Kumpulan buku untuk liburan di sekitar Lebaran atau libur apa saja.
LIBUR Lebaran kali ini lumayan panjang, 11 hari. Potong dua hari untuk perjalanan pulang-pergi mudik, kita punya sembilan hari untuk berleha-leha. Karena di bulan Syawal biasanya makanan jadi enak dan selera memangsa juga naik setelah sebulan puasa, ada baiknya tak melupakan buku. Selain memberi makan untuk perut, makanan untuk otak juga penting. Hidup, kata Oppie Andaresta, harus seimbang.
Sebab membaca itu rekreasi itu sendiri, dengan tanpa batas. Tak ada yang lebih menyenangkan selain melanglang buana. Membaca bisa menjadi satu cara melancong tanpa harus pergi. Maka membaca dan liburan menjadi dua sejoli yang tak bisa dipisahkan. Ia seperti kopi dan susu dalam racikan cappuccino. Keduanya tak bisa direnggutkan, keduanya saling membutuhkan.
Maka liburan tanpa buku seharusnya jadi hambar. Apalagi tahun ini dan tahun lalu ada banyak buku bagus yang layak dibaca kapan saja, saat liburan atau tak liburan. Saat Lebaran atau hanya ketika cuti karena kantor memperingatkan kita lupa ambil jatah 12 hari dalam setahun. Bahkan ketika akhir pekan.
Libur Lebaran kali ini mungkin akan sama dengan tahun-tahun lalu: saya pulang ke kampung, mengunjungi rumah masa kecil, menengok kenangan yang selalu saja meremang dalam bufet dan album foto lama, pada kaca dan jendela yang bingkainya tua, pada lemari dan sice tanpa lampu. Juga pada sore: mengarungi dua bukit tempat dulu menggembala kambing sembari mendengarkan dongeng di radio sambil menyelesaikan soal-soal fisika di buku-buku Yohanes Surya.
Tak ada lagi yang menyenangkan lebih dari itu: sore menjadi sempurna dengan duduk di ranjang bambu saung yang licin karena acap diduduki, di tengah bentang ladang yang luas, pada semilir anginnya yang meruapkan asap jerami, menunggu kambing merumput, sambil menjelajah ilmu pengetahuan. Buku adalah teman setia di masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Saya akan ke sana lagi, ke bukit-bukit itu lagi, mereka-ulang adegan masa-masa itu lagi. Maka saya perlu buku. Berikut ini enam buku yang saya bawa dalam libur Lebaran tahun ini. Saya terbiasa membaca beberapa buku sekaligus. Di rumah, saya tempatkan buku di lokasi-lokasi yang biasa saya datangi: sofa ruang tamu, toilet, kamar tidur, dan meja kerja, juga di tas karena ada 4 jam waktu kosong ketika naik kereta bolak-balik Jakarta-Bogor. Di semua tempat itu ada buku yang sedang saya baca.
Jadi buku-buku ini tengah saya baca, belum selesai, tapi ada juga yang hampir tamat, atau sudah finis. Buku yang tamat lebih dulu biasanya karena tersimpann di lokasi yang paling sering saya datangi: toilet.
A Gentleman in Moscow. Ini buku paling laris tahun 2017 dan 2018, terutama karena dipilih jadi buku favorit oleh Barrack Obama. Menceritakan Pangeran Alexander Ilyich Rostov yang harus menjalani tahanan rumah di Hotel Metropole di seberang Kremlin, sesaat setelah Lenin berhasil menggulingkan Tsar lewat Revolusi Oktober—revolusi kaum Bolsyewik yang menjadi awal lahirnya Uni Soviet yang komunis. Secara teknis, buku ini novel sejarah—semua cerita fiktif tapi semua tempat bisa dilacak kembali hingga hari ini.
