Novel Yukiguni dari Yasunari Kawabata sampai ke tangan pembaca Indonesia dalam tiga terjemahan. Bersumber dari bahasa Jepang dan Inggris.
DALAM sebuah esai pendek di Guardian Weekly edisi 16 Januari 1994, Umberto Eco mengutip pepatah Italia yang menyebut “setiap penerjemah adalah pengkhianat”. Dalam bahasa Indonesia, pepatah ini seperti sebuah kutukan karena seolah-olah para penerjemah adalah para penjahat. Dalam kosa kata mafia, pengkhianat adalah dosa yang setara dengan murtad. Tak berampun.
Sesungguhnya, Eco mengutip pepatah itu untuk menjelaskan bahwa betapa rumitnya problem penerjemahan. Setiap kata dalam sebuah bahasa punya makna dan nuansa, yang sering kali tak tertangkap oleh padanannya dalam bahasa lain karena ada budaya panjang yang membentuknya, yang mengeras dan melentur, setelah dipakai secara berulang-ulang oleh para penuturnya.
Orang Inggris biasa mengatakan “I love you” tiap hendak berpisah sementara dengan pasangan mereka. Orang Indonesia tentu bisa memakai kalimat itu, bahkan memakai terjemahannya “aku cinta kamu”, tapi menjadi beda nuansanya karena cinta tak harus dinyatakan tiap waktu atau ada cara lain yang lebih bermakna dalam menyatakan cinta.
Sewaktu kecil, tiap hendak berangkat ke sekolah, saya mencium tangan ayah dan ibu. Kini anak-anak saya mencium pipi sebelum berlari mengejar mobil jemputan ke sekolah mereka. Akan aneh jika waktu itu saya pamit ke sekolah dengan mencium pipi orang tua karena tak terbiasa. Komunikasi sangat bergantung pada bagaimana tradisi terbentuk.
Maka terjemahan sebuah teks sebetulnya praktis sebuah karya baru kendati penerjemahnya berusaha sekeras mungkin setia kepada teks asli. Mungkin tak ada bahasa yang murni, tapi sebuah bahasa sesungguhnya tak bisa diterjemahkan, karena bahasa lain hanya menyediakan padanannya belaka. Karena itu pepatah Italia—bahasa manusia yang tua—tersebut menjadi relevan dan cerkas menjuluki para penerjemah sebagai pengkhianat.
Tidak dalam arti kejahatan, tapi karena ketidakmungkinan bahasa lain menyerap bahasa lain. Umberto Eco, penulis novel The Name of the Rose yang fenomenal itu, mengibaratkan proses penerjemahan teks bahasa seperti jual-beli karpet di pasar. “Jika penjual mematok harga 100 dan kau menawar 10, kalian akan bersepakat pada harga 50,” tulisnya. Pada akhirnya, penerjemahan adalah sebuah cara menyampaikan gagasan kepada siapa saja, ke arah siapa saja.
Agaknya, demikianlah penerjemahan novel Yukiguni, novel pendek karya Yasunari Kawabata yang ia tulis pada 1935 sebagai cerita bersambung di dua majalah, karya penulis besar Jepang yang meraih Nobel pada 1968. Kita membaca terjemahannya dalam bahasa Indonesia dalam tiga jenis terjemahan oleh tiga penerjemah berbeda.
Terjemahan pertama oleh Anas Ma’ruf tahun 1972. Judulnya Negeri Salju. Anas menerjemahkannya dari versi Inggris Snow Country oleh Edward Steidensticker. Ajip Rosidi, sastrawan dan dosen di beberapa universitas di Jepang sejak 1981, bersama Matsuoka Kunio menerjemahkan Yukiguni menjadi “Daerah Salju” pada 1987.
Penerjemahan itu, kata Ajip, untuk “memperbaiki” terjemahan Anas yang tak setia kepada bahasa asli yang dipakai Kawabata. Menurut Ajip, apa yang dilakukan Edward bukan menerjemahkan melainkan interpretasi. Edward berorientasi kepada pembaca Inggris sehingga tak menerjemahkan novel itu secara ketat. Zaman Edo dan Meiji tak disebut spesifik karena pembaca Inggris dianggapnya tak memahami perbedaan dua masa klasik dalam sejarah Jepang itu.
Judul Inggris itu kemudian jadi masalah ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Menurut Ajip, “kuni” dalam judul itu memang mengandung pengertian wilayah, tapi bukan “negeri” yang didefiniskan dalam bahasa Indonesia sebagai kata yang mengandung pengertian teritori dan administrasi. Sebab, “kuni” di sana tak merujuk pada sebuah wilayah dengan batas-batas tertentu. Maka Ajip menerjemahkan judul novel itu dengan “Daerah Salju”.
