Saatnya menuntut tanggung jawab moral Google dan Facebook.
BERITA pemerintah Australia mewajibkan Google dan Facebook berbagi penghasilan dengan media massa sungguh menggembirakan. Begitulah seharusnya peran pemerintah yang paham demokrasi, yang mengakui bahwa jurnalisme adalah salah satu pilarnya. Mereka hendak menciptakan ekosistem yang adil dan setara dalam penyebaran informasi.
Facebook menolak aturan itu dan mereka tak akan menayangkan berita-berita dari media Australia di Australia dan di seluruh dunia. Sebaliknya, Google setuju. Mungkin pengelolanya paham tanpa media massa, Google hanya akan berisi artikel dari blog dan penyedia konten lain yang bukan jurnalisme. Semoga pengelola Google mengerti bahwa ada hal lebih penting dan besar dari sekadar menjadi kaya dalam membangun peradaban.
Facebook menolak karena mereka mungkin melihat peluang bisnis yang lebih besar dari sekadar distributor berita. Tanpa ada berita di feed, mereka barangkali melihat peluang keuntungan dari jenis layanan lain. Zuckerberg mungkin tak terlalu peduli pada masa depan manusia.
Penolakan Facebook akan bagus buat perusahaan media, karena pembaca akan terdorong berlangganan ke tiap media dalam mengonsumsi berita. Para wartawan tak melulu bersaing mengemas berita dengan kata kunci, SEO, dan umpan klik. Tapi mungkin juga sebaliknya karena kita kini mengonsumsi berita melalui platform ini. Juga karena kesediaan kita membeli informasi yang kredibel belum tumbuh benar.
Berita dari Australia itu menggembirakan karena ekosistem penyebaran informasi akan adil bagi produsen dan distributor informasi. Google tak lagi bisa semena-mena dan “menang banyak” tanpa kerja keras. Selama ini mereka berhasil menyetir perusahaan media agar tunduk dan turut pada aturan main mesin algoritma mereka: kemasan berita kini menyesuaikan dengan tata cara mesin Google mengurutkan berita berdasarkan kata kunci dan SEO. Google bahkan memberikan pelatihan dan beasiswa kepada media agar para wartawan makin pandai membaca cara mesin mereka bekerja.
Model bisnis Google dan Facebook telah menciptakan ketimpangan yang membuat media massa tergopoh-gopoh mengikuti cara mereka mendulang untung. Dengan menciptakan rumah bagi kerumunan, Google dan Facebook memaksa para pengelola media merayakan keinginan mereka untuk menjangkau pembaca agar media massa tetap berperan memproduksi dan menyebarkan informasi. Kita menyebutnya, seraya menyeringai, sebagai “era disrupsi”.
Umumnya kita mengolok media sebagai dinosaurus, institusi yang tak pandai beradaptasi sehingga akan punah. Di Amerika, disrupsi membuat media-media lokal tak lagi memiliki pembaca dan pengiklan berpindah ke media sosial sehingga koran-koran kecil bangkrut dan tutup. Akibatnya, perusakan lingkungan secara sengaja, pengawalan kebijakan publik, monitor penyelewengan dan korupsi, tak ada lagi. Pemerintah Australia, juga beberapa negara di Eropa, hendak menyetop dampak buruk disrupsi ini.
Pada awalnya kehadiran Google atau Facebook tampak menggembirakan dalam hal demokratisasi informasi. Seperti perdagangan komoditas, keduanya muncul sebagai agen distributor bagi para petani bawang, yang menggantikan peran loper. Mereka akan menolong media massa sebagai pembuat berita menyebarkan informasi lebih luas, murah, dan mudah karena informasi tak perlu lagi dicetak. Namun, dengan mesin tak terlihat bernama algoritma, mereka berhasil mengendalikan hasrat dan keinginan, juga mungkin membentuk norma sosial, para pembaca dan pembuat berita. Juga merebut iklan di media.
Kini para pengelola media memiliki unit pengembangan digital hanya agar konten yang diproduksinya memiliki audiens, agar Google menempatkan berita di urutan teratas, agar Facebook mengarahkan informasi ke sebanyak mungkin pembaca. Media praktis membebek pada apa yang diinginkan mesin algoritma Google atau Facebook, atau media sosial lain.
Wartawan kini tak hanya harus cakap dalam menggali fakta yang melelahkan, penuh risiko, dan berbiaya besar, mereka juga harus memelototi kata kunci yang sedang diinginkan para pemirsa di Internet. Berita tak lagi dikendalikan oleh prinsip “penting dan relevan”, tapi lebih banyak ditentukan oleh keyword, SEO, struktur kata kunci, judul yang dikehendaki mesin pencari.
Dengan ekosistem seperti itu, antar pengelola media tak lagi bersaing menghasilkan berita yang berguna bagi pembaca, tapi berlomba mengemas berita agar disapu pertama oleh Google dan diarahkan ke banyak akun oleh mesin Facebook. Berita yang bermutu tak akan memiliki pembaca yang luas jika wartawan yang membuatnya tak pandai dalam mengemas berita sesuai pengindeksan Google atau kata kunci yang diminati banyak orang di Facebook. Berita bermutu akan tersisih oleh berita tak berfaedah yang disusun dengan SEO yang sesuai dengan algoritma mesin-mesin media sosial.
