Amarzan Loebis meninggal tanpa jejak sejarah peristiwa 1965.
KEMATIAN tak serius benar, bagi Amarzan Loebis. Ia wafat pada 2 September 2019, beberapa jam setelah pulang dari Rumah Sakit Siloam Cikarang, dalam tidur yang damai pukul 3.30 WIB. Sejak dua tahun lalu ia sakit, terutama setelah terserang stroke. Kesehatannya menurun, apalagi beberapa kali terjatuh karena tubuhnya tak seimbang ketika berjalan.
Sewaktu Rahman Tolleng, sahabatnya, meninggal pada 29 Januari 2019, Amarzan menelepon karena saya mengabarkan kabar sedih itu lewat telepon anaknya, Batara. Amarzan bertanya bagaimana Rahman meninggal. Dalam 20 tahun terakhir keduanya menjadi evaluator rubrik “Opini Tempo” tiap Rabu.
Ia memang khas wartawan tua: curious dan skeptic pada informasi—dua modal wartawan yang wanti-wanti ia ingatkan selalu. “Jurnalisme mati ketika wartawan berhenti bertanya,” katanya. Supaya tak mati, agar wartawan tak mati angin dengan pertanyaan, modalnya, ya, dua itu: selalu penasaran, selalu ragu-ragu, selalu ingin tahu, bahkan selalu curiga pada tiap-tiap keping informasi.
Dengan curious dan skeptic, wartawan bisa menggali informasi ke jauh faktanya. Dengan ragu dan curiga, wartawan juga akan terbebas dari membuat kabar bohong karena ia akan terus menguji kebenaran sebuah kabar, kepada banyak narasumber, kepada data, terhadap fakta-fakta. “Sebab wartawan menulis realitas,” katanya. “Realitas itu fakta yang telah ditafsirkan.”
Rupanya, informasi dalam wawancara singkat per telepon itu ia pakai sebagai bahan untuk memberikan testimoni dalam perkabungan untuk Rahman Tolleng di Gedung Tempo, 7 Februari 2019. Ketika saya menyilakannya berbicara, Amarzan—seperti biasa—segera merebut perhatian hadirin dengan lead yang mengentak.
“Jika Anda stroke, jangan mau ditolong Bagja dan Yopie Hidayat,” katanya, menyebut juru bicara Wakil Presiden Boediono itu. “Berdoalah supaya ditolong Marsillam Simandjuntak.”
Marsillam, jaksa agung di era Presiden Abdurrahman Wahid, malam itu juga hadir menjadi pembicara. Aktivis mahasiswa 1966 itu pernah sama ditahan oleh rezim Orde Baru, bersama Rahman.
“Jika ditolong Bagja, Anda akan selamat dan menderita seperti saya. Jika ditolong Marsillam, Anda akan mati, seperti Pak Rahman.”
Romo Mudji Sutrisno, yang duduk di sebelah saya, geleng-geleng kepala mendengar Amarzan bercerita tentang sakit dan kematian, dengan humor dan lelucon. Meski ia menyebut “menderita”, suaranya tegas kendati parau, ceritanya lebih banyak lucu. Di tangan Amarzan bahkan sakit dan kematian jadi jenaka. Meskipun, menurut dia, stroke itu sakit yang menjengkelkan karena pikiran tetap jalan sementara tubuh tak meresponsnya. Pikiran memerintahkannya melangkah, tapi ketika diikuti kakinya malah lunglai.
Juga ketika ia menceritakan persahabatan dengan Rahman Tolleng di sekitar politik 1965. Karena itu ia bercerita tentang Pulau Buru, gulag yang mengurungnya selama delapan tahun pada 1971-1979. Ia ditangkap Orde Baru pada 1969, ditahan di Salemba, lalu digiring ke Nusakambangan bersama sekitar 12.000 tahanan politik yang dianggap terafiliasi PKI.
Ketika ia terserang stroke itu, kami memang ada di dekatnya. Saya orang pertama yang melihatnya, karena kami membuat janji makan siang setiap hari Rabu di sebuah restoran. Saya, Yopie, Redaktur Eksekutif Majalah Tempo Setri Yasra, dan dia, punya grup WhatsApp yang isinya membicarakan rencana jalan-jalan.
Kami ke pemandian air panas Guci, ke Gunung Kawi, ke Magelang, mengunjungi rumah pendekar saolin Louw Djeng Tie di Parakan, hingga sekadar salat di masjid Gunung Jati Cirebon. Lokasi-lokasi tujuan itu kadang tak penting benar, karena kami menikmati percakapan sepanjang perjalanan.
