Di Taman Karl Marx

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Karl Marx hanya baik untuk dikenang, sebagai bagian dari sejarah yang ikut membentuk kita sekarang.

DI taman ini, di pusat kawasan Mitte yang dekat Alexanderplatz dan di pojok-seberang kantor Wali Kota Berlin, patung Karl Marx dan Friedrich Engels berdiri menjulang. Dengan semen dan perunggu yang kokoh, keduanya menatap Berlin seperti sedang bersabda di bawah suhu 4 derajat. Tapi seseorang mencoret patung itu dengan tulisan setengah peringatan setengah mengutuk: komunisme membunuhmu, mereka pembunuh, komunisme telah mati.

Taman Karl Marx di dekat Alexanderplatz

Sial benar komunisme. Mereka pembunuh yang mati. Komunisme memang sudah mati, bahkan di patung Marx dan Engels ini. Orang kini datang ke hadapan mereka untuk berfoto-foto, tersenyum melihat keduanya, lalu pergi lagi tanpa berkata-kata. Turisme membuat patung ini hanya jadi objek swa-foto, bukan lagi tempat berkumpul para pemuda sosialis mendiskusikan ajaran keduanya dalam Forum Marx-Engels pada 1980-an, ketika taman ini masih berada dalam kawasan Berlin Timur.

Seorang teman Jerman yang menemani kunjungan ke taman ini, ia lahir di Timur dan baru tiga tahun ketika tembok yang memisahkan Jerman Barat yang pro Amerika yang kapitalis dan Jerman Timur yang pro Rusia yang komunis runtuh pada 1991, tak lagi sungguh-sungguh percaya adakah komunisme cocok diterapkan di zaman Internet ini. Di sekolah ia hanya mempelajari sejarahnya tanpa menyerap ajarannya.

Setelah Jerman bersatu, tak ada lagi yang bisa menebak siapakah yang mencoret patung dengan mengutuk Marx dan Engels ini. Bisa jadi orang dari Barat, tapi mungkin juga seorang tua dari Timur—yang kehilangan sanak saudara akibat pemisahan Jerman dan menderita di bawah kekuasaan sosialis di Jerman Timur. Keduanya bisa mungkin ketika Alexanderplatz saja jadi tujuan wisata yang mencorong. Tak ada lagi jejak-jejak komunisme di sini, lebur dalam kesibukan ekonomi sehari-hari yang rutin.

Padahal di Jerman masih ada partai kiri, bahkan Partai Sosial Demokrat menjadi partai kedua terbesar setelah Partai Kristen. Keduanya berkoalisi mengantarkan Angela Merkel menjadi kanselir yang membuka gerbang bagi imigran, kendati kini ia tengah dirundung dilema soal itu. Jerman yang memimpin Eropa kini adalah Jerman yang tak lagi setia pada satu corak ideologi pemerintahan; pasarnya terbuka tapi Undang-Undang Tenaga Kerja mereka mewajibkan pegawai libur pada Sabtu dan Minggu. Jangan belanja pada hari itu karena toko-toko akan tutup atau buka setengah-hari. Pegawai juga punya hak yang sama untuk jalan-jalan di hari libur yang sama dengan para majikan.

Semua itu adalah jasa Marx dan Engels. Marx, yang ilmuwan, merumuskan Manifesto Komunisme pada 1848 yang didukung penuh Engels, pengusaha cum aktivis yang menanggung hidup Marx selama masa emas pemikirannya itu. Traktat itu kelak menjadi primbon gerakan sosialisme di Eropa dan dunia.

Kelompok kajian ajaran-ajaran Marx dan Engels

Berkat keduanya juga, serikat-serikat pekerja punya kedudukan yang kuat. Selesai melewati Taman Karl Marx itu, dua hari kemudian, saya ke stasiun sentral untuk mengejar kereta ke Bonn. Tapi hari itu, 10 Desember 2018 di hari Senin kedua dan menjelang Natal, jadwal kereta kacau. Asosiasi Masinis Deutsche Bahn—PT Kereta Api Jerman—mogok menuntut naik gaji 7,5 persen dari 500 euro per bulan.

Mogok itu cukup efektif menyita perhatian publik karena dilakukan pada Senin kedua bulan Desember, ketika banyak orang Jerman mulai mudik ke kampung halaman mereka untuk merayakan Natal. Manajemen PT Kereta Jerman mengajak para masinis bernegosiasi dan menawarkan kenaikan 5,1 persen. Para masinis yang jumlahnya 160.000 itu menuntut naik gaji setelah PT Kereta menaikkan harga tiket 1,9 persen.

Akibat mogok itu saya terdampar di stasiun Hamm, masih dua jam ke  Köln—untuk ke Bonn mesti ganti kereta lagi dari sana untuk perjalanan 20 menit. Harga tiket kereta dari Berlin yang melaju 265 kilometer per jam itu 30,4 euro atau Rp 500 ribu. Kami harus ganti kereta karena gerbong tingkat dari Berlin itu harus menuju kota lain untuk menjemput penumpang lain yang terdampar juga. Kami harus menunggu kereta di belakang yang mengubah tujuan ke Köln.

Tak ada penumpang yang menggerutu, berbeda ketik kereta telat karena alasan tak jelas. Orang Jerman biasanya menggerutu tiap ada layanan publik yang kacau. Kini mereka maklum dengan tuntutan para masinis. “Semoga negosiasinya cepat selesai,” kata seorang penumpang perempuan di sebelah kursi.

Communism kills

Kesetaraan itu berkat Marx dan Engels. Sosialisme–yang dipraktikkan dengan ekstrem dalam bentuk komunisme lewat partai dan kekuasaan negara– mendorong tiap-tiap orang punya hak atas pencarian ekonomi dan setara dalam memperjuangkannya. Toh, anak-anak muda Jerman kini tak lagi hirau dengan ideologi yang mereka rumuskan. Seseorang bahkan memaki dan mengutuknya lewat coretan di patung yang dibuat Ludwig Engelhardt pada 1986 itu.

Dunia memang tak semudah naik kereta: selalu ada pertentangan-pertentangan di dalamnya, semacam dialektika yang akan menyajikan tesis dan antitesis—seperti basis teori-teori Karl Marx.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

One thought on “Di Taman Karl Marx”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)