Amarzan Loebis mengajarkan bagaimana memakai bahasa untuk membuat tulisan jurnalistik yang enak dibaca. Wartawan harus tahu segala sesuatu dan segala tahu tentang sesuatu.
SEKALI waktu pada 9 Januari 2007, Amarzan Loebis membuka percakapan “Kelas Selasa” dengan prolog yang tak terduga, setelah para peserta berkumpul, sementara ia tiba selalu yang pertama. “Aku akan menulis perjalanan,” katanya. “Judulnya ‘Mengunjungi Kemaluan Singapura’.”
Para peserta “Kelas Selasa” di lantai 3 kantor Tempo di Jalan Proklamasi 72 Jakarta pun tertawa mendengarnya. Tentu saja itu judul yang nakal, jika benar laki-laki yang usianya 63 tahun kala itu, hendak menuliskannya.
Amarzan baru pulang dari Geylang, kawasan di tenggara Singapura yang menghamparkan tempat-tempat hiburan malam dan pelacuran. Geylang menjadi noktah anomali di jiran-kecil yang rapi-jali-tertib senantiasa itu. Tulisan tersebut terbit pada rubrik “Perjalanan” dengan judul “Geylang Si Kampung Gelam” edisi 29 Januari 2007. Amarzan tak jadi menulis judul semula karena, katanya, “Tak elok sebagai tulisan perjalanan.”
Membaca dua halaman artikel itu kita seperti membaca Amarzan secara keseluruhan: kaya akan informasi, tangkas dalam bahasa, lincah mengalirkan adegan, di sana-sini mengandung banyak lelucon. Misalnya, ketika ia menceritakan pertemuannya dengan seorang laki-laki ketika hendak salat di Masjid Sultan:
Di Victoria Street, pada suatu Sabtu yang sumuk, saya berjumpa dengan keturunan ketujuh Sultan Banten ke-11, Abdul Ra’uf namanya. Ketika saya terbingung-bingung mencari arah menuju Masjid Sultan di ujung Kampung Gelam, orang ini muncul. ”Mari sama-sama,” katanya. ”Saya juga ke arah sana.”
Tahu saya orang Indonesia, dia segera memperkenalkan diri. Ketika saya bertanyakan asal-usulnya, pria 57 tahun itu dengan tangkas mendaras: ”Nama saya Abdul Ra’uf bin Haji Syam’un bin Kiai Haji Dahlan bin Kiai Haji Abdul Aziz bin Kiai Hasan Arzaim bin Kiai Soleh bin Tubagus Kacung alias Pangeran Suramenggala bin Mohammad Arif Zainal Asyikin, Sultan Banten ke-11.” Takjub saya dibuatnya.
Di tangan Amarzan, bahasa Indonesia bisa indah sekaligus hidup. Ia memang selalu menekankan soal itu. Di “Kelas Selasa”, kelas evaluasi produk majalah Tempo tiap Selasa, ia senantiasa mengingatkan agar para wartawan mengasah keterampilan berbahasa. Sebab, jurnalistik kini bersaing dengan media hiburan, gosip, hoaks, televisi. Tanpa kemahiran berbahasa, artikel jurnalistik tak akan dibaca orang jika wartawan menuliskannya dengan kering dan tak menghibur.
Bagi Amarzan, sebuah artikel di media—terutama majalah yang terbit sekali sepekan—pertama-tama harus menghibur. Karena itulah slogan Tempo adalah “enak dibaca dan perlu”. Setiap artikel “enak dibaca” terlebih dahulu sebelum pembaca merasa “perlu” dengan informasinya. Toh, jika pun pembaca sudah tahu dengan informasi dalam sebuah berita, minimal ia mendapat hiburan dengan membacanya.