Amarzan seorang pencerita yang ulung, terutama kisah-kisah di sekitar politik 1965, atau ketika ia menjadi wartawan Harian Rakjat Minggu—koran yang berafiliasi ke PKI. Malam ketika huru-hara 30 September, ia sedang bersama Njoto, pemimpin redaksi HR Minggu, di Menteng. Menurut Amarzan, Wakil Ketua II Committe Central PKI itu terlihat kebingungan dengan informasi yang berseliweran. Ia sendiri tak paham apa yang terjadi malam itu.
Kisahnya runut, dengan lead yang menohok, ending yang tak terduga-duga, bahkan lebih banyak dengan lelucon. Mendengar ceritanya, kita seperti membaca sebuah novel mini karena 5W + 1H begitu jelas. Acap kali sebuah humor ia ulang, tapi kami tetap tertawa ketika mendengarnya karena cara dia bercerita yang membuat kisah itu selalu punya sentuhan baru yang segar.
Ia memang penulis ulung, penyair Lekra yang menonjol—meminjam julukan sarjana sastra dari Australia, Keith Foulcher. Di tangan dia, bahasa begitu lentur mengayuh imaji tanpa beban pengertian yang berat. Dalam kelas-kelas jurnalistik di Tempo ia selalu mengingatkan agar para jurnalis banyak membaca, banyak bepergian, luas bergaul.
Sebab menjadi wartawan “harus tahu segala sesuatu dan segala tahu tentang sesuatu”. Artinya, jurnalis harus luas pengetahuannya, dan pengetahuan itu mendetail. Karena para wartawan menulis berita dengan bermain di antara “memberi tahu yang belum tahu, tak menggurui bagi yang sudah tahu”. Wartawan menulis untuk siapa saja, ke arah siapa saja, dengan menghibur agar tulisan tidak membosankan. Jika wartawan cetek wawasan, ia tak akan menggapai dua soal itu.
Humor adalah ciri khas Amarzan. Jika mendengar kisah-kisah ajaib pulau Buru—sebuah pulau kecil nun di Maluku—sejarah gelap itu seperti layaknya sebuah tamasya, tak ada kesedihan apalagi kepedihan. Amarzan selalu melihat apa pun peristiwa dari sudut lelucon. Misalnya, ketika ia menceritakan seorang tahanan politik yang sepuh.
Syahdan, pada 1979, pemerintah Orde Baru secara bertahap memulangkan para tahanan. Amarzan dan para tahanan bersuka cita sekaligus gugup menghadapi dunia baru. Mereka umumnya tak tahu apa yang hendak diperbuat jika kembali pulang. Ia sendiri tak membayangkan keadaan itu datang.
Amarzan menyangka hidupnya berakhir di pulau itu. Bahkan pada usia 26, usia ketika ia ditangkap, setelah tiga tahun berhasil sembunyi dari kejaran intel Orde Baru dengan bekerja sebagai petugas cuci foto di kamar gelap. Seorang kawan membocorkan “persembunyiannya” hingga ia digelandang ke Salemba. Ia disiksa di tahanan hingga tak punya harapan bisa melihat matahari besok. “Apa yang paling menyedihkan hidup dalam penjara?” tanyanya. “Mendengar suara tukang bakso di balik tembok.” Jawaban yang tak terduga-duga, tapi masuk akal dan filosofis.
Banyak tahanan yang bingung ketika hendak kembali. Sebagai administrator di pulau Buru, Amarzan bertugas mendata tahanan. Daftarnya harus pas 1.000 orang. Celaka. Ada salah ketik sehingga jumlah yang harus ia data 1.001 orang. Dengan pelbagai cara, para administrator berhasil menaikkan mereka ke kapal. Tujuannya Tanjung Perak, Surabaya.
Setelah dua malam berlayar, lampu-lampu pelabuhan terlihat di kejauhan, lampu listrik yang tak pernah mereka lihat bertahun-tahun. Semua bersorak karena tanah harapan akan menjelang. Saking bungahnya, tahanan yang sepuh itu terlonjak hingga jantungnya berhenti berdetak. Kegembiraan menjadi duka. “Tapi dengan begitu, kami bisa lolos pengecekan di Surabaya karena jumlah tahanan tetap 1.000,” kata Amarzan.
Tiba di Jakarta, Amarzan bingung hendak ke mana. Gerak-geriknya diawasi. Tak banyak perusahaan yang mau menerima tahanan politik bekerja. Hingga akhirnya ia berani memasukkan lamaran ke majalah Tempo yang dipimpin Goenawan Mohamad—penyair Manikebu yang keras berseteru dengan Lekra dalam merumuskan arah kebudayaan Indonesia. Ia diterima setelah bisa dengan cepat membuat feature pemulangan para tahanan yang diminta redaktur Tempo sebagai bahan pertimbangan seleksi wartawan.
