Islam teologis vs Islam historis menjadi kajian hangat para ahli Islam revisionis, terutama para sarjana Barat. Mereka melacak sejarah Islam dari sumber-sumber nonMuslim–mereka yang ditaklukkan.
UMAT Islam paham belaka Nabi Muhammad lahir pada 12 Rabiulawal Tahun Gajah di Mekah. Dalam kalender Masehi, tanggal tersebut jatuh pada 22 April 570. Tanggal kelahiran Nabi pada kalender Islam tersebut selalu diperingati dengan maulid.
Tahun Gajah itu merujuk pada surat ke-105 dalam Al-Quran, yang diberi nama Al-Fil (Gajah). Surat yang terdiri atas lima ayat itu menggambarkan gagalnya serbuan 60 ribu tentara Raja Abrahah dari Yaman bersama 13 gajah yang hendak merebut Mekah.
Syahdan, Raja Abrahah hendak menjadikan katedralnya pusat ziarah orang Arab. Namun katedral itu kalah populer dibanding Ka’bah, yang masih dihuni banyak berhala. Untuk mewujudkan ambisinya itu, Abrahah menyerang Mekah untuk menghancurkannya.
Ayat terakhir Al-Fil menggambarkan kehancuran tentara Abrahah itu dengan alegori yang memikat: para tentara remuk seperti jerami akibat dihunjam dengan batu yang dilemparkan burung-burung ababil. Burung-burung tersebut datang begitu saja menghadang para tentara yang masif itu.
Bagi umat Islam, peristiwa ini menjadi euforia dan dikenang sebagai terlibatnya Tuhan dalam upaya menjaga rumah suci dengan menghadirkan ratusan burung tanpa diduga-duga. Sekitar 50 hari setelah serangan itu, Muhammad lahir.
Para penelaah Islam, terutama para sarjana Barat, melacak kebenaran cerita itu dengan meneliti manuskrip-manuskrip kuno di sekitar hari kelahiran Nabi. Sebab, biografi Muhammad paling awal ditulis Ibnu Ishaq pada 767, seratus tahun setelah Nabi wafat. Itu pun kitab yang sampai kepada kita hari ini sudah disunting Ibnu Hisyam pada 834.
Hasilnya adalah temuan yang mencengangkan, sebagaimana dicatat Mun’im Sirry dalam buku ini, Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal. Dosen University of Notre Dame, Amerika Serikat, asal Madura ini mengutip tulisan prasasti di sumur Muraighan di Yaman yang mencatat serangan Abrahah itu terjadi pada 552. Catatan ini dikonfirmasi oleh kronik Yunani yang ditulis Prokopios bahwa serbuan tentara gajah terjadi pada tahun itu.
Artinya, isi catatan Quran dan prasasti tentang Tahun Gajah itu terjadi 20 tahun sebelum Nabi lahir. Mun’im menduga, karena tak ada catatan autentik tentang kelahiran Nabi, para mufasir mendekatkannya pada sebuah kejadian yang mengandung mukjizat yang diingat secara kolektif oleh pengikutnya.
Bukan hanya soal tahun kelahiran Muhammad yang tak terkonfirmasi oleh catatan lain, Mun’im bahkan ragu akan adanya serangan pasukan gajah. Daerah terdekat yang memiliki gajah dan tradisi membawanya dalam perang hanya ada di Persia. Mun’im menduga bunyi surat Al-Fil adalah tafsir para mufasir untuk mendekatkan pada kelahiran Nabi karena gambarannya yang menakjubkan. Sebab, surat Al-Fil sebenarnya tak merujuk pada peristiwa tertentu di Mekah.
Menurut Mun’im, pelacakan-pelacakan sejarah Islam dari catatan yang bukan arus utama itu kini sedang menghangat di kalangan sarjana Barat. Kajian yang dimulai pada akhir abad ke-19 itu populer pada pertengahan 1970, lalu mencapai masa keemasan pada saat sekarang. Kajian tentang Islam, Quran, dan Muhammad mulai diteliti dari kitab-kitab nonmuslim, karena kitab-kitab yang disusun para ulama Islam terbit dua-tiga abad setelah era Nabi.
Mereka yang mengkaji Islam dari sumber non-Islam itu disebut para revisionis. Sebab, kata Mun’im, sejarah Islam yang sampai kepada kita hari ini bersumber dari sudut pandang penaklukan, penyebaran Islam dengan mengakuisisi wilayah-wilayah Kristen, Yahudi, atau umat penyembah berhala.
Kajian-kajian dari perspektif korban, atau sudut pandang mereka yang ditaklukkan, tersebut menjadi menyegarkan, keluar dari cerita yang biasanya diterima-begitu-saja oleh umat muslim. Mun’im merangkum sejumlah kajian tersebut melalui buku ini dengan gaya provokatif-apologetik. Ia sadar kesimpulan-kesimpulan dalam buku ini bisa memantik kontroversi akibat bekunya kajian sejarah Islam dari sarjana muslim selama beradab-abad.
