Ancaman terhadap bahasa Indonesia justru datang dari para penuturnya.
SEBAGAI bahasa yang masih mencari bentuk terbaiknya, bahasa Indonesia terkepung oleh ancaman-ancaman yang datang dari luar dan dari dalam dirinya sendiri, yakni para penuturnya. Sebagai bahasa yang menjadi jalan tengah perbedaan bahasa tutur di Nusantara, bahasa Indonesia datang kepada para pelisannya sebagai bahasa asing.
Bagi mereka yang bukan Melayu, bahasa Indonesia harus dipelajari dengan sungguh-sungguh. Sebagai bahasa asing, bahasa Indonesia tarik-menarik dengan bahasa ibu penuturnya yang beragam-ragam. Bahasa ibu tiap orang Indonesia adalah bahasa daerah yang terdengar pertama sejak mereka lahir.
Bahasa ibu saya adalah bahasa Sunda. Saya berpikir dan bercakap dalam bahasa ini hingga kira-kira usia SMA. Meski pengantar belajar di SD dan SMP memakai bahasa Indonesia, bahasa ini hanya dipakai selama tiga-empat jam selama di sekolah dari seluruh waktu bangun saya selama sehari. Kembali ke rumah, kembali ke permainan, saya kembali memakai bahasa Sunda.
Struktur bahasa Sunda agak berbeda dengan bahasa Indonesia, yang kian mengacu pada bahasa Inggris, setelah pengaruh bahasa Belanda kian pudar, terutama mulai pertengahan 1980-an. Secara alamiah, struktur bahasa Sunda cenderung pasif. Dalam struktur pasif, subyek sering hilang karena yang mengemuka adalah predikat.
Dalam bahasa Sunda, mungkin juga Jawa dan bahasa daerah lain, struktur kalimatnya seperti ini: “Gebug sia ku aing!” (“Pukul kamu oleh saya!”). Tak lazim memakai struktur “Ku aing gebug sia!” (“Saya pukul kamu!”). Maka agak susah memakai bahasa Sunda mengikuti struktur bahasa Indonesia dengan sekadar mengubahnya menjadi aktif karena makna, konteks, dan intonasinya jadi hilang.
Problem ini bersemayam dalam pikiran tiap orang ketika menulis dalam bahasa Indonesia. Pada saya, pola pasif ini acap tak terkendali sehingga lolos saat menulis. Saat membaca ulang sebuah tulisan, saya sering menemukan struktur pasif karena secara tak sadar menuliskannya akibat pikiran saya terlalu terfokus pada isinya.
Di Pikiran Rakyat—koran terbesar di Jawa Barat—ada judul berita “Residivis Pencuri Motor Berhasil Ditembak dan Ditangkap” (1 Juni 2014). Jika melihatnya sekilas, kita paham maksudnya, apalagi kita sering membaca judul berita seperti ini di koran atau media online. Judul berita tersebut memakai kalimat pasif. Karena itu, ada beberapa masalah yang memelecokkan pemahaman kita akan maknanya.
- Tak ada pelaku dalam kalimat itu. Kita tidak tahu siapa yang menembak dan menangkap residivis pencuri motor.
- Kata “berhasil” kian mengacaukan. Jika kita periksa kamus, “berhasil” mengandung arti pencapaian, yang dekat dengan cita-cita. Artinya, kalimat tersebut bisa bermakna “residivis pencuri motor tersebut telah sukses mencapai cita-citanya ditembak dan ditangkap”. Adakah cita-cita mulia para penjahat seperti itu?
Makna pada judul itu bisa segera diperbaiki jika kita mengubahnya menjadi kalimat aktif. Katakanlah, penembak pencuri motor itu adalah polisi, maka judul beritanya menjadi “Polisi Berhasil Menembak dan Menangkap Residivis Pencuri Motor”. Agar kalimatnya lebih efektif, kata “berhasil” dihapus karena menangkap penjahat adalah tugas polisi, bukan sebuah cerita kesuksesan.
