awal dan menemukan akhir.
Pada Bohemian Rhapsody, puncak-puncak cerita itu terlihat banyak, tapi tak menjulang sebagai klimaks paling klimaks. Maka puncak-puncak itu berada di titik yang sama, sehingga ketika dideretkan, ia membentuk garis mendatar, garis yang tanpa resonansi.
Betapa pun Bohemian Rhapsody diambil dari kisah nyata, ia tetap harus punya fokus karena kita menikmati film tentang kisah hidup seseorang. Barangkali di sini pula problem karya kreatif yang mengadopsi kisah nyata. Pada kisah yang faktual, drama sering kali bisa dihadapi dengan santai, problem bisa diselesaikan sambil memikirkan problem lain.
Pada film, sebagai karya kreatif, drama itu harus menyentuh sebagai fokus. Jika film hanya menganggit fakta, yang ditopang oleh jutaan fakta lain yang berhubungan atau tak berhubungan, ia akan jadi seperti laut yang tak beriak, seperti danau yang tenang, seperti garis dengan puncak-puncak klimaks yang sama.
Sebab film kreatif tak seperti dokumenter. BBC Three pernah mengulas Bohemian Rhapsody dalam dokumenter. Yang tersaji di sana adalah informasi, bukan drama, karena demikianlah hakikatnya. BBC melulu mengejar fakta mencari informasi yang tersembunyi dalam narasi-narasinya. Jika sebuah dokumenter bisa menyentuh dengan sajian yang faktual, ia menjadi bonus bagi para pembaca.
Jika unsur-unsur penopang kisah tentang Queen itu terasa kurang, gigi Freddie malah berlebihan. Rekayasa gigi seri Rami Malek terlalu tonggos dan besar sehingga penonton yang cerewet akan heran dengan gigi yang tak muat di mulutnya itu Freddie masih bisa menyanyi rap dan mengucapkan kata-kata yang sulit.
Pendeknya narasi film ini kekurangan puitik, karena yang tampil melulu prosa dan cerita yang dipadatkan. Tapi di luar semua itu, ia layak ditonton. Rekayasa panggung membuat kita seperti melihat ulang konser-konser Queen. Kita juga akan tahu bagaimana Queen dibangun oleh anak-anak muda sekolahan dari bar dan pentas kecil di London.
Percakapan paling menarik adalah ketika Queen bertemu John Reid, produser yang kelak mengorbitkan album mereka.
“So, jadi apa yang membedakan Queen dengan band rock lain?”
“Begini, Pak Reid,” kata Freddie. “Kami berempat awalnya tak saling kenal. Lalu kami main musik bersama untuk penonton yang banyak. Sekarang kami milik mereka.”
Freddie tahu kepada siapa ia berbicara. Alih-alih menunjukkan kemampuan Queen bermain musik, ia langsung omong soal pasar. Sejarah mereka telah membuktikannya…
Foto: vox.com
Bohemian Rhapsody memang terasa mengecewakan bagi para die hard, tapi memuaskan jika digunakan sbg media bahkan propaganda bagi anak2 mereka (generasi muda) tentang dahsyatnya atmosfir musik era 60 – 80an.
https://posmusica.wordpress.com/2018/11/04/freddie-mercury-michael-jackson/
Terima kasih sudah mampir. Angle tulisan yang menarik ?