Sebab, tiap pembaca punya pengetahuan berbeda-beda atas sebuah peristiwa yang sudah terjadi. Dengan membayangkan tingkat pengetahuan para pembaca itu, para wartawan sesungguhnya tengah bermain di antara “memberi tahu yang belum tahu, tak menggurui bagi yang sudah tahu”. Dengan begitu, artikel akan tetap dibaca oleh pembaca yang luas, karena informasinya berguna, seraya tetap menghibur.
Untuk bisa menghibur, teori jurnalistik menyediakan teknik menulis berita yang disebut feature. Amarzan tak menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia. Intinya, dengan feature, sebuah artikel jurnalistik disajikan dalam bentuk cerita pendek dengan memanfaatkan perangkat 5W + 1H. Setiap pekan, wartawan Tempo coba mempraktikkan teknik ini dalam setiap artikel.
Dalam Kelas Selasa 28 Januari 2014, Amarzan merumuskan unsur-unsur feature dalam artikel jurnalistik: ada tokoh, adegan, kutipan, perspektif, humor, dan analisis atas fakta. Semua anasir ini tertuang secara lengkap dalam artikel “Geylang Si Kampung Gelam” itu. Tapi, hal-hal yang serius ini hanya mengisi kira-kira 40 persen “Kelas Selasa”. Amarzan lebih banyak mengisi kelas itu dengan cerita-cerita pengalamannya yang panjang menjadi wartawan sejak 1960.
Alih-alih kuliah di universitas di Jakarta, datang dari Tanjung Balai, Asahan, Amarzan kepincut menjadi wartawan Harian Rakjat Minggu. Di koran itu, ia menangani lembar kebudayaan, terutama puisi. Ia memang sudah menjadi penyair di usianya yang ke-23. Ketika sejumlah politisi yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakjat, nama Amarzan ada dalam deretan seniman pendukungnya.
Keterlibatan itu membuat Orde Baru membuangnya ke Pulau Buru, yang menjadi gulag tempat mengurung sekitar 12.000 tahanan politik yang dianggap pemerintahan Suharto terkait dengan PKI setelah peristiwa 30 September 1965—tanpa pengadilan. Setelah dikurung di Salemba lalu Nusakambangan, Amarzan tiba di pulau nun di Maluku itu pada 1971 hingga dikembalikan pada 1979.
Dengan latar belakang penyair itu, Amarzan terbiasa menjelajah bahasa. Di tangan dia, struktur bahasa Indonesia menjadi lentur. Ia menghidupkan kembali diksi Melayu lama yang mati karena tak lagi dipakai oleh penutur bahasa ini. Dalam opini Tempo edisi 9 Desember 2012, misalnya, Amarzan menulis perilaku Bupati Garut Aceng Fikri dalam hal kesusilaan itu dengan judul “Kibang-Kibut Aceng Garut”. Kibang-kibut adalah kosa-kata yang terdaftar dalam kamus sebagai padanan “kacau-balau” tapi jarang dipakai dalam percakapan orang Indonesia.
Praktik penjelajahan bahasa itu ia ajarkan tiap Selasa. Sebetulnya, seperti tertuang dalam epilog buku #KelaSelasa: Kumpulan Twit tentang Jurnalisme, Media, dan Teknik Menulis Berita” (Tempo Institute, 2014), kelas itu tak pas disebut kelas belajar yang mendudukkan hubungan guru-murid. Amarzan lebih banyak berbagi ketimbang menggurui. Ia mengaku justru lebih banyak belajar dari wartawan-wartawan muda tentang problem-problem masa kini.
“Kelas Selasa” dimulai pada 2003, sejak Amarzan “mudik” dari Gatra. Sepulang dari Buru ia diterima menjadi wartawan Tempo karena bisa menulis cepat feature pemulangan para tahanan yang diminta redaktur Tempo sebagai syarat seleksi karyawan. Organ Orde Baru yang terus mengawasinya membuat Tempo menugasinya mengelola Matra, media gaya hidup. Ketika Tempo dibredel pada 1994, Amarzan ikut serta dalam rombongan ke Gatra—majalah yang diterbitkan pengusaha kayu Bob Hassan. Sejak mudik itu, ia nyaris tak pernah absen mengisi kelas itu hingga stroke menyerangnya pada 13 September 2017.