Amarzan tak paham mengapa Goenawan mau menerimanya. Sebab, waktu itu risikonya tak ringan. Jika pemerintah tahu Tempo mempekerjakan eks tahanan politik, majalah ini bisa dibredel. Dalam obituari Amarzan di laman Facebook, Goenawan beralasan kemampuan Amarzan–juga beberapa seniman Lekra kala itu yang diterima di Tempo–layak mendapat tempat. “Mereka berhak bekerja, menulis, bertukar ide,” katanya.
Keduanya kemudian bersahabat. Amarzan sangat hormat kepada Goenawan. Sebaliknya, Goenawan terkesan kepada Amarzan. Di pemakaman Perwira Bekasi itu, Goenawan berpidato mengantarkan jenazah sahabatnya itu ke liang lahat. Ia mengatakan kematian Amarzan meninggalkan lubang besar yang tak tergantikan, terutama dalam sejarah sastra dan politik Indonesia.
Amarzan, kata Goenawan, adalah saksi sejarah politik Indonesia yang masih gelap. Ia penyair Lekra yang punya corak berbeda dengan kebanyakan penyair Lekra lain yang mengusung “realisme sosialis” pada 1960-an. Amarzan tak selalu membuat puisi pamflet yang berisi puja-puji kepada partai, ideologi, revolusi, atau menulis rakyat dengan “R”. Ia tak sungkan mengeksplorasi renungan personal yang sublim. “Bersama H.R Bandaharo dan Agam Wispi, Amarzan bebas dari tuntutan-tuntutan itu,” katanya.
Sayangnya, Amarzan tak pernah tertarik menuliskan semua pengetahuan dan pengalamannya yang kaya itu. Sekali waktu Goenawan dan Pemimpin Redaksi Tempo Arif Zulkifli pernah mencarikannya beasiswa ke Malaysia agar Amarzan bisa menulis dengan tenang. Ketika proposal itu disampaikan kepadanya, ia hanya menukas, “Buat apa? Tidak perlu.” Semua rencana pun buyar.
Ia lebih senang menceritakan kisah 1965 dan Pulau Buru secara sepotong-sepotong kepada para sahabatnya. Saya pernah coba menafsir keengganannya menulis sebagai cara dia melupakan sejarah kelam itu. Ia mungkin tak kuat mengingat seluruh kisah gelap dalam hidupnya itu betapa pun ia selalu menceritakannya dengan humor yang bikin ngakak dua malam. Ketika tafsir itu saya sampaikan, ia menukas, “Gramedia akan menerbitkan memoarku.” Saya tahu ia bohong.
Padahal, Amarzan punya alasan filosofis mengapa ia selalu bisa menertawakan satu episode hidupnya yang getir itu. Ia tak ingin mereka yang menahan dan menyiksanya “menang”. “Jika aku sedih atau marah dan dendam karena disiksa dan ditahan tanpa pengadilan,” katanya. “Mereka menang. Aku tak ingin mereka menang.” Maka humor adalah cara melawan kesewenang-wenangan itu.
Kali lain kami pernah mencoba cara lain: membuat novel utuh tentang seorang tokoh berusia 100 tahun yang mengalami tiga masa politik. Saya sampaikan rencana itu, outline novel, termasuk keterangan kecil di awal buku “berdasarkan kisah nyata”. “Apakah terdengar menarik?” tanya saya di akhir kalimat. Ia segera menjawab: “Terdengar”.
Wawancara pertama soal hidupnya di Asahan, terutama pertemuannya kembali setelah 50 tahun dengan pacar pertamanya. Rencana sudah disusun: kami akan antar Amarzan ke Asahan, merekamnya secara dokumenter, sejak bersiap dari rumah. Diskusi akan dimatangkan sambil jalan-jalan ke Lasem. Rencana itu buyar karena kami menemukannya sedang makan dengan nasi bertumpahan di meja dan mulutnya, pada Rabu siang itu.
Selamat jalan Amarzan. Semoga di sana makin sering jalan-jalan dan bertemu Rahman Tolleng membahas opini kita…
gurih kang, renyah…makasih masih mau kirim link ya
Bagja, tulisanmu tentang pak Amarzan memukau sekali. Semoga sekarang pak Amarzan beristirahat dengan tenang.
Makasih, Rin. Aamiin…
Suka sekali membacanya pak bagja.
Makasih, mas ?
Nuhun, kang ?
baru sempat membaca kisah ini. Keren banget, Mas. Selamat jalan, Pak Amarzan.
??