Mengapa seharusnya wartawan tak memanfaatkan fasilitas vaksin dari pemerintah. Banyak orang tak punya pilihan yang lebih memerlukannya.
PARA wartawan mendapatkan vaksin covid-19. Menurut Dewan Pers lebih dari 5.000 dosis menjadi fasilitas para juru warta. Kementerian Kesehatan menyuntikkannya secara massal pada 25-27 Februari 2021. Di Gelora Bung Karno.
Saya tidak tahu apakah dosis itu habis. Sebab, ada banyak wartawan yang menolak fasilitas itu, di samping wartawan yang menerimanya dengan suka cita dan menyiarkannya di laman Facebook mereka. Saya masuk kelompok pertama.
Rasanya kurang adil mendapatkan vaksin ketika banyak kelompok masyarakat lain yang lebih rentan masih harus menunggu giliran yang belum pasti. Orang-orang tua, mereka yang memiliki penyakit bawaan, atau penduduk yang tak punya pilihan harus bekerja di tengah pandemi. Kuli panggul di pasar, tukang sayur, gojek, tukang becak, juru parkir, dan masih banyak jenis pekerjaan informal lain yang pelakunya tak memiliki gaji tetap.
Dengan tak memiliki gaji tetap, pandemi amat memukul penghasilan mereka. Artinya, mereka terancam tak memiliki penghasilan di tengah kebijakan karantina atau pembatasan interaksi sosial. Bantuan uang pemerintah tak cukup menahan mereka tak keluar rumah untuk mematuhi larangan bertemu orang lain. Mereka tak punya pilihan. Merekalah lapisan penduduk paling rentan tertular covid-19.
Sementara saya memiliki gaji tetap bulanan, meski sempat dipotong akibat menurunnya penghasilan media, seperti juga jenis bisnis lain. Kebijakan kantor mengharuskan saya bekerja di rumah. Saya memiliki pilihan yang luas menuruti kebijakan jaga jarak. Saya bisa menyuarakan kejengkelan di media sosial terhadap mereka yang tak patuh kepada protokol kesehatan, seraya mengabaikan mereka yang tak punya keistimewaan berdiam di rumah selama virus corona menyebar dari mulut ke mulut, dari bangkis ke bangkis, bahkan dari napas ke napas. Saya manusia yang, alhamdulillah, berdaya secara sosial dan ekonomi.
Karena itu saya bukan orang yang rentan terpapar virus corona. Sesekali saya liputan, mewawancarai narasumber, bertemu orang untuk menggali informasi, tapi bisa memilih mengobrol melalui Zoom. Teman saya, karena tugas dan kewajibannya, tak bisa bekerja dengan teknologi. Mereka harus bertemu narasumber, menjalin kontak dengan beberapa orang untuk mendapatkan data, memperoleh konfirmasi agar berita tetap berimbang, sesuai kode etik dan prosedur jurnalistik. Dia adalah kelas masyarakat yang rentan terkena virus corona.
Maka saya tertegun ketika mendapat kiriman dokumen daftar 5.513 nama wartawan yang mendapatkan vaksin. Daftar namanya, dengan data privasi yang detail, beredar entah sampai di mana. Nama saya ada di situ. Mengapa saya? Mengapa bukan mereka yang rentan terlebih dahulu? Teman saya yang harus bertemu narasumber itu ada juga dalam daftar. Alhamdulillah. Tapi kenapa nama saya tetap masuk? Ada berapa ribu orang seperti saya yang tak rentan terpapar virus mendapatkan prioritas hanya karena menyandang pekerjaan sebagai jurnalis?
Presiden Joko Widodo sampai datang ke Senayan menyaksikan vaksinasi itu. Mungkin wartawan adalah profesi kedua setelah tenaga kesehatan yang mendapatkan vaksinasi massal dan dihadiri seorang presiden serta dua menteri. Guru belum semua, para gojek masih nanti, pedagang sayur entah kapan, apatah lagi bakul pisang keliling yang mau tak mau harus keluar rumah untuk berdagang agar anak dan istri atau suaminya bisa makan hari itu.
Wartawan tentu saja kelompok yang rentan. Tapi tak semua lapis jurnalis memiliki kerentanan yang sama. Para reporter yang harus tiap hari meliput peristiwa dan bertemu banyak narasumber adalah mereka yang paling rentan. Seharusnya merekalah yang mendapatkan prioritas. Sementara atasan mereka, para redaktur yang bisa bekerja di rumah sambil main media sosial, tak sepatutnya mendapatkan keistimewaan.
Sebab, ada problem etis di sana. Juga karena ini di Indonesia, ketika informasi amat penting menjadi tulang punggung propaganda. Wartawan Indonesia harus melipatgandakan indra penciuman jurnalistiknya agar berita yang mereka tulis tak terpeleset menjadi disinformasi atau misinformasi.
Dengan mendapatkan vaksin tanpa prioritas kerentanan, bias media membayang di depan tulunjuk para wartawan. Ketakutan umum tertular virus corona membuat daya kritis wartawan tumpul bahkan dalam memberitakan vaksin.
Rasanya tak ada media yang mengkritik privilese itu. Tak ada wartawan yang mempertanyakan mengapa 5.000 jurnalis mendapatkan kesempatan pertama divaksin ketimbang profesi lain yang lebih rentan. Agaknya tak ada media yang meliput bagaimana seharusnya pemerintah mendistribusikan vaksin yang adil berdasarkan tingkat kerentanan.
Kini, vaksin telah bergeser dari problem etis menjadi masalah bias dan egoisme profesi. Bahkan menumpulkan pikiran adil dalam memandang politik dan kekuasaan. Malah mungkin disinformasi.
Media memberitakan soal vaksin seolah ia satu-satunya benda yang menjadi penyelamat dari serbuan virus ganas. Wartawan tak bisa mengambil jarak terhadap vaksin sehingga mereka tak berhenti memberitakan atau menciptakan rasa aman palsu di masyarakat dengan menekankan bahwa vaksin adalah senjata pamungkas menghentikan pandemi.
Alih-alih mendudukkan soal bahwa vaksin bukan cara terakhir terhindar dari infeksi virus, media ikut euforia menyambut vaksin, bukan mengawasi manajemen menangani pandemi. Media abai pada fungsi sebenarnya sehingga tak memberi pemahaman utuh kepada masyarakat tentang peran vaksin dalam meningkatkan imun tubuh atau mengurangi kerusakan organ ketika terinfeksi virus. Di masa pandemi, media malah menjadi sumber ketakutan massal karena melepaskan konteks tiap memberitakan virus corona.
Maka vaksin untuk wartawan tak sesederhana seperti terlihat pada wajah semringah mereka di media sosial. Fasilitas vaksin menyimpan masalah akut dan laten tentang independensi media. Di Indonesia.
Juga menumpulkan keberpihakan wartawan kepada mereka yang tak memiliki akses, tak memiliki suara, tak memiliki kuasa untuk mendapatkan hak paling dasar yang harusnya dipenuhi negara. Vaksin membuat wartawan gagal menjalankan tugas etis yang dipikulnya.
Gambar diolah dari CleanPNG dan Britanica.com
Berat nih memegang idealisme, Pak.
Berat kalo dipegang, pak. Ringan kalo dijalankan, hehehe
Tulisan yang touchy mas, menangkap realitas sejujurnya sekaligus otokritik. Bravo.
Makasih, mas…