Kisah Frederick Bailey yang terbebas dari perbudakan setelah belajar membaca. Buku sebenar-benarnya jalan menuju kebebasan.
TIAP 23 April, dunia memperingati Hari Buku. Ini peringatan yang digagas UNESCO pada 1995 untuk memperingati hari kematian dua penulis besar, Miguel de Cervantes dan William Shakespeare, pada 1616. Tapi baiknya kita mengingat kisah hidup Frederick Bailey, seorang aktivis politik dan calon wakil presiden kulit hitam Amerika pertama pada 1872, yang mendapatkan jalan kebebasan dengan membaca.
Seperti umumnya keadaan di Maryland pada 1820-an, Bailey menjadi budak sebuah keluarga kulit putih. Ia direnggutkan dari ayah dan ibunya sejak usia belum dua tahun. Ia bekerja di perkebunan dengan setiap hari mendengar jeritan pilu bibi-bibinya yang dicambuk sepanjang hari oleh tuan mereka karena dianggap bersalah tanpa alasan jelas ketika bekerja. Dalam biografinya, Bailey menyebut hukuman itu agaknya sekadar untuk melampiaskan kekesalan si tuan pada hal lain yang samar-samar.
Majikannya menjual Bailey ketika usianya 10 kepada keluarga Thomas Auld, yang mengirimnya untuk bekerja di rumah seorang kerabat di Baltimore. Keluarga Hugh Auld adalah keluarga yang gemar membaca. Datang ke rumah mereka para tamu sambil menenteng buku. Diam-diam Bailey mengintip obrolan-obrolan membaca itu dan mengikuti gerak bibir para tetamu.
Bailey menghapal ucapan mereka dan mencocokkannya dengan buku yang ia curi-curi baca dari rak buku Sophia, istri Hugh. Tahu budaknya coba belajar membaca, Sophia lalu mengajarinya alfabet. Ia tak tahu ada larangan orang kulit putih mengajar membaca atau memberikan informasi tentang dunia luar kepada budak mereka yang hitam. Sampai akhirnya Hugh tahu apa yang dilakukan istrinya itu.
Hugh memarahi Sophia yang pendiam di depan Bailey. Seperti diceritakan kembali oleh Carl Sagan dalam The Demon-Haunted World, Hugh mengatakan bahwa apa yang dilakukan Sophia adalah perbuatan terlarang. Ia menjelaskan, kurang lebih, bahwa mengajari negro membaca akan membuat mereka jadi pintar sehingga mereka akan menuntut kebebasan.
Dari situ Bailey tahu cara berhenti menjadi budak yang seolah mengutuk manusia-manusia hitam di Amerika: dengan membaca dan menulis. “Pengetahuan adalah jalan para budak menuju kebebasan,” tulisnya, kelak pada 1851 dalam buku Narrative of the life of Frederick Douglass, an American slave.
Kemarahan Hugh pun memicu Bailey kian giat belajar membaca. Diam-diam ia mengintip anak-anak majikannya ketika diajari membaca oleh Sophia, rajin membuka kamus alfabet dan buku-buku.
Setelah mengenal alfabet secara otodidak, Bailey mulai membaca koran, bahkan membaca The Columbian Orator pada usia 12. The Columbian adalah kumpulan pidato para pendiri Amerika yang terbit pada 1797. Ini buku ajar wajib di sekolah dasar Amerika untuk memahirkan para siswa membaca, menulis, dan artikulasi, dengan sisipan ajaran-ajaran tentang hak asasi. “Tiap kali ada kesempatan, saya membaca buku itu,” kata Bailey.
Setelah beberapa kali berpindah majikan, dan gagal berkali-kali kabur dari rumah tuannya dengan cara berkelahi dengan anak-anak mereka, Bailey pindah ke New England yang melarang perbudakan hingga ia benar-benar menjadi manusia merdeka bahkan menjadi aktivis politik ketika tinggal di New York. Di sana ia mengubah namanya menjadi Frederick Douglass.
