Setelah Nonton Bumi Manusia

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Semoga Anda jadi tertarik menonton film Bumi Manusia. Ini film penting tahun ini.

TIAP kali menonton film yang ceritanya diambil dari buku, saya tak pernah mengharapkan cerita utuh dalam gambar-bergerak. Sebab saya sudah tahu ceritanya, sudah tahu alurnya, sudah tahu akhir kisahnya. Maka plot film Bumi Manusia jadi terasa majal karena ia meresumekan sebuah buku yang baru habis dibaca 2-3 hari dalam 3 jam durasi sinema.

Saya berharap eksplorasi dari satu-dua subplot tanpa kehilangan gambar besarnya. Karena itu saya tak berharap pula tiap adegan dalam buku ditampilkan seluruhnya, atau memampatkan semuanya. Toh, ingatan terhadap cerita adalah ingatan dalam kesimpulan, yang patah-patah, lamat-lamat.

Ketika membaca sebuah bab dalam sebuah buku yang asyik, saya menyangka akan terus ingat pada sebuah adegan atau kalimat yang bagus. Tapi akhir cerita yang menghubungkan semua plot, semua misteri, semua ketidaknyambungan, menjadi gambar besar tentang cerita itu—meruntuhkan plot bagus yang jadi terlihat kecil itu. Kita mengingat hal-hal pokok yang menopang sebuah kisah besar.

Saya sudah tahu siapa yang memperkosa Annelis yang ditampilkan dengan ketegangan dalam film melalui dialog Minke dan Dokter Martinet. Martinet memaksa Minke menyebutkan siapa yang telah meniduri Annelis pertama kali—setelah ia memeriksa demam di pagi setelah Annelies bercinta dengan Minke. Sementara Minke bertahan tak mau menyebut namanya. Maka ketika wajah Robert dimunculkan, pada saya, ia tak lagi jadi suspens.

Tapi, tentu saja, Hanung Bramantyo perlu memikirkan penonton yang lain yang belum membaca bukunya sehingga ia menampilkan plot Bumi Manusia secara utuh. Memang repot menyenangkan semua orang.

Kesan pertama di menit-menit awal film Bumi Manusia adalah merinding melihat Iqbal Ramadhan. Wajahnya yang kekanakan meruntuhkan sosok Raden Mas Tirto Adhi (di film ditulis Adhie) Soerjo (d/h RM Djokomono). Setidaknya sosok dia dalam benak saya. Tirto, sosok yang dipinjam Pramoedya Ananta Toer untuk karakter Minke, adalah seorang wartawan yang garang pada masanya. Setidaknya garang dalam kesan yang saya tangkap dari buku Pramoedya itu.

Ia tak segan mengecam pemerintahan Hindia Belanda yang semena-mena. Mungkin karena kosmetik Iqbal kurang digarap untuk memoles citra itu, sehingga ia jadi seperti anak HBS yang belum cukup umur, anak bupati yang balig terlalu cepat. Ia terlalu manis untuk anak Jawa—meski ningrat—tahun 1800-an. Barangkali karena ia membiarkan poninya terurai seperti anggota grup Bangstan tiap kali memakai topi fedora.

Karakter Annelies Mellema pas pada wajah, sosok, dan kosmetik Mawar de Jong. Robert Mellema terlalu dicitrakan “sosok sinetron” yang selalu memasang muka masam untuk menunjukkan ia punya hati dan pikiran yang jahat. Jadinya, karakter jahat terasa ditempelkan ke wajah Giorgino Abraham belaka.

Herman Mellema agak asyik dengan tubuhnya yang tambun dan frustrasi. Tak banyak bicara, gestur dan bahasa tubuhnya menunjukkan semua cerita tentang kemalangan hidupnya yang hancur setelah anak sulungnya dari istrinya yang sah di Belanda menuntut hak penghidupan.

Karakter paling kuat tentu saja Ine Febriyanti yang memerankan Sanikem—gundik yang menjelma Nyai Ontosoroh, sosok “ibu-ibu Menteng”, jika meminjam tafsir W.S Rendra—kaya, terpelajar, berdaya.

Meskipun tak digambarkan bagaimana Sanikem membaca koran atau novel Eropa sebelum berangkat tidur, seperti dalam novelnya, Ine berhasil menghidupkan Ontosoroh yang menjadi pusat cerita Pramoedya itu dalam jenis kebaya, gerak-gerik, sorot hingga air matanya. Setidaknya, demikianlah yang saya bayangkan tentang sosok Nyai, meskipun tak terlalu berharap hidungnya semancung Ine.

Dalam film, Ontosoroh digambarkan pandai mengelola ladang pertanian dan pabrik susu milik Herman Mellema, suaminya, bukan pabrik gula yang menghimpun para petani ladang tebu. Dan inilah plot film Bumi Manusia: merangkum kisah panjang pergolakan keluarga Ontosoroh yang tak punya posisi kuat di mata hukum Hindia Belanda dan Minke yang coba melawannya melalui tulisan. Tapi bagaimana Ontosoroh dan Minke punya pemikiran-pemikiran radikal tak digambarkan dengan jelas.

Para petani di ladang Ontosoroh hanya digambarkan sebagai mereka yang berkaki kotor, bukan sehimpun orang yang sudah punya pemikiran memberontak juga kepada tatanan kolonial yang melahirkan orang-orang macam Kartini atau Djokomono dan para aktivis-politik awal Nusantara. Juga Wonokromo yang adem dan tentrem, seolah tanpa gejolak dan kegelisahan para petani tebu yang mengorganisasikan diri di masa kolonial itu.

Latar itu hilang dan tenggelam oleh drama keluarga Ontosoroh dengan segala melonya, dengan segala hubungan pelik pribumi-Indo-Eropa, dirusak pula oleh suara serak Iwan Fals yang menyanyi Ibu Pertiwi. Hanung kelihatannya tak tertarik mengeksplorasi gagasan kebangkitan masyarakat Indonesia di awal gerakan nasionalisme ini. Apa latar sosial dan intelektual yang mempengaruhi keduanya sehingga berani melawan kekuasaan Belanda yang kuat itu?

Semoga Anda jadi tertarik menontonnya. Ini film penting tahun ini.

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)