Ia wafat tanpa menuliskan tragedi gelap 1965 dari kacamata pelaku sejarah.
AMARZAN Ismail Hamid, atau kita mengenalnya sebagai Amarzan Loebis, meninggal dan ada bolong besar yang belum tertambal: sejarah kelam Indonesia di sekitar 1965.
Ia diciduk organ Orde Baru di usia 26, ditahan di penjara Salemba, lalu pindah ke Nusakambangan, sebelum final di pulau Buru, sebuah gulag nun di Maluku. Ia hidup di sana selama delapan tahun, bersama penulis Pramoedya Ananta Toer, juga siapa saja sekitar 12.000 orang yang dianggap oleh pemerintahan Soeharto terafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia.
Hingga wafat pada 2 September 2019 di usia 78, Amarzan tak pernah menulis memoar atau otobiografi yang bercerita tentang kisah hidupnya di gulag Orde Baru itu. Ia hanya bercerita patah-patah, serba sedikit dan tak tuntas tentang kisah hidup para tahanan di sana, kepada sejumlah sahabat, atau kepada penulis yang menuangkannya kembali dalam bentuk novel. Pulang Leila S. Chudori, Amba Laksmi Pamuntjak, atau Manjali dan Cakrabirawa Ayu Utami adalah novel-novel yang terinspirasi kisah Amarzan.
Dari cerita-cerita dia kita akan paham bahwa sejarah acap kali tak selurus buku-buku PSPB, tak selinier buku-buku pelajaran di sekolah. Sejarah besar, dalam penceritaan Amarzan yang terlibat di dalamnya, adalah sebuah ruang dan waktu yang berwarna, berkelok, dan ditopang oleh kejadian-kejadian kecil yang saling berhubungan. Dalam versi Amarzan, tragedi gelap 1965 bahkan terdengar semata lelucon.
Tragedi beralih menjadi humor. Ia memang sudah berjanji sejak dari Pulau Buru, ketika pemerintah Orde Baru hendak memulangkan para tahanan pada 1979, akan menyebarkan percandaan kepada siapa saja jika bisa kembali menginjak pulau Jawa. “Ketika kemaluanmu disetrum, suaramu akan mengecil seperti perempuan, tapi karena itu jadi merdu,” katanya. Tak ada kengerian, seolah disiksa adalah sebuah tamasya.
Memberikan bumbu humor pada cerita yang bikin mual bukan tanpa sebab. Ia pernah memberikan alasan yang serius dan filosofis untuk itu. Katanya, Orde Baru sudah merampas usia produktifnya, merenggut pacar pertamanya, memangkas gelora cita-citanya . Ia tak ingin mengingat dan mengisahkan kembali kisah pedih itu dengan cara yang pedih pula. Apalagi marah.
“Aku menyangka hidupku berakhir di usia 26,” katanya, suatu ketika. “Tapi kemudian aku bebas, bisa kawin, beranak, dan melihat zaman modern ini. Kalau aku marah karena aku disiksa, karena aku ditahan tanpa pengadilan, penyiksa itu akan menang.” Pernikahannya dengan sepupu jauh dan teman masa kecilnya setelah bebas, melahirkan satu anak laki-laki, Batara Loebis, yang memberinya dua cucu. Bagi Amarzan, 52 tahun hidupnya setelah bebas adalah bonus yang tak terduga-duga.
Amarzan datang ke Jakarta sebagai anak muda usia 23 untuk kuliah. Ayahnya, seorang saudagar di Tanjung Balai, Asahan, ingin ia jadi arsitek. Namun, ia lebih tergoda menjadi wartawan Harian Rakjat Minggu. Di koran yang berafiliasi kepada PKI itu ia menangani lembar kebudayaan, terutama puisi. Dengan dukungan Njoto, pemimpin redaksi yang menjabat Wakil Ketua II Committe Central PKI, Amarzan pernah menolak memuat puisi D.N Aidit—Ketua CC PKI yang disegani. “Puisinya sejenis puisi poster,” katanya pada 2007, 42 tahun kemudian (Tempo, 1 Oktober 2007).
Dengan pemahaman akan puisi semacam itu, Amarzan menjadi penyair Lembaga Kebudayaan Rakjat yang berbeda dengan kebanyakan penyair Lekra di masa 1960-an. Keith Foulcher, sarjana Australia yang menelaah karya-karya seniman Lekra dalam Social Commitment in Literature and the Arts (1986), menyebut Amarzan sebagai penyair paling menonjol di Lekra karena eksplorasi bentuk dan bahasa syair-syairnya.
Puisi bebasnya berupa balada yang tak selalu patuh pada rima di tiap stanza, tapi memainkan bunyi kata pada satu pokok pikiran dalam kalimat—satu corak yang masih dipakai para penyair hingga kini. Goenawan Mohamad, penyair dan sahabat serta teman sekerjanya di majalah Tempo, mengatakan bahwa Amarzan membawa semangat bahwa puisi tak selalu harus bercorak “realisme sosialis”. “Amarzan bebas dari tuntutan itu,” katanya.
Menurut Goenawan, Amarzan seperti H.R Bandaharo atau Agam Wispi, yang tak segan mengeksplorasi kesendirian, kesunyian, bahkan rasa terasing sebagai perasaan lumrah orang kebanyakan. Goenawan menyebut imaji dalam puisi Amarzan seperti hendak diangkat ke arah menjadi yang simbolik. Puisi Amarzan, kata dia, bisa mengungkapkan apa yang tak bisa dikatakan.
makin tinggi matahari — makin pupus sisa mimpi
dan kereta melancar ke utara
ke padang-padang Mongolia Dalam
(Mimpi, 1964)
Amarzan bukannya tak menulis “puisi pamflet” seperti kebanyakan penyair Lekra. Dalam banyak kumpulan sajaknya, ia juga tercatat menulis puisi tentang revolusi, ideologi, dan partai—dengan “P”. Tapi, dalam sajak Amarzan, ideologi dan revolusi sayup sebagai latar belakang. Yang tampil adalah renungan personal dengan diksi yang melankolis, seperti sajak “Memilih Jalan” ini, yang sesungguhnya bercerita soal kebimbangan seorang muda memilih ideologi.
di bus atau oplet
dalam siang dan malam
kadang-kadang datang juga
mimpi lama yang mendarahkan luka
Dengan corak puisinya yang khas itu, dengan segudang cerita yang mewarnai sejarah paling kelam Indonesia yang belum terjawab tuntas itu, kematian Amarzan menyisakan satu lubang besar. “Dan agaknya tak bisa tergantikan,” kata Goenawan Mohamad, yang berpidato di pemakamannya.
Gila yang nulis artikel diatas sudah sekelas kahlil gibran.
🙁