Bolehkah media berpihak? Berpihak pada siapa atas dasar apa?
Pasal 1 Kode Etik Wartawan Indonesia menyebutkan wartawan Indonesia “bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.” Kata independen selalu disalahpahami dan dipertukarkan dengan sikap “netral” atau tak berpihak. Karena salah paham ini, media acap dihujat ketika memihak satu pihak dalam sebuah peristiwa. Atau mengambil angle satu pihak dalam sebuah kejadian.
Pertanyaannya, bolehkah media berpihak? Atau media memang harus netral?
Media bertugas dan berperan menyebarkan informasi yang benar. Karena itu ia juga mempromosikan kebenaran. Sementara lawan kebenaran adalah kekeliruan. Maka, karena tugas itu, media akan selalu berpihak, meski kebenaran dalam jurnalistik adalah kebenaran yang terikat waktu. Sebuah fakta benar dalam waktu tertentu karena hanya sejauh itu wartawan bisa mencapainya. Kebenaran itu mungkin keliru jika di lain waktu ada fakta lain yang menyanggahnya.
Menurut teori-teori jurnalistik, media adalah pilar keempat demokrasi. Tugasnya memantau dan memelototi kerja tiga pilar lain, yakni legislatif yang menghasilkan hukum, eksekutif yang menjalankan hukum, dan yudikatif yang menjadi wasit hukum. Tiga pilar lain memiliki kekuasaan bahkan para pelaksananya mendapatkan upah dari kerja mereka. Upah mereka berasal dari pajak masyarakat. Sehingga pengawasan media terhadap tiga pilar itu adalah kepanjangan tangan dari hak publik yang telah memberikan pajak untuk tahu apa yang dilakukan tiga lembaga tersebut. Karena itu media acap digandengkan dengan massa.
Meski tak punya kaitan langsung dalam hal finansial selain transaksi jual-berita berita, tanggung jawab tertinggi media kepada publik. Perannya sebagai penyalur informasi membuat ia bertanggung jawab secara moral kepada khalayak. Media bahkan acap diposisikan sebagai pengawal perubahan masyarakat karena fungsinya sebagai pengarah opini publik. Apa yang dianggap penting oleh media, acap jadi perhatian masyarakat. Di era digital kini terjadi demokratisasi, media juga memberitakan apa yang sedang ramai diperbicangkan publik, dengan lebih dalam dan memberikan perspektif.
Karena tiga pilar lain menghasilkan hukum yang mengikat publik, mau tak mau, kerja media juga berkaitan dengan pengawalan kebijakan itu. Maka, media akan mengawasi tiap-tiap kebijakan beserta konsekuensi-konsekuensinya agar segera dimengerti oleh oranf banyak. Sebagai pembayar pajak, masyarakat berhak tahu apa yang sedang direncanakan atau sudah diputuskan oleh tiga pilar itu karena konsekuensinya akan ditanggung bersama.
Dalam memberitakan kebijakan publik media tidak bisa netral. Ia akan mengkritik atau memuji sebuah kebijakan karena konsekuensi-konsekuensinya bagi kepentingan orang banyak. Maka pijakan mengkritik atau memuji selalu beralas pada kepentingan publik. Publik yang mana? Publik yang terimbas oleh kebijakan tersebut. Karena suara publik beragam, ia perlu dibayangkan sebagai sebuah entitas. Entitas memerlukan batasan agar media bisa merumuskan pembelaannya. Publik, dalam kaca mata media, adalah mereka yang terimbas kebijakan dengan berpijak pada prinsip demokrasi: adil, setara, manusiawi.
Sampai di sini jelas bahwa media tidak bisa netral. Peran media tidak hanya sekadar memberitakan karena mereka memiliki tanggung jawab moral terhadap nilai-nilai universal, peradaban, demokrasi. Agar keberpihakan media tak terkontaminasi kepentingan selain kepentingan publik, media harus independen. Independen adalah sebuah sikap sukarela tanpa pengaruh dari luar kepentingan redaksi. Karena itu media dituntut menjadi institusi yang terbuka: publik bisa melihat kepentingan apa yang mendasari keberpihakannya.
Sebuah media bisa dikatakan independen jika ia tak punya kaitan kepemilikan saham dengan mereka yang berkepentingan terhadap kebijakan publik. Untuk mewujudkannya media mesti memiliki sistem yang ketat untuk menjaga kemurnian ruang redaksi. Tiap orang di dalam ruang redaksi pun mesti setara dan memiliki kebebasan dalam beropini untuk saling mengoreksi sikap, bahkan saling mengingatkan jika—katakanlah ada—titipan kepentingan dari luar ruangan kerja mereka.
Karena keberpihakan media beralas pada kepentingan publik, ia akan selalu melihat sebuah kebijakan dan praktiknya melalui tiga asas demokrasi yang sudah disebut di atas: keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan.
Keadilan
Media akan melihat apakah sebuah kebijakan—yang selalu tidak lengkap, spesifik, dan kontekstual—bersifat imparsial terhadap objek yang diaturnya. Misalnya UU Cipta Kerja.
Penciptaan lapangan kerja yang dibayangkan pembuatnya adalah dengan memberikan kemudahan dan kelonggaran pada industri. Padahal penciptaan lapangan kerja tak semata disediakan oleh mereka. Industri hanya salah satu objek saja dalam undang-undang ini. Apalagi industri yang mendapatkan insentif itu terfokus pada industri tertentu saja, yakni industri ekstraktif.
