Kekacauan Sperma di Kolam Renang

Twitter
Visit Us
Follow Me
LinkedIn
Share
RSS
Follow by Email

Seorang pejabat KPAI mengatakan perempuan bisa hamil jika berenang bersama laki-laki. Bagaimana seharusnya media menyiarkan pernyataan pejabat publik?

DI era klik sebagai berhala baru media massa, pernyataan pejabat Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty soal perempuan bisa hamil jika berenang bersama laki-laki segera disambar menjadi angle berita. Di Tribun News yang mewawancarainya, pernyataan Sitti diberi judul menohok: “KPAI Ingatkan Wanita Berenang di Kolam Bareng Laki-laki Bisa Hamil, Begini Penjelasannya”.

Dari pemilihan judul itu terkesan wartawan yang menulisnya paham bahwa angle tersebut akan memancing rasa penasaran pembaca, sehingga akan banyak mengundang klik, akibatnya melahirkan page view untuk dijual kepada pengiklan. Wartawan yang menulisnya tahu bahwa pernyataan Sitti mengandung kontroversi karena bertolak belakang dengan pengetahuan umum soal cara bekerja sperma.

Ilmu biologi dasar yang kita dapatkan sejak SMP menyebutkan bahwa pembuahan pada manusia hanya terjadi di dalam tubuh perempuan. Sitti lalu mengutip jurnal—yang tak ia sebutkan nama dan judul penelitiannya—untuk menguatkan pernyataannya itu.

Kita tahu, angle adalah “pilihan politik” sebuah media dalam memberitakan sebuah isu. Dalam era kemerdekaan pers, media bebas menentukan dari sudut pandang mana mereka melihat sebuah peristiwa. Ilmu jurnalistik memberikan panduan dan rambu-rambunya: angle berita mesti menyajikan sudut pandang yang penting dan relevan bagi kepentingan publik. Tiada lain.

Dari kadar nilai “penting” dan “relevan” bagi kepentingan publik inilah wartawan memilah berita, menempatkan sebuah informasi pada headline atau sekadar berita pendek saja. Jika sebuah berita tak punya dua nilai ini, wartawan tak perlu memberitakannya. Toh, ada begitu banyak peristiwa di dunia ini dalam tiap detik, tapi tak semuanya layak disiarkan untuk diketahui orang banyak.

Maka, selama dua hari akhir pekan lalu, berita dengan angle sperma berenang itu pun populer. Warganet ramai-ramai mengecam pernyataan Sitti. Alih-alih menunjukkan jurnal yang menjadi sumber rujukannya, Sitti malah minta maaf karena telah memberikan pernyataan tidak tepat. Informasi pun menjadi kacau. Padahal, berita itu penting dan menarik, jika benar.

Pertanyaannya, bagaimana seharusnya media memberitakan pernyataan dari pejabat publik yang kontroversial dan tanpa dasar seperti ucapan Sitti ini? Bagaimana media seharusnya bekerja ketika mendengar sebuah informasi?

Pernyataan Sitti itu menarik. Dalam video wawancara selama 8 menit itu, apa yang disampaikannya termasuk kategori layak berita. Temanya penting dan genting, soal aborsi di kalangan remaja. Aborsi adalah problem pelik karena di dalamnya menyangkut soal perdebatan hak asasi, hak kesehatan, hak hidup, bahkan kini bisnis ilegal degan omzet besar, yang menjadi urusan publik. Undang-undang Kesehatan kita membolehkan aborsi dengan syarat ketat.

Jika wartawan Tribun bekerja sesuai dengan kaidah, pernyataan Sitti itu akan menjadi perbincangan publik dengan lebih sehat. Sayangnya, karena berita disajikan begitu saja, yang terjadi adalah hujat-hujatan, perundungan di dunia maya, yang kurang bermanfaat bagi literasi publik dalam mencerna berita dan memahami cara kerja media.

Alat kerja wartawan adalah curious dan skeptic. Curious itu penasaran dan ingin tahu terhadap informasi. Skeptic itu ragu-ragu bahkan curiga kepada sebuah berita. Senjatanya adalah verifikasi.

Maka ketika mendengar sebuah informasi “baru”, wartawan harus segera mengejar pernyataan seperti yang diucapkan Sitti itu: dari mana sumbernya? Jika jurnal ilmiah, jurnal ilmiah apa? Setelah disebutkan, wartawan mesti meminta jurnal itu untuk dibaca dan memverifikasi kesahihannya. Soalnya, banyak juga jurnal abal-abal yang pura-pura ilmiah karena hanya sekadar menampung peneliti yang kebelet mendapatkan kum dan pengakuan.

Jika jurnalnya ada, terverifikasi, penelitinya jelas dengan metode riset yang diterima kaidah, dan memang menyatakan bahwa berenang bersama lelaki bisa bikin perempuan hamil, tentu ini jadi menarik. Tribun harus menyertakan tautan jurnal itu di berita tersebut agar publik bisa memverifikasinya.