Dari pembacaan Amarzan itulah wartawan Tempo banyak belajar seni tulis-menulis. Dengan kacamatanya yang awas, dengan pikirannya yang selalu curious dan skeptic, Amarzan membedah tiap artikel. Selalu saja ia menemukan kesalahan-kesalahan elementer dan substansial sebuah artikel dalam hal bahasa, gramatika, hingga logika. Kesalahan-kesalahan itu, kata Amarzan, akibat dari kekacauan berpikir. “Menulis itu pada dasarnya manajemen berpikir,” katanya, 19 Juli 2012.
Basisnya adalah curious dan skeptic itu. Menurut Amarzan, seorang wartawan hendaknya selalu ragu akan informasi yang ia terima, senantiasa penasaran dengan kabar yang beredar, bahkan curiga dengan informasi resmi. Tanpa itu semua, wartawan akan terjebak pada permainan informasi, menyampaikan “jurnalisme ludah”, bahkan termakan menyiarkan kabar bohong. Dengan penasaran dan ragu wartawan terdorong terus memverifikasi sebuah fakta dengan bertanya ke banyak narasumber, ke banyak data.
Di luar semua itu, karena jurnalistik adalah “mengabadikan sejarah hari ini”, wartawan dituntut pula luas pengetahuannya, jembar pergaulannya. “Karena ia harus tahu segala sesuatu dan segala tahu tentang sesuatu,” katanya.
Tulisan yang luwes. Good writer.
Apakabar, mas eko?
Aku selalu baca dan kadang mempraktikan dengan gaya tulisan seperti ini, san izin juga saya ikut termotivasi untuk menulis setidak-tidaknya alurnya percis sedikit.. ilmu yang saya dapat cukup banyak, terima kasih pak.. semoga suatu saat kita bisa bertemu dan belajar banyak…
Alhamdulillah. Terima kasih, ya. Terus menulis!
Setahu saya yang mendirikan Lekra bukan PKI, tapi politisi dan seniman yang ikut Revolusi Agustus 1945, yaitu Aidit, Njoto, M. S. Ashar, dan A. S. Dharta. Sampai dibekukan pada akhir 1965 Lekra juga tidak pernah jadi bagian struktural dari PKI. Bahwa ada pimpinan, pengurus, atau anggotanya yang juga menjadi anggota PKI tidak berarti Lekra adalah “onderbouw” PKI seperti yang dituduhkan pemerintah Soeharto.
Ada komentar dari Bung Amarzan tentang hal ini di majalah Tempo : https://nasional.tempo.co/read/517733/aidit-tak-mampu-mem-pki-kan-lekra/full&view=ok
Ungkapan “tahu segala tentang sesuatu, tahu satu tentang segala” dinyatakan oleh Njoto, pemikir kebudayaan, salah satu pendiri dan pengurus Lekra, pemimpin redaksi Harian Rakjat, dan anggota CC PKI, yang hilang pasca Gestok 1965. Mereka yang dekat dengan Njoto pasti mengenal ungkapan ini.
Terima kasih sudah membaca dan memberikan tambahan informasi, mbak. Soal kutipan Njoto, saya biarkan jadi kutipan almarhum karena saya tidak mendengar, atau lupa mencatat, bahwa AMZ menyitir Njoto ketika mengatakan hal itu. Saya dengar ada juga yang mengatakan bahwa ungkapan itu disitir Njoto dari seorang penulis Inggris. Sekali lagi, terima kasih.
pak saya seneng banget bisa nemuin blog bapak. tulisan bapak ibarat lagunya awkarin, bikin candu 🙂
Hehe. Terima kasih ya. Sy belum mendengar lagu Awkarin…