Media Jerman punya mekanisme dukungan publik yang luas dan kuat. Disrupsi Internet tak terlalu mempengaruhi oplah media cetak.
SETELAH sepuluh hari bertamu ke dapur redaksi media-media besar di Jerman pada pertengahan Desember 2018, seorang teman perjalanan menyimpulkan: negara ini bukan tempat baik belajar digital. Alih-alih mengolok, saya mendengarnya sebagai pujian. Media Jerman bisa bertahan di tengah disrupsi Internet, para awaknya tak lintang-pukang mencari bentuk baru media melalui platform digital sebagaimana yang terjadi di belahan dunia mana pun.
Majalah paling prestisius di sana, Der Spiegel, masih mencetak 750 ribu eksemplar tiap pekan. Jika harga tiap edisi 4 euro, mereka mendapat penghasilan dari sirkulasi majalah hampir 3 juta euro atau Rp 48,5 miliar. Belum lagi dari pendapatan iklan. Dengan jumlah pembaca 13 juta tiap pekan, majalah ini masih perkasa untuk wilayah Eropa. Mereka juga punya web yang memproduksi podcast, berita 24 jam, analisis peristiwa, video, dengan sistem subscribers.
Jumlah pembaca Der Spiegel (Cermin) memang turun dalam 10 tahun terakhir. Puncak oplah mereka 1,5 juta eksemplar per edisi. Ketika saya ke sana, investigasi malapraktik jurnalistik Claas Relotius belum meledak. Bahkan ketika kami mengobrol dengan Redaktur Pelaksana Investigasi Der Spiegel, Jürgen Dahlkamp, di ruangan lain pemimpin redaksinya baru membaca surat pengaduan dari Arizona, Amerika Serikat, bahwa reportase Relotius soal patroli di perbatasan AS-Meksiko tanpa mewawancarai para narasumber di artikelnya. Setelah skandal paling memalukan dalam 70 tahun sejarah majalah ini, oplahnya mungkin turun.
Koran mingguan Die Zeit (Tempo), malah mencetak koran makin banyak tiap pekan. Oplah mereka naik seiring kolaborasi cetak dan online dengan menghadirkan berita-berita investigasi. Setiap pekan, koran kiri-liberal ini mencetak 600.000 eksemplar dengan 2 juta pembaca. Apa resepnya? “Fokus pada produk,” kata Karsten Polke-Majewski, Kepala Departemen Investigasi Die Zeit Online. “Kalau mau online, fokus ke sana, kalau mau cetak juga fokus menggarap pembacanya.”
Mungkin karena orang Jerman berpendidikan bagus sehingga mereka masih membaca berita. Barangkali. Di kereta bawah tanah atau bus, masih banyak orang yang menenteng majalah atau koran. Mungkin juga karena orang Jerman—negara penemu teknologi itu—agak menghindarkan diri dari Internet. Menurut Statista, orang Jerman rata-rata menghabiskan waktu online hanya 1,5 jam sehari. Bandingkan dengan Indonesia yang hampir empat jam .
Telepon pintar yang dipegang banyak orang Jerman juga tak mentereng. Seorang kenalan, anak muda 30 tahun dari Bonn, telepon selulernya masih iPhone 5 dengan layarnya yang kecil dan bungkusnya agak jadul. Ia sama sekali tak punya akun media sosial. Orang-orang tua malah masih ada yang memakai Nokia lawas. Di Jerman, umumnya mereka melindungi telepon dengan bungkus, seolah melindungi barang itu agar tak cepat rusak
Maka koran dan majalah cetak masih digemari. “Jadi Jerman bukan tempat belajar yang bagus buat mengembangkan media digital,” teman itu, Suwarjono yang memimpin redaksi Suara.com, mengulang kesimpulannya. Bisa jadi. Meskipun berita digital juga tetap diproduksi oleh media-media besar. Spiegel Online, yang mempekerjakan 200 jurnalis, membuat 50 berita sehari. Jumlahnya memang kecil jika dibandingkan dengan sebuah situs Indonesia yang memproduksi 500-600 berita online sehari.
Barangkali jumlah berita yang sedikit itu karena media Jerman selektif memilih isu dan membuatnya dengan sangat hati-hati. Artikel-artikel di online berupa long-form, bukan berita pendek yang dipecah ke dalam banyak halaman atau tautan per isu seperti di Indonesia. Di Jerman, artikel-artikel online terasa sekali dibuat dengan penuh penghayatan, tanpa usaha menonjolkannya dalam format dan gaya “umpan klik” (click–baiting) seperti media-media daring di Jakarta.