Sebab, pembaca kini mencari berita melalui Google. Mereka kini terpapar oleh berita melalui feed Facebook yang tahu kebiasaan dan jenis berita yang kita konsumsi ketika scroll di platform ini. Jika saya tak pernah tertarik pada berita politik, dan sekali-dua mengeklik atau menyukai berita perselingkuhan artis, maka berita-berita seperti itu yang akan memapar saya ketika masuk Facebook. Apalagi, kini Facebook juga menguasai Instagram dan WhatsApp. Aktivitas saya di kedua platform itu akan terekam juga oleh mesin Facebook.
Para pengelola media kini jadi terbiasa memeriksa lalu lintas keterbacaan. Dan, agaknya, di zaman Internet ini strukturnya tak berubah: sebuah berita akan sampai ke mata pembaca melalui organic search (lewat mesin pencari semacam Google), social referral (dari media sosial seperti Facebook), direct (langsung mengunjungi situs medianya). Dengan struktur asal pembaca seperti itu, dan sepanjang ekosistem informasi masih dikendalikan Google dan Facebook, media massa tak akan punya pembaca yang loyal. Bagaimana pun bagusnya model bisnis media, ia tak akan punya permisa sebanyak Google atau Facebook.
Sebab, media massa pasti tak memiliki layanan selengkap Google (yang menghimpun dan menyediakan segala informasi) atau Facebook (yang menyediakan interaksi sosial pribadi, berita, hingga cara mudah berbelanja). Dengan layanan yang sempit hanya menyediakan berita, pembaca selamanya tak akan tertarik menjadi pelanggan sebuah media atau mencari berita langsung pada situs-situs penyedia informasi. Jika ingin tahu kabar sebuah peristiwa, kita tinggal mengetikkan satu kata kunci di Google, lalu memilih jutaan berita paling menarik melalui judul dan deskripsi. Sekali lagi, jika wartawan tak pandai menempatkan judul dan kata kunci, beritanya akan nyempil di sudut maya entah di mana.
Algoritma Facebook, sementara itu, kian eksesif mendorong media massa atau penyedia konten untuk beriklan di platform ini. Jumlah paparan sebuah berita kepada pemirsa Facebook akan terus dikurangi agar pengelola media terdorong beriklan sebagai tenaga pendongkrak menjangkau pembaca yang luas. Iklan adalah tambang uang Facebook sejak Mark Zuckerberg merekrut Sheryl Sandberg dari Yahoo! pada 2008.
Dengan cara seperti itu, tak heran jika hoaks dan disinformasi lebih mudah menjangkau pembaca ketimbang berita bermutu yang tak dikemas sesuai standar mesin Google dan Facebook. Orang Amerika percaya bahwa Hillary Clinton akan ditangkap FBI karena sebuah situs buatan remaja Makedonia yang menyamar New York Times menuliskannya seperti itu, hingga Amerika mendapatkan Presiden semacam Donald Trump.
Mesin Google dan Facebook mendorong para pembuat konten tak bertanggung jawab masuk dalam gelanggang penyebaran informasi untuk mendulang adsense melalui keterbacaan yang tinggi. Mesin-mesin algoritma tak kuasa menjangkau mana berita bohong, mana berita akurat, atau informasi bertanggung jawab yang dibuat tidak untuk mencari sensasi.
Pengelola Google atau Facebook bisa jumawa menciptakan ekosistem yang mendorong media membebek cara mereka bekerja karena memiliki massa. Buat mereka, setiap orang adalah uang, setiap jempol adalah gempol. Mesin, tentu saja, tak mengenal tanggung jawab moral, apatah lagi memuliakan prinsip-prinsip demokrasi tentang keadilan dan kesetaraan menjangkau informasi.
Maka apa yang dilakukan pemerintah Australia menggembirakan karena dua hal: menghentikan kejumawaan Google dan Facebook serta mengingatkan keduanya akan tujuan peradaban: menciptakan keadilan dan kesetaraan, terutama dalam akses informasi. Tanpa pemaksaan seperti itu, perang antara media massa dan media sosial akan berlangsung tanpa ujung.
Google dan Facebook akan terus memperbarui mesinnya agar pengelola media mengikuti cara mereka dalam berbisnis menjadi distributor informasi dalam skema kapitalisme yang buruk. Dalam kapitalisme yang buruk, distributor akan selalu mendapatkan keuntungan jauh lebih besar ketimbang para produsen.
Para distributor, yang punya jangkauan ke pasar, akan menentukan harga bawang secara semena-mena kepada petani. Sementara petani yang bekerja keras mengolah kebun, mencegah hama, bertarung dengan musim akan tunduk pada kendali harga para distributor itu. Pedagang bawang selalu lebih kaya ketimbang petani bawang.
Jika sistem ini terus berlangsung, kita selamanya terjebak pada kapitalisme informasi yang mencelakakan. Seperti artikel ini: menyerukan tanggung jawab moral Facebook dan Google melalui Facebook dan Google…
Gambar: modifikasi Hidden Secret Messages in Famous Logo