Ancaman dari luar datang dari bahasa asing yang kian akrab dengan para penutur bahasa Indonesia akibat globalisasi. Media sosial kian memudahkan tiap orang memproduksi informasi lewat tulisan. Tapi, karena informasi asali datang dalam bahasa asing, istilah teknis acap tak diserap lebih dulu. Apalagi kecepatan penyerapan sesuai dengan pedoman Badan Bahasa sering terlambat ketimbang pemahaman orang banyak.
Di koran, kiblat penting dalam pengembangan bahasa, acap kita temukan istilah asing yang ditulis begitu saja dengan apologia cetak miring. Seolah-olah para wartawan telah lolos dari dosa bahasa begitu mereka memiringkan kata asing yang belum diserap kamus.
Pada Koran Tempo edisi 24 Oktober 2018, ada kalimat “Berdasarkan peraturan kompetisi yang berlaku dalam turnamen ini, hanya dua tim, yakni juara dan runner-up grup, yang bisa meneruskan langkahnya ke babak perempat final”. Di sini ada soal serius kalimat efektif dan pemakaian bahasa asing yang dimiringkan, padahal dengan mudah dicari padanannya. Bahkan di majalah Tempo ada judul besar liputan khusus batik: “Setelah Gempuran Batik Printing”.
Otomatisasi bahasa asing dan bahasa ibu tidak hanya membuat kita lupa punya Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memiliki persediaan kata yang banyak untuk istilah dan definisi sebuah benda/peristiwa, tapi juga merusak bahasa Indonesia yang tengah mencari jati diri ini. Belum lagi jika kita timbang problem lain yang tak kalah serius: bahasa lisan yang dikacaukan oleh tuturan para tokoh publik di media massa atau penyalahgunaan sebuah kata dari maknanya.
Kita sudah lama tahu bahasa lisan Indonesia berbeda dengan bahasa tulis. Kita bisa tahu maksud sebuah kalimat dalam bahasa Indonesia meski strukturnya tak lengkap, seperti tuturan Presiden Joko Widodo dalam video ini.
Ada pula perubahan-perubahan makna kata karena pemakaiannya yang meluas. “Canggih” sebermula berarti “cerewet”, tapi kemudian dipakai sebagai padanan “sophisticated”. Kini “tegar” juga acap dipakai untuk merujuk pada “tabah”, meski arti sebenarnya adalah “kaku, kokoh, rigid.” Perubahan paling nyeleneh adalah pemakaian “seronok”, yang diasosiasikan kepada “tidak pantas”, padahal arti sebenarnya dalam bahasa Melayu justru sebaliknya: menarik, menyenangkan, meriah.
Peluluhan makna kata semacam itu tak bisa dihindari dalam perkembangan bahasa, tapi jika kita membiarkannya, kita akan kehilangan kata “tegar” untuk menggambarkan tiga arti sebelumnya itu. Kelak, seronok akan berarti tak senonoh dan membingungkan orang Malaysia ketika membaca kata itu dalam bahasa Indonesia.
Foto: Twitter
Saya pernah membuat catatan di Facebook. Mengritik teman-teman yang suka salah ketika berbahasa, baik lisan maupun tulisan. Lalu salah seorang teman yang kuliah jurusan bahasa bilang, komunikasi itu yang penting pesan yang disampaikan bisa diterima dengan baik. Tidak peduli bahasanya seperti apa selama bisa dipahami, tidak akan jadi masalah. Saya cuma khawatir lama-lama orang akan mengatakan (benar-benar dengan lisan) besuk untuk menyebut hari setelah hari ini. ?
Betul. Tapi bahasa harus punya kaidah justru agar bisa dipakai untuk berkomunikasi dengan efektif. Salah satunya agar orang lain bisa mempelajarinya sehingga ada pertukaran budaya yang berguna agar kita bisa saling memahami perbedaan-perbedaan.