Selain keraguan akan catatan kelahiran Nabi Muhammad, banyak kajian yang mengguncang pengetahuan umum yang diwariskan secara turun-temurun sehingga seolah-olah menjadi kebenaran. Mun’im, misalnya, menulis bahwa azab terhadap umat Nabi Luth tak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Menurut dia, banyak ulama besar yang karyanya kita ikuti hari ini adalah homoseksual. Syihabuddin Ahmad al-Tifasyi menerbitkan sebuah risalah lengkap tentang ulama-ulama homoseksual pada 1253. Bahkan Abu Nuwas mengakui sendiri ia menyukai seorang laki-laki. Mun’im lalu kembali ke Al-Quran dan menyimpulkan bahwa kitab suci ini tak secara tegas menggolongkan percintaan sesama jenis sebagai perbuatan dosa.
Sayangnya, kajian Mun’im yang penting dan menarik ini tersaji sepotong-sepotong. Mun’im tak berusaha pengembangkannya dengan menyajikan referensi dari tiap informasi yang ia sajikan. Karena itu, buku ini jadi serba tanggung. Barangkali karena tiap tulisan diambil dari kolom media massa yang terbatas ruangnya.
Misalnya prasasti Tahun Gajah itu tak dielaborasi lebih jauh untuk meyakinkan soal peristiwa historis dalam Quran dan kelahiran Nabi. Mun’im tak menyertakan reportase masa kini dari dua bukti penting dan autentik yang menjadi basis kesimpulan bahwa kelahiran Nabi itu tak faktual.
Ia juga tak menjelaskan lebih detail surat Al-Fil itu. Jika benar Tahun Gajah hanya tafsir para mufasir untuk mencocok-cocokkan kelahiran Nabi dengan peristiwa hebat yang dicatat Quran, tak ada referensi meyakinkan mengenai hal tersebut. Keraguannya tentang kelahiran Nabi sama meragukannya dengan bukti yang menyangkalnya.
Mun’im tak mengelaborasi hal-hal penting itu lebih jauh. Ia berhenti pada apologia bahwa, meskipun tak faktual, kelahiran Nabi tetap layak dirayakan dengan khidmat pada 12 Rabiulawal. Dalam dunia akademik untuk tulisan yang ilmiah, apologia ini mengganggu karena membuat tulisan jadi bias. Dalam buku, bias Mun’im justru datang dari imannya sebagai penganut Islam.
Bias ini menjadi fatal karena bertentangan. Ketika membahas kelahiran Nabi, ia bersandar pada dokumen-dokumen selain Al-Quran hingga sampai pada kesimpulan bahwa Tahun Gajah itu ahistoris. Tapi, ketika membahas Kristen dan Yahudi, ia memakai Al-Quran, kitab yang lebih muda daripada dua agama Ibrahim tersebut.
Di luar itu, buku ini memerlukan sentuhan tangan editor. Mun’im seorang pencerita yang antusias sehingga ia tak peduli akan tipologi dan pemakaian bahasa lisan. Karena itu, hasil penelitian yang seharusnya menjadi sublim lantaran penuh renungan dan referensi yang luas ini menjadi ambyar karena pengkalimatan yang tak tertib.
Peran editor juga absen sebagai lawan berpikir Mun’im. Karena terlalu antusias, ia acap kedodoran dalam menyusun argumen pada tiap pokok bahasan. Ketika membahas sebuah sejarah, ia lupa menautkannya pada referensi atau catatan kaki. Beberapa tema bahkan berulang di halaman-halaman lain.
Asyik ulasannya.
Sudah waktunya “catatan iseng” dikumpulkan, lalu dibukukan. Dari pada mainan HP di kereta, mending baca catatan kayak gini: bikin pinter. Ayo, kemon!
Terima kasih, Pak Prih. Semoga ada yang mau menerbitkan ?
Jika kejadian ini tidak benar,,maka shabat nabi, tidak percaya kepada nabi, karena masih ada orang yg hidup pada masa itu ketika ayat ini turun dengan masa kelahiran nabi., Dan jika berita tentang burung ababil tidak benar maka kaum kafir akan mengunakanya untuk melawan nabi Muhammad..
Masalahnya pak munim juga meragukan otensitas Alquran mas. ALquran dalam pandangan mas munim juga mengalami proses suntingan.
tidak ada ulasan secara spasifik tentang gajah.bagaimana gajah bisa hidup di padang pasir.perjalanannya dari yaman ke mekah.jika zaman sekarang dibawa gajah dari yaman menelusuri padang pasir hingga ke mekah untuk membuktikan ketahanan gajah bisa hidup atau ngak.moralnya adalah ramai umat islam terpesong akidah daripada kisah ini.saya tahu ada gajah gurun tetapi sifatnya seperti gajah afrika yg butuh air untuk hidup.