Selain mempromosikan persamaan hak manusia tanpa memandang ras, ia juga orator yang giat berpidato tentang pentingnya persamaan hak tanpa bias gender. Ketika ia diajukan menjadi calon wakil presiden dari Partai Persamaan Hak, calon presidennya adalah Victoria Woodhull, perempuan kulit putih yang memimpin Gerakan Perempuan Memilih. Pemilihan dimenangi kandidat Republik, Ulyssess Grant—tahun pemilu Amerika pertama paling kisruh karena calon Demokrat meninggal setelah pemungutan suara tapi sebelum electoral college.
Bailey, sementara itu, kendati tak masuk bursa calon presiden untuk dipilih, ia kemudian jadi Menteri untuk Urusan Haiti, semacam duta besar, selama 1889-1891 ketika Presiden Amerika dijabat Benjamin Harrison.
Dalam bab “Jalan Menuju Kebebasan” itu, Carl Sagan berkomentar mengapa buta huruf masih ada di bagian-bagian dunia lain ketika Frederick Bailey sudah berani mengajari dirinya sendiri membaca dan menulis pada awal 1800? Tentu saja tidak sesederhana itu. Bailey punya cukup alasan untuk bekerja keras bisa membaca dan menulis karena tujuannya hanya satu, yakni menggapai kebebasan.
Tapi tanpa tujuan sengit itu pun, menggapai ilmu pengetahuan adalah cara kita mencapai kebebasan—hak paling dasar yang harus kita miliki sebagai manusia. Dengan membaca, kita akan menjadi manusia yang tahu, dengan tahu kita akan berhati-hati, dengan hati-hati kita akan selamat dalam membuat keputusan-keputusan untuk hidup kita.
Kita mungkin akan terlambat mengetahui semesta yang luas ini, yang dihuni triliunan bintang dan planet, seandainya Albert Einstein tak membaca Poeple’s Book of Natural Sciences yang ditulis Aaron David Bernstein sewaktu SD. Buku yang membuat Einstein mengajukan pertanyaan-pertanyaan musykil kepada gurunya di tahun 1890-an, tentang gelombang cahaya, tentang alam semesta–pertanyaan yang membuatnya diusir dari sekolah dan membuat anak kecil gondrong ini merenungkan lebih jauh buku Bernstein sembari berkelana di hutan-hutan Italia utara.
Sejarawan terkenal hari ini, Yuval Noah Harari, memilih tak punya telepon seluler agar hidupnya tak terinterupsi oleh tsunami informasi. Jika ia ingin mengetahui sesuatu yang membuatnya penasaran, Harari akan membaca buku. Dengan begitu, ia akan mendapat informasi secara utuh, tidak sepotong-sepotong seperti kita menyerapnya melalui Internet.
Banyak penelitian menyebutkan bahwa kegiatan membaca akan mengurangi stres. Masuk akal karena dengan membaca, kita membuat pikiran bekerja. Sebab, dalam membaca, kita tak hanya menyerap informasi di dalamnya, tapi juga bertarung dengannya. Memorabilia adalah jejak-jejak pertarungan intelektual kita dengan pikiran-pikiran para penulis buku.
Membaca juga punya hubungan sebab-akibat dengan menulis. Penulis yang baik biasanya pembaca buku yang baik. Keduanya saling membutuhkan, keduanya tak bisa dipisahkan. Jika Anda suka membaca, Anda akan terdorong menuliskan pengetahuan dan petualangan baru yang Anda serap itu. Sebaliknya, Anda terdorong untuk membaca sebanyak mungkin pengetahuan karena menulis membutuhkan asupan informasi yang cukup tentang sesuatu.
Sebuah kebajikan lama mengingatkan, saya kutip dari seorang teman, “Penulis adalah mereka yang tahu segala sesuatu dan segala tahu tentang sesuatu.”
Tanpa membaca, seorang penulis tak akan jadi orang yang segala tahu dan tahu segala. Penulis yang tak tahu segala dan segala tahu akan menulis sesuatu serba sedikit dengan argumen yang rapuh dan terbatas. Karena itu, menulis dan membaca saling mendorong dan menguatkan. Seperti tulisan ini, yang lahir setelah saya ingat kembali Frederick Bailey lewat buku The Demon-Haunted World itu.
Selamat merayakan buku, selamat mengarungi dunia baru!
Gambar: awarenessdays.com
Memberi semangat untuk terus belajar menulis. Harus, terus harus… dan perbanyak membaca. Bagus tulisannya Mas.
semangat, bu Inung