Dari buku ini kita tahu mengapa Greta Thunberg menjadi juru bicara yang efektif dalam gerakan mencegah perubahan iklim. Kata-katanya membius.
GRETA Thunberg adalah bintang baru gerakan mencegah pemanasan global. Gadis 16 tahun asal Swedia ini seakan-akan menjadi simbol melawan perubahan iklim dan kian mempopulerkan isu lingkungan yang menuai pro-kontra itu. Dengan retorikanya yang mengentak, dengan wajah dinginnya yang polos, Greta mengimbau seluruh dunia, terutama para politikus dan pemimpin tiap negara, bertindak bersama mencegah bumi kian panas.
“Saya ingin Anda panik,” katanya, saat berbicara di depan para kepala negara kaya dan pengusaha top dunia dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, pada Januari 2019. “Saya ingin Anda merasakan seperti yang saya rasakan: rumah kita sedang terbakar. Bertindaklah seakan tak ada yang bisa kita lakukan selain menyelamatkannya.”
Sejak itu Greta kian populer. Seruannya agar anak-anak seusianya mogok sekolah dan turun ke jalan menyerukan para pemimpin bertindak menyelamatkan planet ini bergema hingga ke 105 negara pada 15 Maret 2019. Greta menjadi penyeru paling efektif dan didengar di seluruh dunia kini. Ia kian sering berbicara di forum-forum bergengsi, bersama para selebritas, mengingatkan tentang krisis iklim.
“Kami mogok sekolah karena kami sudah menyelesaikan pekerjaan rumah kami,” katanya di depan parlemen Inggris. “Sekarang tinggal Anda sekalian yang belum menyelesaikan pekerjaan rumah Anda terhadap planet ini. Apakah kalian mendengarkan saya? Apakah mikrofon ini berfungsi? Apakah bahasa Inggris saya cukup jelas untuk Anda cerna?” Greta kian menggelegak.
Agaknya, karena itulah Greta dicintai banyak orang. Dari buku ini, No One is Too Small to Make a Difference yang berisi kumpulan pidatonya, kita akan tahu mengapa ia berhasil menjadi orang yang berpengaruh dalam isu krisis iklim. Ia memadukan banyak hal dengan sempurna dalam sosok seorang juru bicara: masih remaja, pintar beretorika, kukuh dalam sikap, membius orang lain dengan gaya bercerita yang efektif—lewat metafora-metafora yang renyah dan gampang dicerna.
Media Inggris yang prestisius, The Guardian, kini mengikuti kosa kata Greta dalam memberitakan pemanasan global. Mereka tak lagi memakai kata “climate change” tapi “climate crisis” atau “climate emergency”. Koran ini tak lagi memakai “global warming” tapi “global heating”. Greta telah menyadarkan semua orang bahwa sebuah tindakan bisa lebih efektif jika setiap orang memakai kata yang sama, tanpa eufimisme.
Tak hanya diksi, Greta memakai metafora untuk menyampaikan pesan-pesan dalam pidato yang ia tulis sendiri. Ia juga mempraktikkan hidup ramah lingkungan sejak dalam pikiran. Greta bepergian memakai bus listrik, alih-alih naik pesawat karena memicu emisi gas rumah kaca— problem yang ia sentil tiap kali. Ia menjadi vegan karena peternakan penyebab deforestasi dan karbon. Ia berhasil memaksa orang tuanya—seorang seniman dan penyanyi opera—serta saudara perempuannya untuk mengikuti apa yang ia anjurkan.
Syahdan, Greta menjadi peduli terhadap planet ini sejak usia 8. Ketika gurunya memutar video beruang kutub di Utara yang kehilangan rumah akibat es yang menghilang karena suhu memanas, Greta menangis tak henti-henti. “Bayangan tentang nasib beruang itu menancap di kepala saya,” katanya, kepada Guardian.
Dari orang tuanya, Greta tahu soal pemanasan global serta penyebabnya. Energi fosil sebagai sumber bahan bakar menyemburkan emisi karbon ke atmosfer dan terperangkap di sana. Panas matahari yang memancar tak lagi terserap oleh ozon sehingga memantul kembali ke bumi. Para ilmuwan memprediksi jika gaya hidup manusia tak berubah dalam 100 tahun ke depan, bumi bertambah panas 2 derajat Celsius, yang bisa menaikkan air laut hingga 3 meter.
Greta bergidik membaca semua informasi itu. Sebagai penderita Asperger, sindrom autis yang membuatnya selalu gelisah pada sesuatu yang buruk, ia ingin melakukan sesuatu. Sampai akhirnya ia bertemu Bo Thorén, aktivis lingkungan Swedia, yang membaca tulisan Greta tentang lingkungan di koran Svenska Dagbladet pada Mei 2018. Thorén menyarankan Greta mogok sekolah dan berdemo menentang perubahan iklim seperti anak-anak sekolah Amerika menentang aturan senjata api di Parkland.
Tapi tak ada teman yang mau bergabung. Pada 20 Agustus 2018, Greta akhirnya mengayuh sepeda sendiri ke gedung parlemen Swedia. Ia duduk di sana seorang diri hingga sore setiap Jumat sambil membentangkan tulisan di kertas karton: skolstrejk för klimatet, mogok sekolah untuk iklim. Sejak itu gerakan mencegah pemanasan global punya wajah baru yang segar.
One thought on “Greta Thunberg dan Kita”