Informasi itu adalah pengetahuan baru yang bisa meruntuhkan paradigma ilmu pengetahuan yang sudah kadung diyakini orang banyak bahwa sperma hanya bisa hidup dalam tubuh manusia. Dunia akademik seharusnya geger dengan temuan baru ini.

Sayangnya, wartawan Tribun tak melakukan semua kerja dasar jurnalistik itu. Ia hanya menelan mentah-mentah dan menyiarkan pernyataan dan klaim Sitti itu tanpa bukti.

Ada memang pernyataan dokter spesialis anak dalam berita itu yang menyangkal pernyataan Sitti. Tapi, dalam berita, cover both side saja tidak cukup. Berita tak cukup hanya menyiarkan A lalu menyertakan penyangkalan terhadap A. Media harus bertanggung jawab bahwa publik tak bisa dibiarkan bebas menafsirkan informasi yang tak jelas.

Kini kita tahu, soal sperma bisa bekerja di kolam renang itu omong kosong belaka.

Tugas wartawan adalah mencari kebenaran sebuah informasi sampai titik darah penghabisan, betapa pun kebenaran yang dihasilkan wartawan adalah kebenaran yang terikat waktu, terikat tenggat: hari ini kebenaran adalah A, esok mungkin ada kebenaran lain yang menyangkalnya. Karena itu wartawan dan media mesti rendah hati, terbuka pada kritik dan koreksi.

Dari video wawancara Sitti itu kita jadi tahu bagaimana berita itu dibuat. Wartawan Tribun membiarkan Sitti membuat pernyataan tanpa interupsi. Wartawan Tribun hanya merekam dan mendengarkan apa yang disampaikan Sitti tanpa penasaran, apalagi curiga, dengan tiap potongan informasi yang diucapkannya. Di akhir wawancara wartawan Tribun bahkan bertanya, “Apakah ada lagi yang ingin Ibu sampaikan?”

Dalam pelajaran jurnalistik dasar, pertanyaan terakhir dalam wawancara itu sangat “haram” diutarakan. Media bukan corong narasumber yang bertugas menampung apa pun pernyataannya. Wartawan justru harus kritis kepada narasumber agar berita yang dibaca publik itu terverifikasi. Tugas wartawan adalah bertanya terus sampai mendapatkan jawaban yang masuk akal dan punya dasar yang jelas.

Bayangkan jika Sitti adalah seorang agen propaganda yang hendak membuat kekacauan pemahaman orang banyak. Ia akan dengan senang hati memakai media untuk membuat informasi bohong. Toh, wartawannya tak kritis bahkan bersedia menampung ucapannya demi klik. Jika itu terjadi, media tak sedang menjalankan fungsi utamanya sebagai “penjernih duduk soal” atau clearing house of information. Ia malah jadi bagian problem terbesar dunia modern hari ini: turut serta menyebarkan hoaks dan berita bohong.

Di kelas-kelas jurnalistik, dalam sesi teknik wawancara, ada pelajaran dasar seseorang bisa dijadikan narasumber: 1) pelaku, 2) mereka yang melihat, 3) dia yang paling tahu, 4) mereka yang berwenang, 5) pakar. Urutan ini tak boleh terbolak-balik atau dilompati. (Penjelasan lengkap soal narasumber dan teknik wawancara ada di artikel ini).

Maka ketika hendak mewawancarai Sitti, wartawan harus menimbang ada di mana posisinya dalam tema aborsi dan proses kehamilan. Jika ia tak masuk dalam satu kategori mana pun, meski pun ia pejabat publik, wartawan tak layak mengutip pernyataannya karena bisa jadi informasi dari narasumber yang tak relevan akan menyesatkan.

Gambar oleh Thomas Breher dari Pixabay

Author: Bagja Hidayat

Wartawan majalah Tempo sejak 2001. Mendirikan blog ini pada 2002, karena menulis seperti naik sepeda: tak perlu bakat melainkan latihan yang tekun dan terus menerus.

14 thoughts on “Kekacauan Sperma di Kolam Renang”

  1. Terima kasih untuk penulis. Di tengah derasnya hujatan publik terhadap Sitty, ada anda yang menyoroti hal yang lebih penting dan substansial. Saya sangat menghargai tulisan ini yang sarat edukasi. Analisa Anda bantu mencerdaskan pembacanya. Semoga ke depan media lebih berfikir dalam memilih nara sumber beritanya dan menyaring informasinya dan yang lebih penting adalah selalu memverifikasi berita atau info yang didapatnya. Sehingga berita yang disajikannya bukan kaleng-kaleng. Kualitas jurnalisnya bisa mencerminkan kualitas medianya.

  2. Saya sudah baca ini, semalam. Super jeli memandang persemrawutan ini. Bagaimana seharusnya jurnalis tidak membenturkan narsum dan pembaca.
    Bagus banget mas. Saya catatttt.

  3. Anda mengulas teknis jurnalistiknya tanpa menyinggung isi judulnya kekacauan sperma di kolam renang. Kan sama bombtastisnya dari judul anda. Sama anda dengan wartawan tribun itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Enjoy this blog? Please spread the word :)