Der Spiegel membedakan tim online dan cetak. Di kantornya yang 13 lantai di Hafencity, Hamburg, tim online berada di lantai paling atas, menyatu tanpa sekat. Sementara tim majalah cetak berada di bawahnya. Tiap-tiap wartawan punya ruangan sendiri. Mereka selalu menguncinya tiap kali keluar ruangan, bahkan untuk ke toilet. Saya diajak ke lantai tim investigasi dan hanya diizinkan masuk ke ruangan reporter. Dahlkamp hanya mengizinkan kami melongok ruangan data yang berserakan dokumen dari jendela kacanya.
Berikut ini beberapa hal menarik dari media Jerman:
Independensi. Tiap-tiap wartawan dari media mana pun yang ditanya soal ini, akan antusias menjawab dan menjelaskannya. Bagi mereka independensi adalah hal nomor satu dan tak bisa ditawar dibandingkan hal-hal lain, misalnya, soal ideologi redaksi. Saking independen, beberapa media bahkan tak punya pemegang saham mayoritas. Pemegang saham koran-koran ini adalah pembacanya sendiri. Seperti koran Die Tageszeitung (Koran Harian) atau Taz.
Koran itu didirikan pada 1978 oleh para mahasiswa yang ingin memproduksi suara alternatif dari media arus-utama. Slogan koran ini adalah “rada kurang ajar, mandiri secara komersial, cerdas, dan menghibur.” Pembaca jadi tulang punggung keuangan mereka. Tak hanya sebagai pembeli koran, tapi juga pemegang sahamnya. Menurut Redaktur Asia-Pasifik Sven Hansen, tiap pembaca hanya boleh memiliki satu lembar saham seharga 500 Euro untuk menghindari pemilik mayoritas. Kini Taz dimiliki 300.000 pemegang saham.
Setiap hari koran ini dicetak 350.000 tanpa iklan. Ketika saya berkunjung ke kantornya di Jalan Friedrich di dekat Checking Point Charlie (tempat pengecekan penduduk Jerman Timur yang hendak masuk ke Barat sebelum 1990) di Berlin, mereka baru pindah ke gedung baru itu. Menurut Sven, dari biaya 20 juta Euro membangun gedung, 5 juta berasal dari pembaca. Manajemen Taz membayar utang itu bulanan seperti membayar bunga deposito nasabah bank. Para pembaca itu menentukan segala hal: memilih pemimpin redaksi, meminta isu liputan, bahkan mengusulkan ide-ide inovasi memajukan koran dalam rapat pemegang saham tiap tahun.
Di bidang penyiaran, independensi media Jerman juga sangat kental. Ada dua lembaga penyiaran, semacam gabungan TVRI dan RRI, yang mendapat dana publik. Di Jerman, setiap rumah tangga wajib membayar pajak penyiaran 17,5 Euro sebulan. Uang ini tidak masuk ke kas negara, tapi disisihkan di sebuah rekening yang ditransfer kepada lembaga penyiaran itu. “Sehingga pemilik media ini adalah publik, bukan negara,” kata Peter Hornung dari Norddeutscher Rundfunk, Lembaga Penyiaran Utara Jerman di Hamburg.
Menurut Nikolaus Steiner, wartawan Monitor—program investigasi televisi untuk Westdeutscher Rundfunk (Lembaga Penyiaran Barat Jerman) yang berpusat di Köln—masyarakat Jerman mulai menyoal pajak penyiaran itu karena nilainya terlalu besar. Tapi, menurut Nikolaus, pajak itulah yang membiayai laporan-laporan investigasinya yang muncul tiga kali sepekan di WDR tentang penyelewengan aparat atau korporasi.
Kolaborasi. Tak ada lagi persaingan di antara media-media besar Jerman. Mereka kini berkolaborasi menghasilkan liputan-liputan mendalam dan investigatif. Dua atau tiga media mengeroyok satu topik dan menerbitkannya secara bersama-sama. “Kolaborasi membuat dampak liputan menjadi lebih besar,” kata Peter Hornung.
