Orang Denmark terkenal sebagai orang paling bahagia di dunia. Apa yang mereka pikirkan?
JIKA orang Denmark mendaku sebagai penduduk bumi paling bahagia, apa yang membuat mereka marah dan kecewa? Saya melempar pertanyaan ini kepada Henrik, seorang Denmark yang selalu tersenyum saat bicara, ketika kami berjalan kaki selama 90 menit dari dekat kastil Hans Christian Andersen menuju CopenHill—gedung yang dibuat seperti bukit yang isinya pembangkit listrik tenaga sampah. Dengan keringat membasahi kemejanya karena hari terik bulan September, ia melirik sambil bergumam, “Pertanyaan yang bagus.”
Butuh sepuluh langkah bagi Henrik untuk merumuskan jawaban atas pertanyaan sederhana itu. “Apa yang membuat kami marah?” katanya. “Ada beberapa, salah satunya jika pemerintah tak memakai uang pajak kami dengan semestinya.” Ia berhenti. Tentu saja saya tak puas. “Misalnya, dalam hal apa?” “Misalnya, jika mereka tak berbuat apa-apa untuk menyelamatkan orang Palestina.”
Kini saya yang tercenung. Itu jawaban di luar perkiraan. Rupanya, begitulah cara berpikir orang yang hidupnya sudah bahagia: mereka peduli kepada orang lain yang belum bahagia. Empati, kata Aristoteles, memang kunci kebahagiaan. Kita bahagia jika bisa membantu orang lain yang kesusahan. Kita bahagia jika bisa berbuat baik. Sebab, orang yang bahagia biasanya tahu rasanya berada dalam kesulitan.
Henrik rupanya tahu pikiran saya menafsirkan omongannya ke mana-mana. Maka ia segera menjelaskan bahwa, pada dasarnya, orang Denmark menikmati hidup dengan beragam cara. Misalnya, ini yang paling terlihat di sekujur Kopenhagen, kumpul-kumpul bersama teman di kafe sambil mengobrol apa saja. Karena hari itu agak cerah, orang Kopenhagen berkumpul di bantaran kanal, terjun ke laut, bertelanjang dada di lapangan terbuka, tidur-tiduran di taman sambil membaca buku.
Orang Denmark sudah semestinya menikmati hidup. Pemerintah mengutip pajak di luar nalar, 40-60 persen dari penghasilan. Tapi, kata Henrik, dengan pajak besar itu tiap orang Denmark tak lagi memikirkan kebutuhan dasar seperti pendidikan, layanan kesehatan, infrastruktur. Uang pajak itu tak dikorupsi sehingga semua fasilitas dasar itu tersedia secara gratis.
Keterangan suara mesin jemala bus “Hop on Hop off” di Kopenhagen mengungkap penjelasan yang menarik: orang Denmark kurang peduli pada umur panjang karena mereka fokus menikmati hidup hari ini. Tapi justru karena sikap dan pikiran itu, tingkat harapan hidup orang Denmark naik sejak 1950. Kini rata-rata usia penduduk di negeri ini 87 untuk laki-laki dan 85 tahun untuk perempuan.
Bersosialisasi, kata mesin di bus tur itu, menjadi aktivitas penting ketimbang menabung, membeli rumah atau mobil. Lagi pula, buat apa menabung jika semua kebutuhan hari tua sudah disediakan negara. Buat apa membeli mobil jika fasilitas utama jalan raya untuk pesepeda. Menurut sebuah survei, orang lanjut usia Denmark merasa hidup tenang dan puas dengan kesehatan mereka. Pemerintah Denmark membelanjakan 8,1 persen APBN untuk membiayai hidup para pensiunan.
Orang Denmark punya prinsip “hygge”, yakni menciptakan atmosfer hangat dan menyenangkan bersama orang-orang dekat. Kumpul-kumpul dengan keluarga dan teman adalah saat-saat paling menyenangkan bagi orang Denmark. Bahkan “hygge” menjadi salah satu teknik pengasuhan anak bagi orang-orang tua Denmark.
Barangkali karena kurang peduli umur panjang itu, orang Denmark merokok di mana saja. Trotoar kotor oleh puntung rokok. Di pintu keluar stasiun sentral, orang merokok dan abunya berceceran di lantai. Pada 2022, 16,4 persen orang Denmark adalah perokok aktif. Namun, jumlah itu sudah jauh berkurang dibanding 20 tahun lalu. Pemerintah menerapkan pajak tinggi bagi produk tembakau dan melarang merokok di semua area publik.
Sepulang dari CopenHill, kami mampir ke kantor redaksi Politiken, koran berhaluan liberal yang didirikan pada 1884, di dekat alun-alun Kopenhagen. Kami bertemu dengan para redaktur desk lingkungan dan investigasi. Pertanyaan pertama saya setelah perkenalan adalah “Apa yang disebut skandal di Denmark”. Di negara dengan tingkat korupsi paling rendah di dunia, mendefinisikan skandal bisa jadi urusan rumit.
Pertanyaan-pertanyaan naif saya tentu datang dari pikiran Indonesia yang dalam banyak hal tertinggal dari Denmark. Seperti kata Eric Weiner dalam Geography of Bliss, perjalanan membuat kita membanding-bandingkan apa yang kita miliki dengan milik orang lain. Biasanya, kita cenderung menganggap orang lain lebih bahagia karena mereka punya sesuatu yang tak kita miliki.
Seorang Indonesianis asal Australia jatuh cinta kepada Indonesia karena politik negeri ini tak bisa ditebak. Politik berkembang tanpa nilai, ekonomi runyam, tapi orang-orangnya punya persediaan “untung” tak terbatas. Sudah celaka pun kita masih bisa bilang “untung tak begini”, “untung tidak begitu”. Orang Indonesia melihat segala kejumudan dari sisi positif, bahkan dengan humor.
Barangkali karena menertawakan diri sendiri adalah puncak rasa syukur, momen hidup paling penting, sumber kebahagiaan paling tulen.
Selalu renyah, dan saya mendapat banyak pencerahan dan cara dari tulisan yang sangat baik ini