Masyarakat yang bukan industri bisa juga menyediakan lapangan pekerjaan, untuk dirinya sendiri, keluarga, maupun lingkup kecil di sekitarnya. Tapi UU Cipta Kerja tak memberi afirmasi kepada mereka. Padahal, sifat kebijakan publik mesti menguatkan terlebih dahulu mereka yang tak memiliki akses, lemah secara politik, dan miskin secara modal. Tanpa afirmasi kepada mereka, kebijakan tidak akan adil.
Di luar masyarakat, industrialisasi juga akan berdampak pada lingkungan. UU Cipta Kerja memangkas sejumlah inisiatif proteksi lingkungan. Kita tahu ekonomi dan lingkungan selalu diametral karena melindungi yang satu akan menghilangkan yang lain. Selama dua abad, kemajuan ekonomi telah melahirkan krisis iklim. Karena itu muncul kelompok konservasionis yang mementingkan lingkungan, di seberangnya kaum developmentalis yang mementingkan ekonomi karena penduduk bertambah sementara penyediaan makanan tak selalu siap.
Dalam perkembangan terbaru, ada jalan ketiga yang menawarkan pembangunan ekonomi yang tak meninggalkan proteksi lingkungan. Namanya pembangunan berwawasan lingkungan. Pembangunan harus berangkat dan berpijak pada proteksi lingkungan. Kebijakan publik mesti mendorong inovasi agar menghidupkan ekonomi dengan sesedikit mungkin merusak lingkungan. Dunia sedang bergerak memakai jalan ketiga ini.
Di dalam lingkungan juga ada manusia. UU Cipta Kerja disusun dengan berangkat dari perspektif ruang kosong. Ruang untuk menampung industri itu tak melihat bahwa di dalamnya ada pohon, ada masyarakat adat, ada ekosistem yang menopang planet bumi. Karena berangkat dari perspektif ruang kosong, masyarakat dan lingkungan itu dianggap tidak ada ketika UU ini mengatur soal perizinan berusaha.
Akibatnya terjadi ketimpangan akses untuk industri dan masyarakat umum. Industri yang memiliki modal, kekuasaan, dan akses lebih terhadap hukum, mendapat keistimewaan dibanding masyarakat awam yang tak punya keistimewaan akses terhadap hukum untuk sama-sama memanfaatkan sumber daya alam.
Dalam keadaan seperti ini, media pasti akan berpihak kepada masyarakat dan lingkungan. Karena mereka lebih lemah secara politik, lebih jauh dalam mengakses kekuasaan. Lingkungan menjadi titik tumpu ketika dunia menghadapi ancaman-ancaman akibat pemanasan global. Media bahkan akan selalu curiga pada penyalahgunaan kekuasaan melalui modal dan kewenangan. Untuk mewujudkan keadilan, media akan berada di sisi mereka yang tak punya suara lebih kuat.
Kesetaraan
Media akan melihat apakah sebuah kebijakan publik telah memberikan akses yang setara terhadap objek yang diaturnya. Jika adil adalah menempatkan kedudukan yang seimbang, setara menyangkut soal akses terhadap kedudukan dan kesempatan itu. Apakah hukum yang dibuat itu tak membedakan akses terhadap objek yang diaturnya? Jika ya, media akan mengkritik dengan berpihak pada mereka yang tak mendapatkan akses kesetaraan tersebut.
Contohnya, jika industri batu bara mendapatkan pelbagai insentif, apakah usaha energi terbarukan mendapatkannya juga? Keduanya sama-sama industri, keduanya bisa menciptakan peluang sama dalam membuka lapangan pekerjaan, tapi keduanya memiliki dampak berbeda terhadap lingkungan. Batu bara menjadi biang krisis iklim sementara energi terbarukan dibutuhkan mengurangi dampak krisis iklim.
UU Cipta Kerja mengistimewakan industri batu bara, sementara tak ada afirmasi untuk energi terbarukan. Pembuatan undang-undang ini akan menujukkan wajah asli visi dan misi setiap rezim.
Kemanusiaan
Hukum diciptakan dengan rigid dan kaku. Sebab ia harus presisi dan tak pandang bulu. Tapi hukum tak berada di ruang hampa karena pelaksanaannya membutuhkan tafsir para pengadil: hakim, jaksa, pengacara. Tafsir atas hukum menempatkan kemanusiaan sebagai asas tertinggi.
Begitu juga media. Ia bahkan menempatkannya lebih tinggi dari hukum. Contohnya, ketika nenek Minah mengambil kayu dari areal konsesi sebuah HPH, secara hukum, tindakan nenek Minah adalah kriminal, melanggar hukum, yakni mengambil barang yang bukan haknya. Ia layak dibawa ke muka hukum. Tapi hakim yang menempatkan asas kemanusiaan akan menafsir hukuman dengan menimbang konteksnya. Jika nenek Minah mengambil kayu karena itulah cara satu-satunya untuk hidup dan menafkahi keluarganya, nenek Minah tak layak dihukum. Dalam memberitakan kasus itu, media akan menunjukkan keberpihakan agar hakim membebaskan nenek Minah.
Keberpihakan media tecermin dalam editorial, sudut pandang, angle, diksi, hingga penempatan narasumber. Tapi, ia tak boleh meninggalkan dua hal: berimbang dan faktual. “Opini itu bebas,” kata J.P Scott, pendiri The Guardian, “fakta itu suci.”
Foto: Richard Reid/Pixabay