Kolaborasi itu juga tak sebatas antar media, tapi media dengan publik. Seperti dijelaskan Frank Jansen, dari koran Der Tagesspiegel, sebelum para reporter turun ke lapangan, mereka mengumpulkan masyarakat untuk minta saran topik paling penting. Para wartawan lalu menyusun rencana liputan sebelum menginvestigasinya.
Belakangan muncul Correctiv di Berlin, lembaga nirlaba yang menghimpun wartawan lepas menginvestigasi kasus-kasus krusial di Jerman. Mereka tak punya media, karena itu para wartawan di sini membuat kerja sama dengan media konvensional untuk menerbitkan kerja-kerja penelisikan itu. Untuk memudahkan menganggit suara publik, mereka membuat sebuah peranti lunak yang bisa diakses masyarakat memasukkan usulan-usulan liputan.
Hal yang sama dilakukan Algorithm Watch. Lembaga ini didirikan oleh jurnalis dan profesor komputer setahun lalu. Dari kantornya yang kecil di Berlin, mereka menelisik soal-soal yang banyak dikeluhkan orang Jerman. Kini mereka tengah menyusun laporan tentang menelusuri data cek debitur bank. Di Jerman, bank punya data tiap orang dan membuat peringkat untuk kelayakan pemberian kredit. Pemakaian big data ini membuat publik Jerman marah karena tak transparan, terutama tata cara mengurutkan nama nasabah berdasarkan kelayakan mendapat kredit. “Kami menelusuri untuk apa saja bank memakai data publik itu,” kata Matthias Spielkamp, pendiri AW.
Cek Fakta. Setiap media punya tim khusus untuk mengecek fakta dalam artikel-artikel yang dibuat para wartawan sebelum dipublikasikan. Anggota cek fakta tidak hanya beranggotakan para jurnalis, tapi juga ahli-ahli dari universitas. Der Spiegel punya 70 orang tim cek fakta, meskipun mereka kecolongan oleh ulah Class Relotius. Di majalah Stern (Bintang) bahkan ada ahli biologi yang menjadi anggota tim ini.
Stern melipatkan jumlah anggota tim cek fakta menjadi sepuluh orang setelah pada 1983 muncul skandal diari palsu Adolf Hitler. Majalah ini membeli sebuah diari dari seorang yang mengaku mendapatkannya dari orang dekat pemimpin Nazi itu. Tanpa mengecek keasliannya, Stern langsung menerbitkannya. Belakangan, ketika sebuah media ingin mempublikasikan diari serupa, terungkap bahwa catatan harian Hitler itu palsu. Sejak itu oplah Stern anjlok dari 1 juta eksemplar tiap pekan. Hingga kini majalah itu tak lagi bisa mencetak lebih dari 700.000.
Menurut Uli Rauss, wartawan investigasi Stern, cek fakta sangat ketat di majalahnya. Selain menambah jumlah anggota timnya, alur pengecekan juga rigid. Sebelum dipublikasikan, sebuah artikel akan melewati pengecekan oleh redaktur, pemimpin redaksi, tim cek fakta, hingga pengacara. Dengan cara itu, pelan-pelan kepercayaan pembaca Stern pulih meski tak sebesar sebelum skandal diari Hitler itu.
Dari semua hal itu, media-media Jerman kukuh menjalankan fungsi media dengan liputan-liputan investigasi. Tak seperti di Indonesia, orang Jerman paham media punya visi dan misi sehingga mereka tak menyoal ideologi redaksinya.
Frank Jansen dari Der Tagesspiegel mengaku sangat kanan dan anti ideologi kiri. Selama 28 tahun ia menginvestigasi kebangkitan komunitas neo Nazi di negaranya. Sementara Taz sebaliknya, kiri-liberal. Koran ini bahkan mendukung Partai Hijau dan suporter utama Partai Sosial Demokrat, yang berkolaborasi dengan Partai Kristen mengantarkan Angela Merkel menjadi kanselir.
Sepanjang independen, dalam arti keputusan redaksi tak dipengaruhi pihak lain, orang Jerman tak menyoal keberpihakan dan ideologi media. Apalagi isu-isu yang dipublikasikan menyangkut kepentingan orang banyak. Peran sebagai “anjing penjaga” dan kebutuhan publik akan informasi bertemu dalam bisnis media sehingga disrupsi digital tak menjadi soal.
3 thoughts on “Dari Dapur Redaksi Media Jerman”