Thus Spoke the Plant. Judulnya mengingatkan pada buku babon
Friedrich Nietzsche: Thus Spoke Zarathustra. Ini buku hasil penelitian tapi disajikan secara populer dengan gaya naratif yang memikat oleh Monica Gagliano, peneliti tumbuhan dari Australia. Setelah bertahun-tahun meneliti pelbagai flora dan fauna di hutan-hutan tropis Amazon, ikan aneh di perairan Ambon, hingga penghuni lautan Pasifik, Monica sampai pada kesimpulan bahwa tumbuhan bisa bercakap satu sama lain. Mereka bahkan menyimpan memori. Perjalanan penelitian sampai pada kesimpulan itu adalah isi buku ini, interaksi Monica dengan tumbuhan, interaksi Monica dengan orang-orang lokal yang menuntunnya bertemu dengan pohon-pohon langka yang dihormati manusia di sekelilingnya.
Kosmos. Ini buku lama Carl Sagan. Gramedia baru menerjemahkan buku profesor astronomi dan luar angkasa Universitas Cornell paling terkenal ini. Di dalamnya mengulas soal semesta. Bumi ternyata hanya zarah dalam triliunan galaksi dan miliaran triliun planet dan bintang. Menurut Sagan, diperkirakan ada 10 miliar triliun planet dan bintang. Matahari adalah bintang yang dikeliling planet, salah satunya bumi. Sistem tata surya kita berada dalam galaksi Bima Sakti—Sagan menjelaskan asal-usul penamaan mengapa orang Inggris menamainya Milky Way, jalan susu.
Educated. Kisah Tara Westover yang menyentuh, seorang anak perempuan yang hidup dalam keluarga penganut Mormon di Amerika. Tara praktis tak bisa sepenuhnya mendapatkan hidup modern layaknya orang Amerika lain. Agama melarang ia divaksin, ia dan saudara-saudaranya lahir di rumah, karena agama melarang percaya dokter dan pemerintah. Ayahnya seorang penegak ajaran Mormon yang keras, tak segan menyalak jika ada orang lain yang menyoal gaya hidup dan pandangannya, bahkan mertuanya sendiri. Ketika nenek Tara meminta cucu-cucunya cuci tangan sebelum makan, ayahnya melarang. “Anak saya tak kencing di tangan,” katanya. Tara kemudian mendapat bea siswa hingga studi ke jenjang doktor.
Weaponized Lies. Buku yang relevan di baca hari-hari ini, hari ketika informasi membludak dengan beragam jenis, dan kita sulit membedakan mana yang bohong mana yang nyata. Apalagi jika ditopang oleh statistik dan seolah-olah disokong data yang meyakinkan. Daniel Levitin memandu kita tetap kritis pada informasi apa pun, terutama pada statistik, grafik, dan data. Ia mengajari kita cara melihat data dengan benar, dengan perspektif yang relevan. Dengan caranya yang sederhana dan kocak, ia menunjukkan banyak grafik yang seperti benar padahal hanya menampilkan separuh kenyataan, separuh lainnya disembunyikan, karena tak sesuai dengan propaganda orang yang memakainya.
Yukiguni. Novel klasik Yasunari Kawabata, penulis novel Jepang yang mendapat hadiah Nobel Sastra pada 1968. Bercerita tentang Nakamura yang berhubungan dengan seorang gadis yang menjadi geisha untuk mengobati kekasihnya yang sakit. Nakamura hidup dari warisan hingga pekerjaannya menyalurkan hobi, yaitu jalan-jalan naik gunung, meninggalkan istrinya di Tokyo. Hubungan Nakamura dan Komoko, geisha itu, kian intim dan menguak sejarah hidup keduanya, hingga tiba Yoko, gadis lain yang mengurus kekasih Komoko yang sakit itu. Hubungan jadi ruwet setelah itu, tapi Kawabata menyajikannya secara pelan, dengan nada rendah, hingga kita bisa merasakan gigil Jepang dalam unggun-timbun salju. Saya ulas bukunya di sini.