Kritik Ajip masuk akal. Tapi tidakkah ia juga sedang membuat interpretasi atas sebuah kata dan frase dalam bahasa Jepang?
Terjemahan ketiga terbit pada 2009 oleh A.S Laksana. Saya menemukannya pekan lalu di toko buku loak di Bogor. Judulnya memakai judul Ajip tapi, agaknya, ia memakai sumber bahasa Inggris dan menerjemahkannya agak lebih bebas. Kalimat dan gaya bahasanya lebih lancar dan kekinian, dalam arti memakai struktur bahasa Indonesia kiwari. Barangkali karena ada perbedaan nuansa dalam bahasa Indonesia tahun 1987 dan 2009.
Bahasa Indonesia tahun 1980-an masih terasa pengaruh struktur bahasa Belanda. Setelah 1990, struktur bahasa Indonesia cenderung berkiblat kepada bahasa Inggris, yang mengedepankan bangunan subjek + predikat + objek + keterangan. Dua nuansa dalam satu bahasa terjemahan itu pun menjadi punya rasa yang berbeda.
Laksana bahkan memasukkan unsur-unsur lokal. Dalam terjemahan Ajip, teriakan para petugas pemadam kebakaran memakai teriakan pembangkit semangat orang Jepang: rambatirata hurseh (halaman 211). Pada terjemahan Laksana hanya disebut “sejumlah orang menyeret pompa air di jalan raya sambil meneriakan lagu semacam “holopis kuntul baris” (halaman 181). Tentu saja Kawabata tak kenal “holopis kuntul baris”, slogan yang dikenalkan Bung Karno lalu dipopulerkan lagu Binsar Sitompul untuk menyebut “kerja gotong royong”.
“Holopis kuntul baris” itu teriakan para pekerja paksa di zaman Daendels di Indonesia. Konon, ini teriakan membangkitkan semangat yang sebetulnya salah eja untuk nama mandor kerja paksa, Don Lopez Comte du Paris. Orang Jawa tak bisa mengeja nama orang Spanyol yang sulit ini. Lahirlah, “holopis kuntul baris”. Don Lopez itu orang Spanyol tapi tiba ke Indonesia sebagai orang Prancis.
Dalam teori penerjemahan, apa yang dilakukan Ajip itu berorientasi pada sumber asli sebuah naskah. Sementara Edward dan Laksana, beriorientasi pada target, yakni pembaca dalam bahasa terjemahan itu.
Di luar soal terjemahannya, novel ini menyenangkan karena keindahannya. Kawabata sanggup membangkitkan suasana Jepang utara yang ngungun tertimbun salju di sebuah pegunungan. Tokohnya hanya empat, dengan aktor utama Shimamura dan Komoko. Shimamura seorang laki-laki beristri yang hidup dari warisan sehingga pekerjaannya hanya menyalurkan hobi: jalan-jalan naik gunung.
Sekali waktu, setelah sepekan naik gunung, ia istirahat di sebuah pemandian air panas. Ia memesan geisha. Tapi kali itu sedang ada perjamuan besar sehingga 12 geisha di sana sibuk. Ia pun dikenalkan pada seorang perempuan muda yang bersedia menghibur dan melayaninya. Dari sinilah cerita berkembang sebagai sebuah hubungan intim antara keduanya. Kawabata menghadirkan alur yang detail, percakapan ringan yang sepele tapi berkesan.
Hubungan keduanya menjadi rumit karena Shimamura sudah beristri, sementara Komoko juga sudah bertunangan dengan Yukio, anak guru musik tempat ia nebeng tinggal. Kepada Shimamura ia membantah bertunangan tapi mengaku menjadi geisha karena butuh uang untuk pengobatan laki-laki itu. Ada juga Yoko, gadis yang lebih cantik ketimbang Komoko di mata Shimamura, yang mengurus Yukio laiknya seorang istri.
Yoko muncul selintas-selintas, karena panggung sepenuhnya dikuasai Shimamura dan Komoko. Beberapa adegan dan keterangan waktu tidak terlalu jelas karena Kawabata menyusun alur novel ini bolak-balik antara masa kini dan lalu. Beberapa percakapan sangat esoteris, bahkan tanpa catatan kaki sehingga sulit menghubungkan satu adegan dengan adegan lain. Tapi justru karena itu, ceritanya menjadi melodius karena setiap tindakan tiap-tiap orang lahir dari pikiran-pikiran terdalam. Yukiguni seperti haiku panjang yang indah dan mengesankan, yang sulit disampaikan dengan cara lain lewat bahasa lain.
Apakah para penerjemah Yukiguni adalah para pengkhianat? Ya, karena saya bisa menikmati novel yang hebat ini.
One thought on “Satu Novel Kawabata, Tiga Terjemahan Indonesia”