Buku terakhir Stephen Hawking yang menjelaskan soal Tuhan dan hal-hal lain yang rumit tentang fisika dan kosmologi.
SEORANG teman menyeringai begitu melihat saya mengeluarkan buku Brief Answers to The Big Questions dari dalam tas di kereta cepat yang membawa kami dari Berlin ke Bonn awal Desember lalu. Ia seorang perempuan Jerman yang, agaknya, cukup paham dengan buku-buku Stephen Hawking. “Apakah dalam buku ini jawaban untuk tiap pertanyaan itu cukup ringkas?” tanyanya.
Saya baru membaca bab 9 ketika pertanyaan itu muncul. Hawking, yang meninggal Maret lalu, menulis buku ini setahun sebelum ia wafat di Cambridge, Inggris. Ia menyusun 10 pertanyaan tentang kosmologi dan fisika, tentang Tuhan dan lubang besar, tentang masa depan dan kecerdasan buatan. Tema yang sudah banyak ia singgung dalam buku-bukunya yang terdahulu, dengan ciri khas judul selalu memakai kata “brief” (ringkas).
Tentu saja “ringkas” itu merujuk pada upaya Hawking coba menyederhanakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan rumit dan besar dalam hidup manusia. Ia bertanya pada bab I: benarkah Tuhan itu ada? Jawabannya adalah ringkasan penelitian dia selama hidupnya yang 76 tahun, dari kursi roda sejak 1985 akibat lumpuh syaraf, berdasarkan logika sains tentang semesta memakai perangkat ilmu fisika. Bisa juga semacam kerendahatiannya karena membahas alam semesta tak bisa tuntas.
Tuhan dalam konsep Hawking merujuk pada kepercayaan religius manusia sebagai zat yang menjadi penyebab segala hal yang ada di dunia. Matahari yang terbit di Timur, bulan yang mengitari bumi, gaya gravitasi, disebut Hawking sebagai “hukum Tuhan” yang membuat segala hal menjadi serasi. Tapi adakah Ia, seperti kepercayaan umat beragama di dunia?
Pertanyaannya, siapa yang menyebabkan dentuman besar? Tuhan? Bukan, kata Hawking. Sebab dentuman adalah sebuah peristiwa. Peristiwa memerlukan waktu. Sementara waktu tidak ada sebelum ada ruang, dan ruang ada setelah “big bang”. Maka, kata Hawking, dentuman itu terjadi secara spontan, dari ketiadaan. Ia dan para ilmuwan lain belum bisa menjangkau apa yang “ada” dalam ketiadaan itu.
Bagi Hawking pertanyaan tentang keberadaan Tuhan sama kosongnya dengan pertanyaan apakah ada selatan dari Kutub Selatan? Karena itu, ia tak percaya ada yang mengendalikan takdir manusia, gerak alam, dan kemungkinan-kemungkinan masa depan. Energi dan materi itulah yang membentuk “hukum Tuhan” yang kita pahami sebagai “hukum alam” itu: air mengalir dari gunung ke laut lalu teruapkan oleh panas matahari menjadi awan dan hujan di hutan dan pegunungan.
Maka meskipun ia tak percaya Tuhan, Hawking berkelakar akan bertanya jika bertemu dengan-Nya: apakah Ia berpikir serumit teori-M dalam sebelas dimensi? Teori-M adalah teori yang menyatukan semua teori yang menyelidiki interaksi alam semesta. Maha-teori (theory of everything) ini dikenalkan fisikawan Edward Witten dalam konferensi fisika sedunia pada musim semi 1995 di University of Southern California.
Pertanyaan Hawking yang lain menyangkut apa yang ada dalam lubang hitam, kemungkinan manusia berpelesir ke masa depan, hingga usia bumi dan evolusi manusia. Menurut dia, kecerdasan buatan akan membuat manusia hidup lebih baik bahkan membantu menemukan planet lain untuk bertahan ketika kiamat. Para ilmuwan sudah mendeteksi sebuah bintang dalam sistem solar Alpha Centauri punya prasyarat pendukung hidup manusia yang sama dengan bumi.
Berikut ini daftar isi buku terakhir Stephen Hawking ini:
1. Adakah Tuhan?
2. Bagaimana semuanya bermula?
3. Apakah ada mahluk cerdas lain di alam semesta?
4. Bisakah kita memprediksi masa depan?
5. Apa yang ada dalam lubang hitam?
6. Apakah perjalanan menembus waktu itu mungkin?
7. Akankah manusia bertahan hidup di bumi?
8. Haruskah kita pindah ke planet lain?
9. Bisakah kecerdasan buatan menyamai kecerdasan manusia?
10. Bagaimana kita membentuk masa depan?
Sebelum masuk ke bab-bab tersebut, Hawking membuat satu bab pengantar yang menjelaskan mengapa manusia perlu mengajukan 10 pertanyaan itu dan mencari jawabannya. Bab ini meringkas kisah hidupnya sebagai peneliti, pertemuan dengan istrinya, momen-momen penting ia memikirkan rumus-rumus fisika yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan, hingga ALS merenggut gerak tubuhnya yang menyisakan fungsi mata dan otaknya saja. “Agar kita bersyukur telah hidup di bumi ini,” katanya.
Sejak ia divonis sakit dan kekuatan tubuhnya melemah dari hari-ke-hari, bagi dia, tiap kali bangun tidur dan masih bernapas, “seperti bonus hidup buat saya.” Sepuluh pertanyaan itu, katanya, penting diketahui manusia agar kita bisa lebih arif karena akan tahu dari mana berasal dan lebih menghormati hidup yang berharga.
Seperti buku-bukunya terdahulu, Hawking merumuskan kesimpulan-kesimpulannya yang menohok di buku ini berdasarkan logika sains: ia menyimpulkan seraya meragukannya. Ia tak percaya hidup setelah mati karena jasad dan ruh menjadi debu setelah kita tiada. Karena itu, menurut dia, yang bermakna adalah hidup ini, seperti yang ia praktikkan selama 76 tahun usianya—penderita lumpuh syaraf terlama yang pernah ada.
Setelah selesai membaca buku ini, saya bisa menanggapi pertanyaan teman di perjalanan kereta Berlin-Bonn itu: jawaban Hawking tak bisa seringkas pertanyaannya.
Gambar: Black Hole (blog.soton.ac.uk)
kayaknya perlu dilanjut di ruang rokok, nih, kang… ?
Haha. Siap, mas. Sambil ngopi…
Saya tertarik dan menunggu peryataan ringkas yang panjang maknanya kang
Wah, ngeri ?
Mungkin beliau blm mengkaji Al-Qur’an, Bang ??
Hehe. Kalau baca bukunya sih, dia sudah baca juga.
Kk boleh gk aku kutip sedikit catatannya untuk cerita aku?kalau boleh?
Silakan. Dengan menyebut sumbernya.