Kita tak terbiasa memakai bahasa formal dalam percakapan. Jika memakainya, malah jadi terdengar aneh.
SEORANG teman dari Jerman terheran-heran dengan cara orang Indonesia memanggil pelayan restoran. Ketika ia tinggal di Jakarta selama dua bulan beberapa tahun lalu, ia dan temannya makan siang di sebuah warung makan Padang. Selesai makan orang Jakarta itu memanggil pelayan dengan melambaikan tangan dan berkata, “Mbak, minta bon.”
Bagi teman dari Jerman ini, cara temannya memanggil pelayan itu tidak sopan. “Hei, dia bukan anjingmu,” katanya, menceritakan peristiwa itu. Kali ini, giliran si teman Jakarta yang melotot. Tentu saja, dia tak bermaksud memperlakukan orang lain sebagai binatang. Apalagi di restoran. “Di Indonesia ini cara yang sangat sopan,” katanya, seperti dikutip teman Jerman ini. Bingung dengan jawab-jawaban itu, ia bertanya, “Kalian tidak bisa mengawalinya dengan ‘excuse me’ dan kalimat penanda lain yang menandakan lebih sopan?”
Dalam bahasa Indonesia, excuse me punya padanan semacam “permisi” atau “maaf”. Jadi, panggilan kepada pelayan itu selengkapnya adalah, “Permisi, Mbak, bolehkah saya minta bon?” “Tapi, hei, bahasa tidak saja melalui lisan, tapi juga ada bahasa tubuh dan intonasi,” orang Indonesia ini coba bertahan dengan memberi argumen, yang agak panjang. Saya baru sadar juga ternyata bahasa kita memang tak punya format baku dalam percakapan.
Orang Jakarta itu bisa benar karena bahasa, sebagai alat komunikasi, tak sekadar yang terucap dalam lisan. Bahkan bahasa lisan pun mengalami peluluhan karena diasah dan dipakai secara terus-menerus oleh para penuturnya. Sudah menjadi hal yang biasa, manusia menemukan bahasa-bahasa percakapan, alih-alih bahasa formal yang tegar, agar komunikasi lebih lancar dan tepat sasaran. Penyingkatan-penyingkatan kalimat, seperti dalam panggilan kepada pelayan itu, menjadi tak terhindarkan. Sopan-santun menambahkan bobot dalam tata krama berbahasa itu lewat intonasi, bahasa tubuh, gestur.
Tiga kata panggilan kepada pelayan itu bahkan menjadi berbeda “rasanya” ketika dituliskan. Dalam pelisanannya, pelayan yang dipanggil itu tetap merasa dihargai karena pemanggilnya melambaikan tangan seraya tersenyum, merendahkan kata “bon”, melambaikan tangan seperti lambaian dalam pertemuan dua karib yang lama berpisah. Intinya, ada banyak perangkat lain pendukung sebuah kata ketika diucapkan.
Sama seperti orang Italia memakai tangan, gerak mata, bahkan bibir untuk menekankan sebuah kata ketika berbicara. Di Myanmar, pengunjung kafe bahkan memanggil pelayan dengan bunyi mulut “ckckck”, yang dipakai orang Indonesia ketika memanggil kucing, ayam, atau burung. Toh, di sana, memanggil dengan cara seperti itu tetap sopan karena sudah menjadi kebiasaan. “Coba, cara seperti itu dipakai di Jerman,” kata kawan itu. “Kalian akan berakhir dengan gelut.”
Bahasa lisan orang Indonesia punya strukturnya sendiri, yang tak lengkap, acap melenceng dari struktur baku, bahkan tak jelas subjek dan objeknya. Orang Flores, bisa mengajak makan secara sopan kepada tamunya dengan mengatakan, “Makan sudah.” Bagi orang dari suku lain, kalimat sepotong dengan intonasi yang khas itu tak jelas benar apakah sebuah pertanyaan atau suruhan.
Sewaktu saya penelitian tentang repong damar di Krui, Lampung Barat, saya tinggal di rumah seorang keturunan Raja Suku Semendo di sana. Makanan sarapan selalu ada dua jenis: nasi dan tempoyak—semacam saus durian. Setiap hampir selesai makan, tuan rumah selalu berteriak, “Tambah!” Tanpa menimbang logat dan kebiasaan-kebiasaan orang Krui, kita akan menyimpulkan bahwa ajakan dan permintaan tersebut sebuah bentakan.
Budaya dan kebiasaan-kebiasaan itulah yang mempengaruhi cara kita berbahasa. Orang Jepang selalu mengatakan summimasen (maaf) tiap kali hendak mengatakan sesuatu dan mengakhirnya dengan arigato gozaimasu (terima kasih) dan haik (ya). Tiga kata ini adalah “struktur baku” dalam bahasa formal percakapan orang Jepang. Mereka akan menganggap orang lain kurang sopan jika berbicara tanpa tiga kata itu. Orang Jepang menambah kadar kesopanan dengan bungkukkan badan. Jika kita berterima kasih dengan sekali bungkuk, mereka akan membalasnya dengan dua kali bungkuk, dan seterusnya.
Bahasa memang cermin sebuah bangsa. Bagi orang Jerman, yang bahasanya menjadi cikal bakal bahasa Inggris, bahasa formal dalam percakapan hampir tak ada beda dengan bahasa formal dalam penulisan karena bahasa diasah dan menyebar melalui struktur baku tulisan dalam menyampaikan ilmu pengetahuan. Orang Inggris bisa membedakan, baik dalam lisan maupun tertulis, derajat kesopanan antara dua frase permintaan dengan makna sama ini: “could you please…” dan “can you please…”
Gambar: The Touch of God
Sepertinya memang ada pergeseran nilai. Tp kalo ke kampung sy di jawa masih banyak yg mengawali dg”nyuwun sewu” atau “punten” di tanah pasundan setiap memulai pembicaraan/permohonan ke org lain. Keren kan saya mau komen
Betul. Karena bahasa ibu kita bahasa daerah masing-masing, yang mengajarkan sopan-santun pertama-tama…