Toilet Menunjukkan Bangsa

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Toilet menunjukkan bagaimana perilaku kita. Perhatian: jangan baca sambil makan.

Benar kata Bill Gates: toilet menunjukkan bagaimana sebuah bangsa. Orang terkaya di dunia ini menghabiskan banyak waktu untuk bepergian ke negara-negara miskin di Afrika dan Asia hanya untuk nongkrong berlama-lama di toiletnya. Bagi Bill, problem sebuah negara bisa dilihat dari keadaan toiletnya.

Ada 2,5 miliar—hampir sepertiga—manusia di bumi ini yang tak punya akses ke toilet yang memadai. Maka tak heran jika 500.000 anak-anak di bawah lima tahun meninggal tiap tahun karena air yang mereka konsumsi terinfeksi virus dan bakteri akibat air kotor. Menurut Bill Gates, menyelesaikan problem dunia hari ini salah satunya memperbaiki toilet.

Maka Bill menghabiskan ratusan triliun untuk berinvestasi dalam inovasi toilet. Ia percaya, yayasannya bisa menolong banyak orang dengan membangunkan toilet yang layak. Toilet yang layak setidaknya bisa menjamin sanitasi dan sanitasi menunjukkan tingkat kesehatan. Jika sehat orang bisa lebih berdaya untuk menaikkan taraf hidupnya. Kira-kira begitu jalan pikiran Bill Gates.

Related image
Matt Damon memotret jamban di Indonesia. (Foto: Liputan6.com)

Dengan kata lain, jika toilet sebuah desa, sebuah kota, bahkan sebuah negara bermasalah, problem itu bisa jadi dipicu oleh masalah lain yang menyangkut perilaku penduduknya. Sebab toilet adalah kebutuhan manusia paling private. Kita bisa saling bantu untuk urusan makanan dan soal-soal lain, tapi urusan buang kotoran adalah urusan sendiri-sendiri. Seperti di Jerman ini.

Ketika pertama tiba di Hamburg, pada Desember lalu, saya mesti naik lift karena naik tangga agak merepotkan akibat menggembol dua tas besar. Lift di stasiun sentral itu bau pesing, bercampur muntahan, dan aroma tubuh yang berhari-hari tak kena air. Rupanya itu aroma umum lift di semua stasiun U-Bahn atau kereta bawah tanah. Dan di Berlin, dua jam dengan kereta cepat dari Hamburg, lebih  parah.

Pemerintah menetapkan tarif toilet umum €1, terlalu mahal untuk ongkos kencing. Sebab harga bir tak jauh beda. Maka dari pada punya euro untuk bayar toilet, mending uangnya untuk beli bir lagi ketika kebelet pipis setelah ngebir. Soal pipis di mana, itu urusan lain. Dan Jerman kini menghadapi problem gelandangan akibat pintu imigrasi dibuka lebih longgar.

Ada 1 juta orang yang masuk Jerman sepanjang periode “ramah imigran” itu. Para imigran lebih senang masuk ke Berlin ketimbang kota-kota lain karena lebih metropolis dan aturannya agar longgar, dibanding kota-kota lain. Di Berlin, misalnya, orang menyeberang jalan di mana saja tanpa takut disemprot polisi.

Meski masih banyak yang mendukung, orang Jerman kini mulai gerah dengan problem sosial akibat imigrasi itu. Ada banyak demonstrasi yang meminta pemerintah tak lagi menambah jumlah imigran ke negara mereka.

Problem-problem itu bisa kita lihat dari toilet-toilet publik. Mereka yang tak siap menjadi imigran yang baik akan memenuhi jalan menjadi gelandangan. Benar kata Bill Gates, toilet menunjukkan bangsa. Ketika toilet mereka bermasalah ada problem lain yang terjadi dalam perilaku penduduknya.

Di Jepang, yang problem masyarakatnya adalah terlalu serius dalam segala urusan, toilet punya banyak tombol dengan pelbagai fasilitas yang diatur oleh teknologi canggih: air dingin, air hangat, setengah hangat, pencabut tampon, juga aneka rupa pernak-perniknya: pembungkus toilet agar tak dingin di paha ketika musim salju.

Image result for japanese toilet
Tombol-tombol pada toilet Jepang.

Baik di Jerman atau Belanda atau Jepang, semua toilet punya tatakan sehingga jika pipis airnya tak menciprat ke mana-mana. Padahal mereka tak punya aturan-aturan soal najis. Di Indonesia, yang punya seperangkat aturan agama tentang najis dan hadas, toiletnya begitu-begitu saja. Bahkan toilet publik biasanya bau dan jorok, lantainya becek, orang memakai toilet duduk dengan berjongkok. Kita pun jadi ikut-ikutan berjongkok memakainya karena khawatir banyak kuman menempel jika duduk dengan semestinya. Padahal, toilet di Indonesia biasanya dijaga orang!

Di bandar-bandar udara di Indonesia atau di mal-mal besar dan kecil, toilet dijaga dengan takzim oleh manusia. Mereka, para penjaga ini, akan mengangguk kepada siapa saja yang akan membuang kotoran di tubuhnya. Mereka seperti seseorang sebagai wujud peringatan “Jagalah Kebersihan”. Sebab, di Indonesia, aturan-aturan tertulis atau tak tertulis tak mempan membuat orang menjadi disiplin untuk dirinya sendiri.

Agaknya kita menjaga kebersihan kalau dijaga saja, sama seperti kita tak akan melawan arus jalan searah karena ada polisi berjaga di sana. Kita tak turut pada hukum, kita hanya pura-pura patuh pada hukum yang tak terlihat, seperti aturan di toilet itu.

Di Narita atau McCarran, toilet-toilet tak dijaga manusia, tempat paling tak ramai tapi tetap bersih. Di Indonesia pemandangan di toilet begitu ganjil: ada manusia dengan seragam formal dari ujung rambut hingga sepatu berdiri di depan pintu masuk, sambil memegang tongkat pel, lalu mengangguk kepada siapa pun yang hendak buang air.

Toilet dengan tatakan air kencing.

Para penjaga toilet adalah mereka yang dengan sungguh-sungguh menjaga agar kotoran tak menodai tempat kerja mereka, agar siapa pun yang memakainya merasa nyaman. Barangkali karena kita masih berada dalam budaya “manusia-produksi”. Kita memberdayakan manusia sampai ke hal-hal remeh yang tak perlu. Seandainya para pemakai toilet itu menjaga kebersihannya sendiri, kebersihan tempat menampung kotorannya sendiri, kita mungkin tak membutuhkan penjaga toilet di ruang- ruang publik.

Bill Gates benar: toilet memang menunjukkan perilaku sebuah bangsa.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)